Syariah

Tolong-menolong Terkait Rumah Ibadah Agama Lain (1): Pendapat Ulama yang Melarang

Sel, 3 Agustus 2021 | 15:30 WIB

Tolong-menolong Terkait Rumah Ibadah Agama Lain (1): Pendapat Ulama yang Melarang

Landasan pelarangan yang disampaikan oleh para ulama cukup seragam, yaitu larangan i’anah ‘ala al-ma’shiyah (larangan membantu perbuatan kemaksiatan).

Tidak diragukan lagi bahwa dasar utama hubungan antarmanusia dalam Islam adalah damai (al-silmi). Oleh karenanya, landasan utama tolong-menolong antarsesama manusia adalah menyatakan hukum kebolehannya, atas dasar persaudaran antarumat sesama manusia (ukhuwah insaniyyah) dan ketiadaan konfrontasi (muharabah). Namun, yang perlu dicatat adalah bahwa dalil yang menyatakan hal ini bersifat umum (‘am), sehingga dalil ini berlaku syumuli (melingkupi) segala aspek terjadinya relasi.

 

Di dalam Islam, setiap dalil perintah yang bersifat umum senantiasa membutuhkan rincian (tafshily) dalam wilayah operasionalnya, khususnya bila ditemukan adanya batasan-batasan (taqyid). Oleh karenanya, relasi dalam Islam sifatnya diperinci menjadi beberapa hukum.

 

Ada beberapa relasi yang dibolehkan oleh syara’, namun ada pula relasi yang tidak dibolehkan. Secara umum, relasi yang dibolehkan adalah bila relasi tersebut dilandasi oleh alasan tolong-menolong dalam perbuatan kebajikan dan takwa. Adapun relasi yang tidak dibolehkan adalah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan/konfrontasi.

 

Selanjutnya, setiap dalil yang menyatakan kebolehan, bisa dirinci hukumnya sebagai wajib, sunnah, dan mubah. Adapun dalil yang menyatakan larangan, menunjukkan makna keharaman bila dilaksanakan. Wilayah antara boleh dan tidak, dikenal sebagai wilayah syubhat (samar). Wilayah ini kadang disemati dengan istilah khilaful-ula (bertentangan dengan keutamaan) atau kadang masuk dalam unsur kemakruhan.

 

Pendapat kelompok pertama dikenal dengan istilah qaul awal (pendapat pertama). Pendapat kelompok kedua dikenal sebagai qaul tsani (pendapat kedua). Pendapat ketiga, dikenal dengan istilah qaul tsalits (pendapat ketiga). Setiap pendapat ini, hadir dengan konteks situasi dan kondisi yang melingkupinya. Situasi dan kondisi ini kemudian dikaitkan dengan tujuan utama dakwah dalam Islam yaitu li i‘lâ-i kalimâtillâhi hiyal ‘ulyâ (meninggikan kalimat Allah); juga dikaitkan dengan alasan kemaslahatan, ketertiban, mafsadah, mudarat, hajat, rukhshah, dan sejenisnya.

 

Pada kesempatan tulisan kali ini, penulis akan menyampaikan terlebih dulu tentang ragam pendapat ulama yang melarang (mengharamkan) serikat kerja sama (berkongsi dalam satu wadah institusi) antara Muslim dan non-Muslim terkait dengan tolong-menolong dalam pembangunan rumah ibadah dan illat (alasan) bagi pendapat tersebut.

 

Namun perlu dicatat bahwa konteks yang sedang dibahas oleh peneliti adalah berkaitan dengan syirkah ta’awuniyah (kerja sama tolong-menolong), maka tema masalah yang paling dekat dengan perkongsian ini adalah wasiat. Di dalam wasiat, tersimpan adanya makna penyerahan harta kepada pihak lain secara cuma-cuma. Konsep “cuma-cuma” ini merupakan yang dekat dengan salah satu elemen dari dilaksanakannya syirkah ta’awuniyah, yang mana konsep tersebut dikenal dengan istilah tabarru’ (berbuat baik semata karena Allah ﷻ).

 

Pada saat diterapkan konsep tabarru’, maka ada dana peserta polis yang lain - dari member Muslim pemegang polis - untuk dimanfaatkan secara bersama-sama atas nama tabarru’, termasuk di dalamnya bila member non-Muslim (dengan bidang asuransinya terdiri dari bangunan rumah ibadah). Pemanfaatan ini merupakan konsekuensi logis (iltizam) dari akad kerja sama (syirkah) yang dalam sekup kecilnya, termasuk efek dari akad wasiat. Jika akad kerja sama itu dikaitkan dengan saling serah terima barang/jasa dan uang, maka scope terkecil kerja sama adalah cabang dari ijarah (sewa jasa) dan bai’ (jual beli).

 

Kaitannya dengan objek terdiri dari rumah ibadah, maka secara garis besar, pendapat ulama yang menyatakan hukum keharaman ini diidentifikasi oleh Syekh Yusuf Qaradhawi dalam sebuah makalahnya yang bertajuk Musahamatu al-Muslim fi Binai al-Kanisah, sebagai berikut:

 

ذهب إلى تحريم بناء الكنائس والعمل على تشييدها وإقامتها : المالكية، والحنابلة، وجمهور الشافعية ، وأبي يوسف ومحمد خلافا لأبي حنيفة

 

“Para ulama yang berpendapat haramnya (Muslim) berserikat dalam membangun (gereja) kanisah dan bekerja sebagai kontraktor dalam membangunnya adalah ulama kalangan Malikiyah, Hanafiyah, Jumhur Syafi’iyah, Abu Yusuf dan Muhammad (keduanya merupakan murid Imam Abu Hanifah), namun khilaf terhadap Imam Abu Hanifah (guru keduanya).”

 

Bagaimana ragam pendapat tersebut disajikan? Berikut ini ulasannya.

 

Pendapat Kalangan Hanafiyah

Pendapat dari kalangan Hanafiyah sendiri disampaikan oleh kedua murid Imam Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad. Kedua murid Imam Abu Hanifah ini mendasarkan pendapatnya dengan menukil beberapa penjelasan Imam Abu Hanifah. Pendapat yang dinukil dari Imam Abu Hanifah rahimahullah adalah sebagai berikut:

 

هذا حكم الوصية بنفس المعصية وهو البطلان لعدم توافر كل من الوصية للصلة أو القرابة، أما الوصية لأهل الفسوق والمعصية فهي مكروهة، لبقاء معنى الصلة في الوصية ووصية المسلم لبِيعة أو كنيسة باطلة؛ لأنها معصية، ولو أوصى الذمي للبيعة أو للكنيسة أن ينفق عليها في إصلاحها، أو أوصى ليذبح لعيدهم جازت الوصية عند أبي حنيفة؛ لأن المعتبر في وصيتهم ما هو قربة عندهم لا ما هو قربة حقيقية؛ لأنهم ليسوا من أهل القربة الحقيقية

 

"Ini adalah hukum wasiat dengan melihat esensi kemaksiatan itu sendiri. Wasiat semacam adalah batal karena ketiadaan ditemukannya masing-masing pihak sebagai yang memenuhi relasi bolehnya berwasiat atau pendekatan. Berwasiat kepada ahli kefasikan dan berbuat maksiat adalah makruh karena jelasnya makna relasi wasiat (menolong kefasikan dan kemaksiatan). Demikian halnya wasiatnya seorang Muslim untuk biara Yahudi dan gereja hukumnya adalah batal karena wasiat demikian itu adalah kemaksiatan. Namun bila seorang dzimmy berwasiat untuk biara Yahudi atau untuk kanisah agar hartanya diinfakkan kepadanya dan untuk merenovasinya, atau berwasiat agar menyembelih sesuatu untuk merayakan hari raya mereka, maka hukum wasiat itu adalah boleh menurut Imam Abu Hanifah karena sifat wasiat ahli dzimmy kepada mereka adalah semata pendekatan ke sesama mereka saja (pendekatan kemanusiaan) dan bukan pendekatan yang dimaksud (pendekatan untuk ibadah). Alasannya adalah mereka bukan termasuk kelompok ahli pendekatan secara hakiki (untuk ibadah).” (al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, juz 10, h. 198-199).

 

Selanjutnya kedua murid Imam Abu Hanifah di atas menggarisbawahi dengan menyampaikan komentar mengenai illat larangan berwasiat melakukan kerja sama tersebut:

 

الوصية بما ذكر باطلة؛ لأن الوصية بهذه الأشياء وصية بما هو معصية، والوصية بالمعاصي لا تصح

 

"Wasiat sebagaimana disebutkan di atas hukumnya adalah batal karena mewasiatkan sesuatu untuk keperluan kemaksiatan adalah bagian dari ma’siat itu sendiri. Oleh karenanya, wasiat untuk kemaksiatan adalah tidak sah (secara syara’).” (al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Juz 10, h. 200).

 

Pendapat Kalangan Malikiyah

Pendapat dari kalangan ulama Malikiyah, di antaranya diwakili pemilik Kitab al-Mudawwanah.

 

أرأيت الرجل أيجوز له أن يؤاجر نفسه في عمل كنيسة في قول مالك؟ قال: لا يحل له؛ لأن مالكاً قال: لا يؤاجر الرجل نفسه في شيء مما حرم الله. قال مالك: ولا يكري داره ولا يبيعها ممن يتخذها كنيسة

 

"Adakah anda pernah melihat hukum kebolehan seorang laki-laki (Muslim) bekerja di gereja menurut pandangan Imam Malik? Mushannif menjawab: Imam Malik tidak menghalalkannya. Sebab Imam Malik pernah berkata: “Tidak boleh seseorang bekerja di tempat yang diharamkan oleh Allah SWT. Bahkan Imam Malik juga pernah berkata: tidak boleh seseorang menyewakan rumahnya atau menjualnya kepada orang yang akan mengambilnya sebagai gereja.” (Al-Mudawwanah, Juz 10, h. 361).

 

Di dalam kitab Minah al-Jalil Syarah Mukhtashar Khalil, mushannif menyebutkan:

 

ولا تجوز الإجارة على دخول حائضٍ لمسجدٍ لتكنسه لحرمة دخولها فيه، ومثلها إجارة مسلمٍ لكنس كنيسة أو رعي خنزير أو لعمل خمر فيفسخ العقد ويؤدَب إن لم يعذَّر بجهل، وإن نزل وفات فاستحب ابن القاسم التصدق بالأجرة"

 

“Tidak boleh mengongkosi perempuan yang sedang haid untuk menyapu masjid karena alasan keharaman masuknya perempuan haid tersebut ke dalam masjid. Hal yang sama juga berlaku untuk bekerja menyapu di gereja atau bekerja merawat peternakan babi atau bekerja membuat minuman keras. Akad sewa jasa dalam urusan ini menghendaki dibatalkan kecuali karena ketidaktahuan. Adapun jika hal itu sudah terlanjur terjadi, maka Ibnu Qasim menganjurkan agar bershadaqah dengan ongkos yang sudah diterima.” (Minah al-Jalil Syarah Mukhtashar Khalil, Juz 16, h. 169).

 

Garis besarnya, bekerja dan menyewakan diri untuk sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, maka hukum bekerja dan ongkos yang diterimanya itu hukumnya adalah haram dalam pandangan kalangan Malikiyah.

 

Pandangan Ulama Syafi’iyah

Salah satu pandangan dari kalangan ulama mazhab Syafi’i disampaikan oleh Imam Taqiyuddin al-Subky di dalam karyanya yang berjudul Fatawi al-Subky. Beliau menyampaikan:

 

فإن بناء الكنيسة حرام بالإجماع، وكذا ترميمها وكذلك قال الفقهاء: لو وصى ببناء كنيسة فالوصية باطلة، لأن بناء الكنيسة معصية، وكذا ترميمها ولا فرق بين أن يكون الموصي مسلماً أو كافراً، وكذا لو وقف على كنيسة كان الوقف باطلاً مسلماً كان الواقف أو كافراً، فبناؤها وإعادتها وترميمها معصية مسلماً كان الفاعل لذلك أو كافراً، هذا شرع النبي صلى الله عليه وسلم. وهو لازم لكل مكلف من المسلمين والكفار

 

"Sesungguhnya membangun kanisah adalah haram secara ijma’. Demikian halnya dengan merenovasinya. Demikianlah para fuqaha berpendapat: Andaikata ada seseorang berwasiat untuk membangun kanisah, maka wasiat tersebut batal sebab membangun kanisah adalah termasuk kemaksiatan. Hal yang sama juga berlaku atas renovasinya. Tidak ada bedanya bagi pelaku itu seorang Muslim atau seorang kafir dzimmy. Hukum yang sama juga berlaku atas wakaf untuk kanisah, maka wakaf tersebut adalah batal, baik pewakaf itu seorang Muslim atau seorang kafir. Mendirikan, menolong dan merenovasi kanisah adalah kemaksiatan, baik pelakunya adalah Muslim atau kafir. Inilah yang disyariatkan oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berlaku secara mengikat atas tiap-tiap orang mukallaf, baik dari kalangan Muslim maupun kafir.” (Fatawi al-Subki, Juz 4, h. 175).

 

Pandangan Ulama Hanabilah

Pandangan dari kalangan Hanabilah datang dari Syekh Ibnu Qudamah al-Maqdisi di dalam karyanya al-Mughni, beliau menyampaikan:

 

ولا على معصية كبيت النار والبيع والكنائس‏، وكتب التوراة والإنجيل لأن ذلك معصية، فإن هذه المواضع بنيت للكفر، وهذه الكتب مبدلة منسوخة، ولذلك غضب النبي صلى الله عليه وسلم حين رأى مع عمر صحيفة فيها شيء من التوراة‏، وقال‏:‏ ‏"أفيَّ شكٌ أنت يا ابن الخطاب‏؟‏ ألم آت بها بيضاء نقية‏؟‏ لو كان موسى أخي حياً ما وسعه إلا اتباعي‏" ولولا أن ذلك معصية ما غضب منه

 

“Tidak boleh juga berwasiat untuk kemaksiatan seperti membangun rumah api, biara Yahudi, kanisah untuk Nasrani, menuliskan untuk Taurat dan Injil, sebab semua itu adalah bagian dari kemaksiatan. Semua tempat-tempat itu dibangun atas nama kekufuran, demikian halnya dengan kitab-kitab mereka, merupakan yang sudah diganti dan dinasakh dengan Al-Qur’an. Itu sebabnya, suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah marah ketika melihat adanya naskah bersama Umar dan di dalamnya tertulis suatu bagian dari Taurat. Beliau bersabda: “Apakah ada keraguan dalam dirimu Wahai Ibnu Khathab? Bukankah sudah aku sampaikan kepadamu sesuatu yang putih bersih? Andaikata Musa saudaraku masih hidup, maka tiada ia diberi kuasa melainkan menjadi pengikutku.” Andaikata menjaga naskah yang ada bagian Tauratnya itu bukan sesuatu yang dipandang sebagai kemaksiatan, maka tiadalah Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai segitu marahnya.” (Al-Mughni, Juz 6, h. 38).

 

Kesimpulan Hukum

Apa yang peneliti sampaikan berdasarkan nukilan dalil di atas adalah semata memungut sejumlah literasi yang tertuang dalam pandangan para ulama 4 mazhab dan menyatakan hukum keharaman melakukan syirkah ta’awuniyah dengan objek utamanya adalah tempat ibadah. Landasan pelarangan yang disampaikan oleh para ulama di atas juga seragam, yaitu larangan i’anah ‘ala al-ma’shiyah (larangan membantu perbuatan kemaksiatan).

 

Hal yang sama tidak hanya berlaku terhadap rumah ibadah agama lain saja, melainkan juga terhadap segala sesuatu yang dilarang oleh syara’, meskipun atas nama bekerja, seperti membantu produksi minuman keras, membangun rumah perjudian, dan lain sebagainya, mencakup segala sesuatu yang berbau kemungkaran.

 

Apakah ada pendapat ulama yang menyatakan hukum kebolehan terhadap keterlibatan dalam syirkah ta’awuniyah semacam ini? Kita akan ulas ragam pendapat tersebut dalam kesempatan berikutnya. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Centerr PWNU Jatim