Syariah

Pendapat Para Ulama soal Hewan Sembelihan Ahlul Kitab atau Non-Muslim

Rab, 17 Juni 2020 | 13:00 WIB

Pendapat Para Ulama soal Hewan Sembelihan Ahlul Kitab atau Non-Muslim

Banyak negara di dunia telah mendirikan lembaga sertifikasi halal untuk memenuhi hak konsumen masyarakat Muslim di sana.

Di era sekarang, mobilitas masyarakat dari satu daerah ke daerah lain, termasuk antarnegara, adalah hal yang biasa terjadi. Pertukaran pelajar, studi di luar negeri, urusan bisnis skala multilateral, adalah hal yang tak bisa dihindari di era sekarang.


Keniscayaan itu menjadikan masyarakat berinteraksi dan berbagi nilai-nilai yang dianutnya dengan budaya lain. Mulai dari tata krama sehari-hari, moral, dan juga keyakinan beragama. Ajaran Islam yang terwujud dalam fikih sehari-hari cukup detail sampai urusan makanan dan pakaian menemui beberapa kendala.


Salah satu problem dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal maupun global, adalah mengenai produk makanan dari sembelihan hewan. Kerap jadi obrolan, “Saya tinggal di daerah mayoritas non-Muslim, apakah produk daging atau sembelihan lainnya yang saya makan halal karena disembelih oleh mereka?”


Perihal makanan sembelihan oleh non-Muslim ini memang sesuatu yang agak pelik dalam konteks daerah mayoritas non-Muslim. Patut dicermati dulu bahwa dalam problem sembelihan non-Muslim ini yang pertama perlu dicermati adalah apakah hewan yang dimakan itu halal atau tidak. 


Secara umum, syarat penyembelihan hewan adalah mesti ditinjau dari penyembelih, alatnya (termasuk tempat), cara dan praktik menyembelih, serta doa/dzikir saat menyembelih. Penyembelih disyaratkan adalah orang yang Muslim atau ahlul kitab, serta merupakan orang yang berakal. 


Selama hewan itu halal secara dzat, tidak ditujukan untuk ritus yang dipandang mengarah pada kesyirikan, serta alat dan ketentuan penyembelihannya tidak bertentangan dengan lumrahnya cara yang disepakati dalam Islam, maka sembelihan non-Muslim dibolehkan. Salah satu perdebatan soal sembelihan non-Muslim ini adalah berada dalam masalah ahlul kitab. Mengapa ia menjadi perdebatan, karena dalam Al-Quran disebutkan: 


...وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ…


Artinya: “...Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka...” (QS al-Maidah: 5).


Kata tha’am yang dimaksud dalam ayat di atas, ditafsirkan dalam Tafsir Jalalayn sebagai dzabaih atau ‘sembelihan’. Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam Tafsir Al-Qurthubi mengutip dari Imam at-Thabari bahwa ulama telah ijma’ bahwa sembelihan ahlul kitab itu dibolehkan. Demikian juga dicatat oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.


Namun persoalannya adalah dalam perkara tafshil, atau penjelasan: siapa sebenarnya orang-orang non-Muslim yang digolongkan ahlul kitab dalam masalah penyembelihan itu?


Kalangan mazhab Hanafiyah merujuk pada penafsiran ayat surat al-Maidah di atas, bahwa sembelihan yang halal adalah yang dilakukan oleh kaum yang mengimani ajaran Taurat dan Injil, sehingga ia adalah kalangan Yahudi dan Nasrani dari bangsa mana pun. Sedangkan sembelihan musyrik di luar agama tersebut, penyembah berhala maupun penyembah api (Majusi) tidak boleh dimakan. 


Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan yang dianut oleh kalangan pengikut mazhab Imam Malik bin Anas yang mengacu pada maksud (الذين أوتو ا الكتاب) secara umum, tanpa melakukan perincian atau takhshish dari kalimat di atas dari status bangsa atau nasab.


Sedangkan dari kalangan pengikut mazhab Ahmad bin Hanbal juga serupa, dengan beberapa catatan. Ajaran siapa saja yang termasuk ahlul kitab pada dasarnya tidak dirinci dalam khithab (sasaran bicara) ayat surat Al-Maidah di atas. Penganut Yahudi dan Nasrani ada yang baru memeluk agama tersebut di Madinah, namun ada juga yang sudah dari leluhur mereka. Pendapat ini diperjelas oleh Ibnu Taimiyah yang menjelaskan bahwa perincian klasifikasi golongan-golongan ahlul kitab adalah sesuatu yang dilakukan di era belakangan, dan tidak ada di era Nabi.


Pendapat Imam asy-Syafi’i lebih spesifik membahas soal kriteria Yahudi dan Nasrani yang dimaksud. Beliau membuat klasifikasi tentang maksud dari ahlul kitab. Salah satu keterangan yang dirujuk berasal dari qaul Sayyidina Ali


 قال علي رضوان الله عليه: لا تأكلوا ذبائح نصارى بني تغلب، فإنهم إنما يتمسكون من النصرانية بشرب الخمر


Artinya: “Sayyidina Ali radliyallahu ‘anhu berkata: janganlah memakan sembelihan kaum Nasrani dari Bani Taghlab/Taghlib, karena mereka tidak menjalankan ajaran agama mereka, kecuali dalam pantangan minum khamar.”


Di samping keterangan tersebut, atsar dari Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa kaum Nasrani Arab bukanlah ahlul kitab, dan sembelihannya haram dikonsumsi oleh Muslim. Salah satu argumennya adalah kaum Nasrani Arab memeluk Nasrani setelah adanya perubahan dan distorsi dalam ajaran agama mereka. Pihak yang dipandang paling memungkinkan untuk memahami ajaran Yahudi dan Nasrani “lebih murni” adalah dari Bani Israil. Sehingga siapa itu ahlul kitab sangat spesifik: pengikut Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil, yang mengimani ajaran yang murni dan tidak berubah.


Perbedaan yang juga memicu apakah penyembelihan hewan non-Muslim adalah ia dipandang urusan ibadah atau tidak. Suatu ibadah, khususnya yang mahdlah, maka ia mewajibkan adanya niat. Jika dianggap menyembelih hewan itu termasuk ibadah yang mesti didahului niat tentu tidak sah jika ia dilakukan oleh orang non-Muslim. Demikian catatan dari Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.


Perdebatan soal kriteria ahlul kitab ini menjadi medan diskusi para ulama yang cukup panjang. Selain dalam perkara penyembelihan hewan, pembahasan ahlul kitab juga terkait misalnya dalam kasus persaksian atau pernikahan. Konteks sejarah kerap mempengaruhi keputusan fatwa yang muncul di masa para ulama tersebut hidup, serta setiap agama juga memiliki perkembangan ajarannya sendiri, tak terkecuali agama Yahudi dan Nasrani. Cendekiawan Muslim kontemporer bahkan ada yang memperluas definisi ahlul kitab ini melampaui yang disebut ‘agama samawi’ seperti Islam, Yahudi dan Nasrani, dengan menjadikan berbagai agama dan keyakinan tersebut juga merupakan ahlul kitab.


Banyak negara di dunia telah mendirikan lembaga sertifikasi halal untuk memenuhi hak konsumen masyarakat Muslim di sana. Banyak pengalaman para ekspatriat Muslim yang bisa disimak tentang pengelolaan konsumsi halal di negara minoritas Muslim. Salah satu yang dicatat oleh KH. Ali Mustafa Yaqub dalam Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Kosmetika dan Obat-obatan adalah lembaga sertifikasi halal di beberapa negara ini mensyaratkan penyembelih hewan adalah dari kalangan Muslim dengan latar belakang mazhab apa pun. Hal ini dipandang sebagai cara menjauhi ikhtilaf serta memberi jaminan tertentu bagi penganut Muslim. Wallahu a’lam.

 

Muhammad Iqbal Syauqi, alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences; mahasiswa Profesi Dokter UIN Jakarta