Syariah

Ragam Pendapat Ulama soal Jumlah Minimal Jamaah Shalat Jumat

Jum, 20 Juli 2018 | 00:00 WIB

Masjid sekitar kita penuh setiap Jumat siang. Orang-orang beranjak menunaikan ibadah shalat Jumat di tempat kerjanya masing-masing. Karena Jumat masih hari kerja, maka kantor dan berbagai instansi pun turut menyelenggarakan ibadah Jumat. 

Salah satu hal yang mungkin musykil bagi sebagian kita adalah ada beberapa masjid di fasilitas umum, seperti stasiun, bandara, atau sentra perbelanjaan, yang ternyata difungsikan juga untuk shalat Jumat. Tertera jadwal imam dan khatib. Masalahnya, di sana tidak setiap hari tempat seperti itu ramai, dan terkadang orang yang Jumatan juga tak banyak.

Syarat wajib serta syarat sah pelaksanaan shalat Jumat adalah ia mesti dilakukan secara berjamaah. Shalat Jumat yang tidak dilakukan secara berjamaah itu tidak sah menurut fiqih.

Perlu diketahui shalat Jumat secara berjamaah mesti melampaui batas minimal sejumlah orang. Jika jumlah jamaah terpenuhi, maka shalat Jumat menjadi wajib bagi orang yang berdomisili di sekitar masjid, serta jumlah ini yang menentukan sah tidaknya ibadah Jumat.

Mengapa mesti berjamaah? Nabi memang disebutkan tidak pernah melaksanakan shalat Jumat sendirian. Begitu pula pendapat para ulama tentang ayat berikut:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah menuju dzikrullâh dan tinggalkanlah jual beli. Itulah yang baik buat kamu jika kamu mengetahui.” (QS Al Jumu’ah: 9)

Ayat di atas menggunakan lafal fas‘au, yang menunjukkan persona jama’ (lebih dari satu orang), dan sasaran perintah ini adalah untuk umat muslimin. Dari shighat (persona) jama’ inilah diskusi seputar batas minimal sembahyang Jumat bermula.

Kata benda jama’ atau plural, secara bahasa bermakna sesuatu yang lebih dari satu. Namun secara lumrah, penggunaan shighat jama’ ini terkait kumpulan yang lebih dari tiga atau empat. Dari pemahaman ini saja, muncul ragam pendapat jumlah minimum jamaah Jumat.

Ada ulama yang menyebutkan bahwa jamaah itu cukup minimal dua orang saja – ini tidak populer. Selain itu ada ulama menyebutkan minimal Jumatan bisa dan sah dilakukan jika ada dua orang makmum, atau sebagaimana pendapat Abu Hanifah, tiga orang makmum.

Jumlah minimal ini pun berbeda lagi: apakah imam termasuk bagian dari jamaah? Jika ia dianggap sebagai bagian dari jamaah, maka cukup dua orang–imam dan makmum–untuk bisa memulai ibadah Jumat. Namun yang mengecualikan imam dalam hitungan jamaah, maka jumlah orang minimal adalah tiga, atau empat orang – termasuk imam.

Pendapat di atas, mengikuti logika kebahasaan, kurang disepakati oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni. Menurut Ibnu Qudamah, sesuatu yang dipercontohkan oleh Nabi (yaitu shalat Jumat dengan jamaah yang banyak) lebih utama dibanding mengikuti logika kebahasaan.

Sedangkan menurut Imam Malik, jumlah jamaah boleh kurang dari 40 orang, namun kiranya jangan sampai jumlah jamaah Jumatnya hanya tiga atau empat orang saja. Jumlah minimal menurut mazhab Imam Malik, adalah sekiranya seseorang bisa membikin suatu kampung (tataqarra biha qaryatan). 

Karena salah satu syarat lain dari shalat Jumat adalah jamaah yang mustawthin (berdomisili di tempat tersebut) maka oleh Imam Malik, jumlah minimal jamaah ini sekiranya bisa menjadikan satu domisili kampung yang representatif – tentu sesuai kampung di masa Imam Malik. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Kairo, Darul Hadits, 2004, halaman 167-168)

Pendapat yang populer di masyarakat kita adalah pendapat Imam as-Syafii, bahwa shalat Jumat dinilai sudah wajib dan sah jika diikuti minimal 40 orang. Pendapat yang mengharuskan 40 orang jamaah ini dipakai oleh Imam as-Syafii dan Ahmad bin Hanbal. 

Para imam mujtahid yang menyandarkan pendapat pada jumlah minimal jamaah adalah 40 orang, mereka mengikuti keterangan bahwa shalat Jumat yang pertama kali didirikan pada masa Nabi adalah sejumlah orang tersebut.

Ibnu Qudamah mencatat, haditsnya pun diriwayatkan oleh para penyusun kitab Sunan. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Mesir, Maktabah al Qahirah, 1968, Juz 2, halaman 244). Disebutkan dalam sebuah riwayat:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: مَضَتْ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمُعَةً

Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: telah menjadi Sunnah, bahwa Jumat selalu dilakukan untuk 40 orang atau lebih.” (HR. Daruquthni)

Ibnu Qudamah menambahkan, bahwa ada hadits lain yang menunjukkan bahwa minimal jumlah jamaah Jumat adalah 50 orang. Namun hadits tersebut masih diperselisihkan kualitasnya.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: تَجِبُ الْجُمُعَةُ عَلَى خَمْسِينَ رَجُلًا، وَلَا تَجِبُ عَلَى مَا دُونَ ذَلِكَ

Artinya: “Dari Abu Umamah, ia berkata: Rasulullah bersabda: ‘Shalat Jumat menjadi wajib atas 50 orang pria, dan tidak wajib bagi jumlah kurang dari itu’.” (HR Ahmad bin Hanbal)

Maka persoalan jumlah jamaah yang kurang banyak, hendaknya dikomunikasikan dengan pengelola masjid di berbagai fasilitas umum tersebut. Solusi terbaik untuk para jamaah, dengan kesediaan dari pengelola masjid mengingat ada syarat dan rukun Jumat yang perlu dipenuhi, adalah hal yang mesti diperbicangkan bersama.

Namun beberapa organisasi masyarakat Islam di luar Nahdliyin, terlebih dengan pengikut yang tak banyak, bisa Anda temui membuat jadwal Jumatan tersendiri di masjid mereka. Tentu ini perlu dicermati sebagai keragaman pemahaman Islam yang diyakini oleh sebagian saudara Muslim di luar kalangan Nahdliyin. Karena ada sesama Muslim yang memilih tidak Jumatan bersama, janganlah lantas dituding macam-macam–itu kurang bijak.

Secara umum, masjid-masjid kampung atau kantor-kantor toh tetap ramai dijubeli jamaah Jumat, baik warga setempat atau orang-orang yang sedang mampir. Jumlah yang lebih banyak ini, tentu membuat kita merasa lebih nyaman dan tenang dalam melaksanakan ibadah Jumat, serta meningkatkan keutamaannya. Jika ada lokasi Jumatan yang ramai dan dekat, mengapa mesti ribet? Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua