Syariah

Ulama 4 Mazhab soal Hukum Berjabat Tangan dengan Non-Muslim

Sen, 30 September 2019 | 14:10 WIB

Ulama 4 Mazhab soal Hukum Berjabat Tangan dengan Non-Muslim

Ilustrasi: Grand Syekh Al-Azhar Ahmad Al-Thayyeb dan Paus Fransiskus dalam prosesi penandatanganan 'Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama' pada Februari 2019. (Vatican News)

Di antara permasalahan yang sedang viral dibahas oleh netizen adalah hukum berjabat tangan dengan non-Muslim; bolehkah seorang Muslim berjabat tangan dengan non-Muslim
 
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum permasalahan ini. Pertama, ulama mazhab Hanafi menyatakan, hukum berjabat tangan dengan non-Muslim adalah makruh. Hanya saja, jika ada kebutuhan maka hukumnya boleh. Syekh Ibnu Abidin menuturkan:
 
(كَمَا كُرِهَ لِلْمُسْلِمِ مُصَافَحَةُ الذِّمِّي) أَيْ بِلَا حَاجَةٍ. لِمَا فِي الْقُنْيَةِ: لَا بَأْسَ بِمُصَافَحَةِ الْمُسْلِمِ جَارَهُ النَّصْرَانِيَّ إذَا رَجَعَ بَعْدَ الْغَيْبَةِ وَيَتَأَذَّى بِتَرْكِ الْمُصَافَحَةِ
 
Sebagaimana dimakruhkan bagi seorang Muslim berjabat tangan dengan non-Muslim dzimmi. Yaitu, tanpa ada hajat. Sebab disebutkan dalam kitab al-Qunyah, tidak apa-apa seorang Muslim berjabat tangan dengan tetangganya yang Nasrani, jika ia kembali dari bepergian, dan merasa tersakiti jika tidak berjabat tangan  (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 6, h. 412).
 
Senada dengan Ibnu Abidin, Syekh Nizamuddin al-Barnahaburi dan sekelompok ulama India menjelaskan:
 
تُكْرَهُ الْمُصَافَحَةُ مع الذِّمِّيِّ، وَلَا بَأْسَ بِمُصَافَحَةِ الْمُسْلِمِ جَارَهُ النَّصْرَانِيَّ إذَا رَجَعَ بَعْدَ الْغَيْبَةِ وَيَتَأَذَّى بِتَرْكِ الْمُصَافَحَةِ
 
“Dimakruhkan berjabat tangan dengan non-Muslim dzimmi. Dan tidak apa-apa seorang Muslim berjabat tangan dengan tetangganya yang Nasrani, jika ia kembali dari bepergian, dan merasa tersakiti jika tidak berjabat tangan”  (Nizamuddin al-Barnahaburi dkk, Al-Fatawa Al-Hindiyyah, juz 5, h. 348).
 
Kedua, Ibrahim An-Nakha’i, Hasan Al-Bashri, Atho’, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, berjabat tangan dengan non-Muslim hukumnya makruh, baik ada hajat ataupun tidak.  
 
Syekh Ibnu Muflih menyebutkan: 
 
وَتُكْرَهُ مُصَافَحَةُ الْكَافِرِ
 
“Dan dimakruhkan berjabat tangan dengan non-Muslim” (Ibnu Muflih, Al-Adab Al-Syariyyah, juz 2, h. 365).
 
Senada dengan Ibnu Muflih, Syekh Mansur al-Bahuti menuliskan: 
 
وَتُكْرَهُ مُصَافَحَتُهُ
 
“Dan dimakruhkan berjabat tangan dengan non-Muslim” (Mansur al-Bahuti, Kasysyaful Qina’ an Matnil Iqna’, juz 8, h. 329). 
 
Akan tetapi, di bagian lain dari kitab tersebut, Syekh al-Bahuti menyatakan kebolehan seorang Muslim mengunjungi non-Muslim dzimmi, jika diharapkan keislamannya. 
 
(تَجُوزُ الْعِيَادَةُ) أَيْ: عِيَادَةُ الذِّمِّيِّ (إنْ رُجِيَ إسْلَامُهُ)
 
“Diperbolehkan mengunjungi, yaitu mengunjungi non-Muslim dzimmi, jika diharapkan keislamannya” (Mansur al-Bahuti, Kasysyaful Qina’ an Matnil Iqna’, juz 8, h. 335). 
 
Ketiga, ulama mazhab Maliki menyatakan, seorang Muslim tidak boleh berjabat tangan dengan non-Muslim, kecuali dalam keadaan darurat. Artinya, jika ada darurat yang memaksa seorang Muslim berjabat tangan dengan non-Muslim maka hukumnya boleh. Syekh Ali Al-Adawi menuturkan: 
 
(وَلَا الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ) أَيْ لِأَنَّ الشَّارِعَ طَلَبَ هَجْرَهُمَا وَمُجَانَبَتَهُمَا، وَفِي الْمُصَافَحَةِ وَصْلٌ مُنَافٍ لِمَا هُوَ الْمَطْلُوبُ.
 
“Dan tidak diperbolehkan seorang Muslim berjabat tangan dengan orang non-Muslim. Yaitu, karena Syari’ meminta menjauhi keduanya, sedangkan berjabat tangan berarti menyambung sesuatu yang dapat menafikan apa yang diminta syari’” (Ali Al-Adawi, Hasyiyah Al-Adwi, juz 8, h. 200).
 
Syekh Abu Bakar al-Kasynawi dalam kitab Ashalul Madarik Syarah Irsyadus Salik menegaskan:
 
وَلَا تَجُوزُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ، وَلَا الْمُسْلِمِ الْكَافِرَ إلَّا لِضَرُورَةٍ.
 
“Seorang laki-laki tidak diperbolehkan berjabat tangan dengan perempuan, sebagaimana seorang Muslim tidak diperbolehkan berjabat tangan dengan non-Muslim kecuali karena darurat” (Abu Bakar al-Kasynawi, Ashalul Madarik Syarah Irsyadus Salik, juz 2, h. 388).
 
Keempat, ulama mazhab Syafi’i mengatakan, berjabat tangan dengan non-Muslim hukumnya boleh. Imam Ramli menyebutkan:
 
(سُئِلَ) عَنْ مُصَافَحَةِ الْكَافِرِ هَلْ تَجُوزُ أَوْ لَا ؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّ مُصَافَحَةَ الْكَافِرِ جَائِزَةٌ، وَلَا تُسَنُّ.
 
“Ditanya tentang hukum berjabat tangan dengan non-Muslim; bolehkah atau tidak? Beliau menjawab bahwa berjabat tangan dengan non-Muslim hukumnya boleh, dan tidak disunnahkan” (Ahmad bin Hamzah al-Ramli, Fatawa al-Ramli, juz 5, h. 181).
 
Ibnu Abi Syaibah juga menyebutkan:
 
حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ العَسْقَلَانِي قَالَ: أَخْبَرَنِيْ مَنْ رَأَى ابْنَ مُحَيْرِيْز يُصَافِحُ نَصْرَانِيًّا فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ
 
“Waki’ bercerita kepada kami, dari Syu’bah, dari Abi Abdillah al-Asqalani, ia berkata: ‘Bercerita kepadaku orang yang melihat Ibnu Muhairiz berjabat tangan dengan seorang Nasrani di masjid Damaskus” (Abdullah bin Abi Syaibah, Al-Kitab al-Mushannaf fil Ahadits wal A’tsar, juz 5, h. 248).
 
Pendapat ini serupa dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Pusat Fatwa Elektronik Al-Azhar Mesir nomor 1020, berbunyi:
 
مُصَافَحَةُ غَيْرِ الْمُسْلِمِ جَائِزَةٌ، وَمِنَ الْبِرِّ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِهِ الشَّرْعُ
 
“Berjabat tangan dengan non-Muslim itu boleh, dan merupakan perbuatan baik yang diperintahkan oleh agama Islam kepada kita.” 
 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum berjabat tangan dengan non-Muslim. Ulama mazhab Hanafi menghukuminya makruh, kecuali jika ada hajat. Ulama mazhab Hanbali menghukuminya makruh secara mutlak. Ulama mazhab Maliki mengharamkannya, kecuali jika ada darurat. Sedangkan mazhab Syafi’i dan ulama al-Azhar Mesir menganggapnya boleh. 
 
Keberagaman pendapat para ulama ini memberikan kemudahan bagi kita untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan kondisi kita, dan semoga kita bisa semakin dewasa dalam menyikapi berbagai perbedaan yang ada. Wallahu a’lam.
 
 
Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung.