Gelar kiai haji di zaman dahulu diidentikkan dengan tokoh-tokoh ulama yang mempunyai wawasan luas dalam keilmuan agama kalau hal itu merujuk kepada orang. Sebutan kiai, saat ini identik dengan ulama-ulama NU meskipun tokoh-tokoh Muhammadiyah dan tokoh-tokoh ormas lain pun disebut sebagai kiai di zaman dulu.
Namun, sedikit berbeda pandangan terkait latar belakang organisasi ketika seorang kiai tersebut bergelar jenderal militer yang pangkatnya diperoleh melalui proses kemiliteran ketat, seperti Brigadir Jenderal KH Syam’un, tokoh ulama dari Banten yang pada 9 November 2018 resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional RI oleh pemerintah.
Sebagian masyarakat menganggap bahwa KH Syam’un merupakan ulama Al-Khairiyah. Padahal lembaga itu merupakan perguruan atau madrasah dan pesantren yang didirikannya pasca ia pulang belajar dari Timur Tengah, tepatnya di Al-Azhar Kairo. Adapun latar belakang organisasi KH Syam’un adalah Nahdlatul Ulama.
Identitas yang menyatakan bahwa Brigjen KH Syam’un merupakan salah seorang ulama NU diungkapkan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013: 284). Saat itu dirinya bertugas keliling daerah di Jawa dan Madura untuk memberikan penjelasan kepada ulama setempat dan membicarakan siapa-siapa yang akan dicalonkan untuk memasuki latihan pasukan militer, baik PETA maupun laskar santri Hizbullah.
Saat itu, KH Saifuddin Zuhri berkeliling ditemani oleh dua orang, Muhammad Syahid dari Blitar dan Ahmad Rohani dari Jakarta. Tugas mengumpulkan pemuda-pemuda Islam menjadi persoalan krusial saat Nippon (Jepang) memerlukan pasukan militer cadangan di Indonesia ketika Jepang terpojok oleh pasukan sekutu.
Rapat Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menyepakati perlunya membentuk Barisan Hizbullah bagi para pemuda Islam. Letak persoalan terjadi antara memisahkan pemuda Islam dalam laskar tersendiri, atau bergabung dengan tentara PETA. Akhirnya para ulama sepakat agar pisah barisan semata untuk keperluan strategi menghadapi Nippon dan tentara seukut ke depannya. Tentara PETA lahir pada November 1943 diikuti oleh kelahiran Hizbullah beberapa minggu kemudian.
Ketika mencari dokumen keterlibatan sejumlah pemuda-pemuda Islam yang masuk dan mengikuti latihan PETA, KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya tersebut mengungkapkan kesulitannya dikarenakan banyak dokumen di rumahnya yang musnah. Beberapa catatan dan dokumen tentang nama-nama mereka hilang musnah dalam revolusi bersenjata dan perang kemerdekaan. Saat itu rumah KH Saifuddin Zuhri dibakar serdadu-serdadu Belanda ketika berusaha menangkap dirinya.
Namun, nama-nama yang masih diingat oleh KH Saifuddin Zuhri dari pemuda-pemuda (ormas Islam) yang dikirim untuk memasuki latihan PETA di antaranya ialah: KH Abdul Kholiq Hasyim dari Jawa Timur/NU; Iskandar Sulaiman Jawa Timur/NU; KH A. Wahib Wahab Jawa Timur/NU; R. Mulyadi Djojomartono Jawa Tengah/Muhammadiyah; KH Yunus Anis Yogyakarta/Muhammadiyah; KH Iskandar Idris Jawa Barat/Muhammadiyah; KH Basyuni Jawa Barat/POII; Mr. Kasman Singodimedjo Jakarta/Muhammadiyah; Arudji Kartawinata Jakarta/PSII; KH Syam’un Banten Jawa Barat/NU. (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013: 284)
Dalam latihan perwira PETA golongan Daidanco (Komandan Batalyon) ada semacam klasifikasi golongan-golongan tertentu dalam masyarakat. Misalnya dari golongan-golongan yang ada saat itu ialah nasionalis, pengreh praja, dan golongan Islam. Tapi tidak demikian dalam latihan Hizbullah, semuanya dari golongan Islam (pesantren dan ormas Islam). (Fathoni)