Syariah

Hukum Pemanfaatan Barang Gadai oleh Pegadaian (Bagian 1)

Rab, 18 Agustus 2021 | 14:00 WIB

Hukum Pemanfaatan Barang Gadai oleh Pegadaian (Bagian 1)

Pemanfaatan barang gadai oleh pegadaian menurut empat mazhab

Pembahasan hukum pemanfaatan barang gadai oleh penggadai (râhin) sudah penulis uraikan dalam tulisan terdahulu, tepatnya pada rubrik Bahtsul Masail yang berjudul ‘Hukum Gadai Sawah yang dikelola oleh Pemiliknya’.

 

 

Kali ini penulis akan mengupas hukum gadai dalam kasus barang gadai dimanfaatkan oleh pihak pegadaian? Sebagai contoh barang gadaian itu adalah mobil.

 

Setidaknya, penulis akan sajikan dua sudut pandang. Sudah tentu, penerapan sudut pandang ini menghendaki keterlibatan banyak pertimbangan dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri secara terpisah.

 

Di sini penulis pilah berdasarkan sifat keumuman tiga sudut pandang tersebut, sebagai boleh atau tidaknya pemanfaatan barang gadai, dan pendapat alternatif dari ulama atau qaul tsalits (pendapat ketiga), serta batas-batas syara' yang harus diperhatikan.

 

Pertama, Ulama yang Mengharamkan Pemanfaatan Barang Gadai

Fuqaha sepakat gadai merupakan akad utang dengan jaminan berupa barang. Dalam istilah modern, akad ini sering disebut juga dengan akad kredit beragun aset.

 

Berdasarkan dalil asal, bahwa akad utang merupakan akad pinjam meminjam uang (baca: barang ribawi) dengan ketentuan pengembalian berupa uang (barang ribawi) juga dengan keniscayaan barang yang dikembalikan berganti atau dengan barang (uang) yang lain. Karena alasan pergantian barang dari kelompok barang ribawi tersebut, maka dalam utang, wajib berlaku tiga syarat ketentuan. Ketiga ketentuan itu, adalah wajib tamâtsul (sepadan), taqâbudl (saling serah terima), dan hulûl (kontan/tunai).

 

Karena adanya keniscayaan pergantian barang ini pula, maka utang piutang disebut sebagai akad mu’âwadlah (pertukaran barang/barter) dan merupakan bagian dari akad jual beli. Kelebihan pada salah satu barang yang ditukar menjadikan pelakunya bisa jatuh pada ribâ fadhli atau ribâ qardli.

 

Intinya, kedua jenis riba ini memiliki titik tekan yang sama, yaitu tidak boleh ada kelebihan pada salah satu barang yang ditukar. Sebab, kelebihan pada salah satu barang, dapat menabrak pada kaidah masyhur, kullu qardlin jara naf’an ll muqridli fahuwa ribâ, atau setiap utang yang memberi kemanfaatan pada pihak yang menghutangi adalah riba.

 

Tentu pula hal ini dengan disertai ketentuan lain, yaitu bila kelebihan itu bersifat disyaratkan atau diminta kesanggupan melebihkan pengembalian di muka, yakni saat akad terjadi.

 

Selanjutnya, pada pemanfaatan barang gadai, permasalahan yang menjadi fokus utama kajian adalah apakah “manfaat mobil” (marhûn) itu merupakan yang diakui sah sebagai “harta” dalam Islam? Sudah barang tentu jawabannya diperinci menjadi dua.

 

Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, “manfaat mobil”, merupakan bagian dari “harta”. Status hartawi dari 'manfaat' dikategorikan sebagai jasa (khadamat).

 

Bukti keberadaan bahwa “manfaat” merupakan harta, adalah karena manfaat tersebut bisa diuangkan dengan jalan disewakan barang ke pihak lain. Alhasil, ongkos sewa menempati derajat ‘ain (barang), atau yaqûmu manzilata ‘ainihi. Misalnya, ulama yang menyatakan hal ini adalah ad-Dardiri dalam karyanya as-Syarhul Kabîr lid Dardîr (Malikiyah), yaitu saat ia berbicara tentang syarat barang yang bisa diwakafkan. Ingat, semua barang yang sah disewakan maka sah untuk diwakafkan. Alhasil, dalam persoalan harta berbasis manfaat, maka ad-Dardiri berpendapat:

 

فيصح أن يوقف على مستحق للانتفاع بخدمته أو ركوبه أو الحمل عليه، ويشمل أيضًا الطعام والدنانير والدراهم، وينزل رد بدله منزلة بقاء عينه

 

Artinya, “Sah mewakafkan sesuatu kepada pihak lain berupa manfaat jasa servis transportasi atau angkutan, termasuk di dalamnya adalah jasa pembuat produk makanan, atau manfaat modal (dinar dan dirham), dengan asumsi bahwa upah jasa tersebut menempati posisi ‘ain (aset).” (Al-Fiqhul Islâmi wa Adillatuh, juz X, halaman 7637; dan asy-Syarhul Kabîr lid Dardîri, juz IV, halaman 77).

 

Karena ongkos jasa menempati derajat 'ain, maka dapat disimpulkan, bahwa menurut fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, pemanfaatan barang gadai oleh pihak pegadaian termasuk menabrak kaidah kullu qardlin jarra naf’an, atau utang menarik kemanfaatan berupa harta tambahan, sehingga termasuk ribâ fadli atau ribâ qardli.

 

Kedua, Ulama yang Membolehkan Pemanfaatan Barang Gadaian

Akar pandangan fuqaha yang membolehkan pemanfaatan barang gadai oleh pegadaian berangkat dari pandangan bahwa “manfaat barang” adalah bukan bagian dari harta, sehingga harus dipisahkan dari akad utang-piutang (tadâyun). Pendapat ini dipedomani oleh kalangan Ahnaf, yaitu fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi.

 

Menurut mereka, akad utang piutang pada dasarnya adalah akad jual beli (pertukaran). Syarat yang berlaku atas akad jual beli adalah wajibnya kafâ-ah, yaitu seimbangnya dua pelaku akad sebagai ahli penasarufan harta, wajibnya hurriyatut tasharruf (bebasnya pembelanjaan), dan kamâlul qabdli (sempurnanya serah terima perpindahan milik).

 

بأن دفع ألف درهم إلى رجل على أن يكون نصفه قرضا يعمل في النصف الآخر شرك، فإنه يجوز مع أن القبض شرط لوقوع الملك في القرض

 

Artinya, “Perumpamaan seperti menyerahkan uang 1000 dirham kepada seseorang dengan separuhnya berlaku sebagai utang, dan separuh yang lain sebagai modal syirkah, maka penyerahan semacam ini adalah boleh karena menepati syarat (sempurnanya) qabdlu (penerimaan) bagi kepastian terjadinya perpindahan hak milik barang sebagai utang.” (Badruddin al-‘Aini, al-Binâyah Syarhul Hidâyah, juz X, halaman 70).

 

Abu Yusuf sebagaimana dikutip oleh Fakhruddin az-Zila’i (wafat 743 H) menyatakan:

 

أنَّ الرَّهْنَ فِي الْمَنْقُولِ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِالنَّقْلِ، لِأَنَّهُ قَبْضٌ مُوجِبٌ لِلضَّمَانِ ابْتِداءً، إذْ لَمْ يَكُنِ الرَّهْنُ مَضْمُونًا عَلَى أَحَدٍ قَبْلَ ذَلِكَ، فَلا يَثْبُتُ إِلَّا بِالقَبْضِ حَقِيقَةً

 

Artinya, “Akad rahn terhadap barang bergerak adalah tidak berlaku selagi tidak disertai dengan perpindahan barang. Sebab, pemindahan merupakan syarat terjadinya qabdlu sehingga mewajibkan penerimanya siap bertanggung jawab atas barang tersebut, pada permulaan akad. Sebab akad gadai tidak berlaku menjadi dipertanggungjawabkan kepada seseorang sebelum kepastian terjadinya penerimaan (qabdlu) secara haqiqi.” (Az-Zaila’i, Tabyînul Haqâ-iq Syarhu Kanzid Daqâ-iq wa Hâsyiyyatusy Syalabi li Fakhruddîn az-Zaila’i, juz VI, halaman 63).

 

Alhasil, dengan mengikut perspektif fuqaha Ahnaf, maka “manfaat mobil” adalah bukan bagian dari harta. Fisik pertukaran yang berlaku kamâlul qabdli, terjadi antara uang yang diutangkan dengan penyerahan barang jaminan. Karenanya, barang yang dijadikan jaminan, pada dasarnya adalah telah dibeli oleh pegadaian sebab telah terjadi kesempurnaan penyerahan (kamâlul qabdli) tersebut, kendati akadnya disebutkan sebagai akad gadai (rahn).

 

Dalam hal ini, harga tebusan yang bernilai sebesar “uang yang diserahkan oleh pegadaian (murtahin) kepada penggadai (râhin) saat di majelis akad”, merupakan harga yang disepakati sebagai janji untuk membeli barang jaminan itu kembali. Wallahu a'lam.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim.