Syariah

Istinja’ yang Tak Sempurna bagi Penyandang Disabilitas

Rab, 11 Desember 2019 | 13:30 WIB

Istinja’ yang Tak Sempurna bagi Penyandang Disabilitas

Islam menghendaki keringanan bagi mereka memiliki uzur melakukan ibadah secara sempurna. Tapi, syariat melarang tiap orang menggampangkan aturan agama.

Di antara syarat utama melakukan ibadah adalah harus suci dari najis. Hal ini menjadi pengetahuan umum umat Islam. Namun, kemudian timbullah pertanyaan dari penyandang disabilitas yang membuatnya sulit untuk beristinja (bersuci dari buang air) dengan sempurna. Bagaimanakah cara penyandang disabilitas yang mengalami kesulitan untuk beristinja secara sempurna ini agar tetap sah untuk beribadah?

 

Dalam kitab fiqih diterangkan bahwa dia dapat beristinja dengan cara meminta bantuan pasangan halalnya (suami atau istri). Namun jika tidak ada orang tersebut, maka dengan cara apa pun yang memungkinkan. Kalaupun tidak sempurna sebab tidak ada pasangannya, maka ia boleh tetap melanjutkan shalat sesuai pendapat dalam mazhab Hanafi dan Maliki.

 

Dalam mazhab Hanafi, bila seseorang tidak mampu untuk menghilangkan najis di tubuhnya dan shalat dengan cara itu, maka shalatnya sah dan tak perlu mengulang lagi meskipun terdapat orang lain yang dapat membantunya. Adapun dalam mazhab Maliki, menghilangkan najis merupakan kesunnahan dan bukan kewajiban sehingga tidak masalah meskipun shalat membawa najis, namun disarankan untuk mengulang shalatnya kembali apabila sudah memungkinkan untuk bersuci secara sempurna.

 

Dalam kitab Râd al-Mukhtâr, salah satu rujukan utama Mazhab Hanafi, disebutkan:

 

فِي التَّتَارْخَانِيَّة: الرَّجُلُ الْمَرِيضُ إذَا لَمْ تَكُنْ لَهُ امْرَأَةٌ وَلَا أَمَةٌ وَلَهُ ابْنٌ أَوْ أَخٌ وَهُوَ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْوُضُوءِ قَالَ يُوَضِّئُهُ ابْنُهُ أَوْ أَخُوهُ غَيْرَ الِاسْتِنْجَاءِ؛ فَإِنَّهُ لَا يَمَسُّ فَرْجَهُ وَيَسْقُطُ عَنْهُ وَالْمَرْأَةُ الْمَرِيضَةُ إذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا زَوْجٌ وَهِيَ لَا تَقْدِرُ عَلَى الْوُضُوءِ وَلَهَا بِنْتٌ أَوْ أُخْتٌ تُوَضِّئُهَا وَيَسْقُطُ عَنْهَا الِاسْتِنْجَاءُ. اهـ. وَلَا يَخْفَى أَنَّ هَذَا التَّفْصِيلَ يَجْرِي فِيمَنْ شَلَّتْ يَدَاهُ؛ لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَرِيضِ

 

Dalam kitab Tatarkhaniyah disebutkan: Seorang laki-laki yang sakit yang tidak punya istri atau budak perempuan tetapi mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki sedangkan dia sendiri tidak mampu untuk wudhu, maka anak dan saudaranya itu boleh membantunya berwudhu tetapi tidak boleh membantunya istinja sebab mereka tidak boleh memegang kemaluannya. Istinja itu sendiri gugur kewajibannya dari lelaki tersebut. Seorang perempuan yang sakit yang tidak mempunyai suami sedang dia tidak mampu untuk berwudhu tetapi dia mempunyai anak perempuan atau saudara perempuan, maka mereka boleh membantunya berwudu dan ia gugur kewajibannya untuk istinja. Dan, sudah jelas bahwa perincian ini juga berlaku bagi orang yang terpotong kedua tangannya sebab dia sama hukumnya dengan orang sakit (Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, [Bairut: Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M], juz, I, hlm. 341).

 

Dalam kitab Bughyat al-Musytarsyidîn yang beraliran Syafiiyyah, seperti mazhab yang diikuti oleh mayoritas Muslimin Indonesia, disebutkan keterangan sebagaimana berikut:

 

فائدة : يَجِبُ عَلَى الْمَرِيْضِ أَنْ يُؤَدِّيَ الْصَلَوَاتِ الْخَمْسَ مَعَ كَمَالِ شُرُوْطِهَا وَأَرْكَانِهَا وَاجْتِنَابُ مُبْطِلَاتِهَا حَسْبَ قُدْرَتِهِ وَإِمْكَانِهِ … فَإِنْ كَثُرَ ضَرَرُهُ وَاشْتَدَّ مَرَضُهُ وَخَشِيَ تَرْكَ الصَلَاةِ رَأْساً فَلَا بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ أَبِي حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَإِنْ فَقُدَتْ بَعْضَ الْشُرُوْطِ عِنْدَنَا. وَحَاصِلُ مَا ذَكَرَهُ الْشَّيْخُ مُحَمَّدُ بْنُ خَاتِمٍ فِي رِسَالَتِهِ فِي صَلَاةِ الْمَرِيْضِ أَنَّ مَذْهَبَ أَبِي حَنِيْفَةَ أَنَّ الْمَرِيْضَ إِذَا عَجَزَ عَنِ الْإِيْمَاءِ بِرَأْسِهِ جَازَ لَهُ تَرْكُ الصَّلَاةِ فَإِنْ شَفَي بَعْدَ مُضِيِّ يَوْمٍ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَإِذَا عَجَزَ عَنِ الْشُرُوْطِ بِنَفْسِهِ وَقَدَرَ عَلَيْهَا بِغَيْرِهِ فَظَاهِرُ الْمَذْهَبِ وَهُوَ قوْلُ الْصَاحِبِيْنَ لَزُوْمُ ذَلِكَ إِلَا إِنْ لَحِقَتْهُ مَشَقَّةٌ بِفِعْلِ الْغَيْرِ أَوْ كَانَتْ النَّجَاسَةُ تَخْرُجُ مِنْهَ دَائِماً وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةُ : لَا يُفْتَرَضُ عَلَيْهِ مُطْلَقاً لِأَنَّ الْمُكَلَفَ عِنْدَهُ لَا يُعَدُّ قَادِرًا بِقُدْرَةِ غَيْرِهِ وَعَلَيْهِ لَوْ تَيَمَّمَ الْعَاجِزُ عَنِ الْوُضُوْءِ بِنَفْسِهِ أَوْ صَلَّى بِنَجَاسَةٍ أَوْ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ مَعَ وُجُوْدِ مَنْ يَسْتَعِيْنُ بِهِ وَلَمْ يَأْمُرْهُ صَحَّتْ وَأَمَّا مَالِكٌ فَمُقْتَضَى مَذْهَبِهِ وُجُوْبُ الْإِيْمَاءِ بِالطَرْفٍ أَوْ بِإِجْرَاءِ الْأَرْكَانِ عَلَى الْقَلْبِ وَالْمُعْتَمَدُ مِنْ مَذْهَبِهِ أَنَّ طَهَارَةَ الْخُبُثِ مِنَ الْثَوْبِ وَالْبَدَنِ وَالِمَكَانِ سَنَةٌ فَيُعِيْدُ اِسْتِحْبَاباً مَنْ صَلَى عَالِماً قَادِرًا عَلَى إِزَالَتِهَا وَمُقَابِلَةُ الْوُجُوْبِ مَعَ الْعِلْمِ وَالقُدْرَةِ وَإِلَّا فَمُسْتَحَبٌّ مَا دَامَ الْوَقْتُ فَقَطْ وَأَمَّا طَهَارَةُ الْحَدَثِ فَإِنْ عَجَزَ عَنِ اسْتِعْمَالِ الْمَاءِ لِخَوْفِ حُدُوْثِ مَرَضٍ أَوْ زِيَادَتِهِ أَوْ تَأْخِيْرِ بَرَءٍ جَازَ الْتَيَمُّمُ وَلَا قَضَاءَعَلَيْهِ وَكَذَا لَوْ عَدِمَ مَنْ يُنَاوَلُهُ الْمَاءَ وَلَوْ بِأُجْرَةٍ وَإِنْ عَجَزِ عَنِ الْمَاءِ وَالصَعِيْدِ لِعَدَمِهِمَا أَوْ عَدِمَ الْقَدْرَةَ عَلَى اسْتِعْمالِهِمَا بِنَفْسِهِ وَغَيْرِهِ سَقَطَتْ عَنْهُ الصَّلَاةُ وَلَا قَضَاءَ اهـ.

 

Artunya: Wajib bagi orang sakit untuk melakukan lima shalat wajib beserta seluruh syarat dan rukunnya serta menjauhi semua hal yang membatalkannya sesuai kemampuan dan kesempatannya. Apabila banyak kesulitannya dan sakitnya parah dan dikhawatirkan untuk meninggalkan shalat sama sekali, maka tak mengapa baginya untuk mengikuti mazhab Abu Hanifah dan Malik meskipun beberapa syarat tersebut tidak sempurna menurut mazhab kita (Syafi'iyyah).

 

Kesimpulan dari apa yang dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Khatib dalam risalahnya tentang shalatnya orang yang sakit adalah:

 

Mazhab Abu Hanifah menyatakan:

 

  • Apabila orang yang sakit tidak mampu untuk menggerakkan kepalanya maka ia boleh untuk meninggalkan shalat.
  • Apabila ia sudah sembuh setelah melewati satu hari maka ia tidak perlu mengganti shalat itu.
  • Apabila ia tidak mampu untuk menjalankan syarat-syaratnya sendirian tetapi mampu apabila dibantu orang lain maka menurut pendapat yang kuat dalam mazhab, dia wajib meminta bantuan tersebut kecuali apabila ia mengalami kesulitan bila dibantu orang lain atau karena najisnya terus-menerus keluar.

 

Imam Abu Hanifah berkata: "Ia tidak wajib secara mutlak untuk meminta bantuan tersebut karena seorang mukallaf tidak bisa disebut mampu apabila kemampuannya dengan cara dibantu orang lain. orang tersebut apabila bertayamum sebab tidak mampu untuk berwudhu sendiri atau shalat dengan najis atau shalat tidak menghadap kiblat padahal ada orang yang dapat membantunya tetapi ia tidak meminta bantuan, maka sah shalatnya.

 

Adapun Imam Malik maka ketentuan mataharinya adalah wajib menggerakkan ujung kepalanya saja atau menjalankan rukun-rukun shalat dalam hati. Adapun pendapat yang kuat dalam mazhabnya menyebutkan bahwa suci dari najis di badan, pakaian dan tempat adalah sunnah dan disunatkan bagi orang yang tahu keberadaan najis tersebut dan mampu untuk menghilangkannya agar mengulangi shalat” (Abdurahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, [Bairut: Dar al-Fikr, tt], hlm. 162).

 

Namun harus diperhatikan agar keringanan di atas dilakukan hanya oleh penyandang disabilitas yang kesulitan untuk bersuci dengan sempurna, bukan mereka yang menganggap enteng masalah ini dan mengambil yang mudah-mudah saja. Allah Maha Mengetahui mana hambanya yang layak mendapat keringanan dan mana yang tidak.

 

===
Artikel ini dinukil dari buku "Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas" yang disusun dan diterbitkan oleh tim Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Unibraw. Unduh buku (PDF) ini di kanal Download NU Online.