Opini

Teladan Literasi Damai Nabi Muhammad

Sel, 15 Oktober 2019 | 02:00 WIB

Teladan Literasi Damai Nabi Muhammad

Ilustrasi Nabi Muhammad SAW. (NU Online)

Oleh Fathoni Ahmad
 
Nabi Muhammad SAW diciptakan sebagai manusia istimewa dan sempurna. Meskipun demikian, Rasulullah ditakdirkan oleh Allah SWT sebagai manusia yang ‘ummi’. Walau tak bisa baca dan tulis, bukan berarti Nabi tidak memiliki spirit literasi. Sebab tulis-menulis justru merupakan salah satu metode efektif bagi Nabi Muhammad untuk menyampaikan dakwahnya secara damai, baik ketika menulis perjanjian atau kesepakatan dan surat-menyurat dengan sejumlah raja.

Di sinilah merupakan hal yang sulit untuk menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar buta huruf, dalam arti tidak bisa membaca dan menulis sama sekali sepanjang hidupnya sebab setelah turunnya Al-Qur’an beliau pernah merevisi rancangan Perjanjian Hudaibiyah yang drafnya ditulis oleh Ali bin Abi Thalib. Nabi SAW menghapus sendiri kata-kata “Rasulullah” dan menggantinya dengan “Ibnu Abdillah” setelah Ali bin Abi Thalib menolak untuk melakukannya. Ali bin Abi Thalib hanya bersedia menunjukkan tempat kata-kata “Rasulullah” saja.

Orang-orang Quraisy yang diwakili Suhail bin Amr merasa keberatan dimasukkannya kata-kata “Rasulullah” ke dalam teks perjanjian tersebut dan menuntut supaya diganti dengan “Ibnu Abdillah” karena mereka tidak mempercayai kerasulan Muhammad. Tuntutan ini dipenuhi Nabi Muhammad SAW dengan menghapus dan mengganti sendiri kata-kata itu dengan kata-kata “Ibnu Abdillah”.

Persoalan itu terjadi ketika menyikapi bagian penutup dalam naskah perjanjian. Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata hadza ma qadha ‘alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Akan tetapi Suhail kembali menolak kalimat tersebut dan mengusulkan kalimat hadza ma qudhiya ‘alaihi Muhammad ibn Abdullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah).

Bukan hanya persoalan penghapusan kata “Rasulullah”, tetapi juga tuntutan penghapusan “bismillahirrahmanirrahmi” oleh kaum kafir Quraisy dalam perjanjian tersebut. Sebagai preambul atau pembukaan naskah perjanjian itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata bismillahirrahamanirrahim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asing. Lalu Suhail mengusulkan kalimat bismika allhumma, kalimat yang populer di tengah masyarakat Arab kala itu.

Akibat pencoretan basmalah dan kata Rasulullah membuat para sahabat Nabi tersinggung dan menolak perjanjian tersebut. Namun, Rasulullah meminta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu. Konon, Rasulullah mengambil sendiri penulisan naskah itu karena para sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah satu prinsip dalam akidah Islam.

Pencoretan kata basmalah dan Rasulullah, Nabi menilai hal itu sebagai batas maksimum yang dapat dilakukan, terutama untuk mengatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan. Nabi mengetahui akibat yang akan dialami umat Islam jika dilakukan gencatan senjata. Namun, beliau sangat paham langkah-langkah yang akan dilakukan selanjutnya. Akidah di dada umat Islam semakin kuat. Teladan dan ajaran Rasulullah juga tidak sedikit pun luntur di hati para pengikutnya.

Namun, prinsip dakwah Nabi Muhammad SAW ialah mengajak, bukan mengejek, bukan pula memaksa apalagi memerangi. Selain menyampaikan (tabligh) secara langsung kepada umatnya, Nabi juga berdakwah melalui surat-menyurat. Cara ini biasanya dilakukan untuk mengajak para raja-raja dari kerajaan kecil maupun kerajaan yang telah masyhur atau besar pengaruhnya.

Rasulullah SAW tidak pernah bosan menghampiri umatnya untuk melakukan dakwah Islam dengan cara yang santun dan kesabaran yang tinggi. Karena tidak jarang Rasulullah mendapat perlakuan jauh dari kata ramah meskipun Nabi menyampaikannya secara ramah. Namun, berkat kesabaran dan kesejukan yang ditunjukkannya, tidak jarang pula akhirnya mereka memeluk agama Islam.

Meskipun Rasulullah tidak bisa membaca dan menulis, beliau amat cerdas memilih Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris pribadi yang terkenal sebagai ahli bahasa-bahasa asing dunia kala itu. Gagasan Nabi ditulis oleh Zaid bin Tsabit lalu dikirim ke pusat-pusat kerajaan strategis. Bukan hanya memilih Zaid bin Tsabit yang cerdas, Nabi juga memilih para diplomat ulungnya untuk menyampaikan langsung surat dakwah yang berisi ajakan memeluk Islam.

Seperti diketahui, tradisi kerajaan terdahulu ialah suatu keberanian dan tentu sebuah penghormatan tinggi ketika ada utusan resmi menghampiri kerajaan untuk menyampaikan sebuah pesan. Apalagi pesan tersebut disampaikan secara damai dan tidak mudah karena harus mengarungi lautan dan melewati bentangan jarak yang sangat panjang bagi para utusan. Ajaran dan seruan Nabi melalui surat direspons positif oleh kerajaan—meski tidak semuanya. Namun hasilnya menakjubkan, banyak raja dan orang-orang penting lainnya memeluk Islam.

Raja-raja tersebut bukan tanpa alasan serta merta mengikuti seruan Nabi, karena mereka sebelumnya telah mendengar kabar soal utusan Allah bernama Muhammad, manusia terpercaya, jujur, dan menyampaikan kebenaran di setiap ucapannya.

Guru Besar bidang Tafsir Prof KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah-khutbah Imam Besar (2018) mengungkapkan di antara surat-surat Rasulullah ialah kepada Muqawqis, Raja Qibthi di Mesir sekitar akhir tahun 6 H atau awal tahun 7 H sebagai berikut:

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Muqawqis, Raja Qibthi. Keselamatan semoga tercurah kepada orang yang mengikuti Petunjuk-Nya, amma ba’du: aku mengajakmu dengan ajakan kedamaian. Masuklah Islam maka engkau akan selamat. Masuklah Islam maka engkau akan diberikan Allah pahala dua kali. Jika engkau menolak maka atasmu dosa penduduk Qibthi.” 

Sebagai sebuah penyampai kebenaran, tentu saja seruan Nabi Muhammad disambut gembira oleh Raja Muqawqis. Surat berisi seruan yang sama juga disampaikan Rasulullah kepada Kaisar Heraclius Raja Romawi, Raja Najasyi Penguasa Habasyah, Raja Gassan Jabalah bin Aiham, Raja Thaif, dan raja-raja besar lainnya.

Dakwah Nabi Muhammad melalui surat membuahkan teladan luhur bagi umat Islam bahwa kebenaran harus disampaikan dengan cara yang baik. Selain itu, dakwah juga menuntut kearifan akhlak penyampainya sehingga antara hati dan perkataan merupakan satu-kesatuan. Itulah bentuk integritas Nabi yang teguh dan berani tapi tetap ramah, berakhlak baik, dan menghormati.

Saat ini dakwah bisa dilakukan dengan berbagai instrumen teknologi canggih yang langsung terhubung secara otomatis kepada masyarakat secara digital. Namun, arus informasi keagamaan di internet dan media sosial sangat deras sehingga menuntut saringan yang baik dari penerima informasi selain berupaya mengenal si penyampai informasi.

 
Penulis adalah Dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta
 
--------------
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara NU Online dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo