Hubungan pesantren dengan NU dilukiskan bahwa “NU itu adalah pesantren besar, sedangkan pesantren adalah NU kecil.” Artinya, pesantren dan NU merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, baik dalam perspektif ideologis, psikologis, historis, kultur, maupun pemikiran dan gerakan keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Pesantren sendiri mempunyai perkembangan yang cukup unik. Antara satu pesantren dengan pesantren-pesantren lain pada umumnya terdapat suatu jaringan hubungan genealogis yang rumit dan kokoh. Jaringan ini tidak muncul dengan sendirinya. Ia lebih merupakan buah dari upaya melestarikan tradisi pesantren yang dilakukan dengan membangun solidaritas dan kerjasama sekuat-kuatnya antara sesama kiai.
Eratnya hubungan antar pesantren yang ditopang oleh soko guru ikatan tali akidah serta jalinan kekerabatan, menjadikan pesantren sangat potensial sebagai basis gerakan NU. Pola serupa yang kemudian juga mewarnai dalam perkembangan awal NU di Kota Surakarta, di mana kemunculan NU diinisasi oleh para kaum santri, terutama mereka yang memiliki hubungan langsung, baik sebagai kawan ataupun pernah nyantri dengan para tokoh pendiri NU seperti KH Hasyim Asy’ari, Kyai Cholil Bangkalan, dan lain-lainnya.
Sebagai contoh, salah satu tokoh NU Surakarta, KH Masyhud Keprabon, merupakan santri dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Kemudian Kiai Ahmad Siradj, ia pernah berguru kepada Kiai Soleh Darat, yang juga merupakan guru dari Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari.
Lain lagi dengan KHR Moh Adnan yang pernah belajar di Pesantren Mojosari Nganjuk kepada Kiai Zaenuddin, kemudian Pesanten Tremas Pacitan asuhan Kiai Dimyati, lalu kembali ke Surakarta berguru kepada Kiai Idris di Pondok Jamsaren.
Di Surakarta, keberadaan Pesantren Jamsaren ini menjadi sangat penting bagi perkembangan NU di daerah tersebut. Terlebih dengan keberadaan Kiai Idris sebagai sang pengasuh. Kiai Idris merupakan keturunan dari Kiai Imam Rozi Tempursari Klaten, seorang ulama yang juga menjadi salah satu panglima perang pasukan Pangeran Diponegoro yang berjuluk “Singo Manjat”.
Selain Kiai Adnan, di Pesantren Jamsaren ini pula, kemudian memunculkan banyak tokoh NU, baik yang berada di Surakarta maupun di luar. Para tokoh NU tersebut antara lain Kiai Ma’ruf Mangunwiyoto (Jenengan), KH Abu Amar (Penerus Pengasuh Pesantren Jamsaren), KH Masykur (Malang), KH Arwani Amin (Kudus), KH Manshur (Popongan Klaten), KH Maksum (Lasem), Kiai Nachrowi Tohir (Malang), KH Mustain (Bupati Tuban), KH Fathurrahman Kafrawi (Menteri Agama), dan lain-lain.
Namun sayangnya, meski pernah melahirkan banyak ulama besar di kalangan NU, saat ini Pondok Jamsaren hampir tak terlihat lagi warna ke-NU-an di pondok tersebut.
“Ada semacam terputusnya rantai mata sejarah pada pondok ini,” ungkap Tafsir Anom KRT Muh Muhtarom.
Pada akhirnya, selain faktor jalinan kyai-santri, NU di Surakarta berkembang kepada pola hubungan kekerabatan, di mana para keturunan tokoh-tokoh awal ini selanjutnya menjadi penerus estafet perjuangan NU, khususnya di jajaran pucuk pimpinan. (Ajie Najmuddin)