Fragmen

Di Masjid Mojosari Nganjuk, Para Kiai NU Rumuskan Perlawanan Ideologi DI/TII

Sab, 18 Januari 2020 | 13:00 WIB

Di Masjid Mojosari Nganjuk, Para Kiai NU Rumuskan Perlawanan Ideologi DI/TII

Salah satu situasi Mukamar NU

Awal tahun 1950-an, negara Indonesia yang masih berusia belia, gempar dengan gerakan yang digagas oleh Kartosuwiryo. Pemberontakan terhadap negara yang diberi nama DI (Darul Islam) dan TII (Tentara Islam Indonesia) tersebut mengusung ide negara Islam atau yang lazim disebut khilafah. Tidak hanya pemerintah yang kebingungan, di kalangan ulama juga terjadi persilangan pendapat. Sebagian ulama cenderung menginginkan negara berdasarkan syariat Islam terutama mengacu teks asli Piagam Jakarta, sedangkan sebagian yang lain tetap mengakui pemerintahan sah yang telah susah payah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sehingga kelompok kedua ini jelas-jelas mendukung Bung Karno.
 
Menyikapi perbedaan pandangan tersebut, para kiai sepuh, utamanya KH Wahab Chasbullah menginisiasi bahtsul masa-il ulama pesantren yang kemudian dilaksanakan di masjid kecil lingkungan Pondok Pesantren Mojosari Loceret, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Pondok Pesantren Mojosari merupakan salah satu pesantren sepuh di Nganjuk yang kala itu diasuh oleh KH Zainudin bin Mukmin, seorang Kiai yang terkenal dengan kealiman dan karamahnya. 

Bahtsul Masail tersebut diikuti oleh para Kiai dari berbagai pesantren, termasuk di dalamnya hadir KH Machrus Aly (Lirboyo Kediri), KH Zahid (Cepoko Nganjuk), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono Nganjuk) dan KH Wahab Chasbullah (Tambak Beras Jombang). Diskusi utama saat itu adalah tentang mendukung Kartosuwiryo atau Bung Karno. Masing-masing peserta mengungkapkan pandangan masing-masing, tentu dengan berbagai hujjah kitab yang sudah dipersiapkan.

Ternyata bahtsul masa-il berjalan alot, masing-masing opsi memiliki pendukung dengan argumen dan dasar yang kuat. Diskusi yang telah berjalan lama tersebut kemudian hampir disimpulkan hasilnya mauquf. Dalam tradisi diskusi pesantren, mauquf berarti hasil diskusi dinyatakan mengambang atau tidak ada kesimpulan jawaban. 

Ketika majelis sudah lama dengan status tanpa keputusan, maka masuklah KH Qomarudin dari Pondok Pesantren Mangunsari, Pace, Nganjuk. Kiai Qomarudin memberikan argumen yang kuat. Ia menyatakan bahwa jika umat Islam di Indonesia tidak mengakui pemerintahan sah yang dipimpin Bung Karno, maka sejak Bung Karno diangkat menjadi presiden, proses pernikahan yang terjadi (kurun waktu 1945 hingga saat itu) menjadi batal, karena penghulu dan status nikah semua dicover oleh negara. 

Kiai Qomarudin saat itu diakui sebagai salah satu kiai yang alim dan faqih, pengakuan tersebut termasuk dari Kiai Zainudin sendiri dan Kiai Mundzir, Kediri. 

Para Kiai peserta diskusi kemudian ¬–biidznillah–  menerima pendapat tersebut. Saat para Kiai masih di lokasi acara dan sudah masuk waktu dzuhur, sontak kemudian Kiai Zainudin masuk membawa sapu ke ruangan sembari berkata: Heh, Co, wes luhur, yen mati nyemplung neroko piye? Sopo sing njamin mlebu suwargo (Hai Co – panggilan santri dari Kiai Zainudin – sudah masuk waktu sholat dzuhur, kalau meninggal lalu masuk neraka bagaimana? Ada yang bisa menjamin masuk surga?). 

Segera para Kiai yang juga banyak merupakan santri Kiai Zainudin, membubarkan diri dan bergegas melaksanakan sholat.

Hasil dari bahtsul masa-il tersebut kemudian dibawa dan menjadi salah satu argumen oleh KH Wahab Chasbullah pada Munas Alim Ulama NU dan rapat parlemen. Lewat diskusi tadi pula kemudian Bung Karno diberi gelar dengan Waliyyul Amri Adl Dloruri Bisysyaukah. Para Kiai dan kalangan santri sejak masa penjajahan memang menjadi garda depan dalam menjaga bangsa dan negara. Perang-perang melawan penjajah banyak dipimpin oleh ulama, sebut saja Perang Diponegoro, Perang Malaka oleh Pangeran Sabrang Lor, Perang Batavia oleh Sultan Agung, Perang Surabaya oleh Kiai Hasyim Asy’ari dan banyak lagi. Hingga saat ini, para ulama terus menggaungkan kepada seluruh warga negara untuk menjaga keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, salah satu slogannya adalah NKRI Harga Mati!

Penulis: Wahyu Irvana
Editor: Abdullah Alawi

Kisah ini diceritakan oleh Gus Ali Abdillah Mojosari dari sumber yang valid, saksi hidup peristiwa tersebut yakni beliau KH Qolyubi Dahlan Nganjuk, KH Marwah Dahlan Nganjuk dan KH Samwil Blitar