Opini

Selera Musik Para Kiai Nahdlatul Ulama

Sab, 28 Agustus 2021 | 02:00 WIB

Oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun


Redaktur NU Online Abdullah Alawi pernah bercerita kepada saya, ketika ia mewawancarai Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Tak seperti biasanya, ada satu pertanyaan akhir yang membuat Kiai Said menahannya, "Apa selera musik Pak Kiai?"

 

Pecinta Shalawat Burdah itu pun kemudian bercerita dengan semangat perihal lagu-lagu Umi Kultsum, penyanyi favoritnya. Suatu hal yang jarang dibahas, bahkan kadang dinilai kontras: kiai dan musik.


Kiai Said seringkali mengutip Imam Dzu Nun Al-Mishri (w. 245 H) ketika membincang soal musik. Menurutnya, musik itu suara kebenaran, suara hak, sementara yang palsu itu dari mulut.  

 

"Musik tidak ada yang bohong. Suara kebenaran yang bisa menggugah hati manusia menuju Allah, menuju kebenaran," kutipnya.

 

Ia melanjutkan kutipan sufi besar itu, "Barangsiapa mendengarkan suara musik dengan betul-betul mencapai hakikat, dengan tujuan positif, dia akan mencapai kepada hakikat. Tapi barangsiapa mendengarkan musik dengan syahwat, dia akan pada ke-zindiq-an," ungkapnya, seperti dalam tulisan Ngaji Musik kepada Kiai Said Aqil Siroj (2).

 

***

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), musik didefinisikan dengan dua pengertian. Pertama, ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan; Kedua, nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu).

 

Tentu, Kiai Said bukanlah kiai pertama dari pesantren Nahdlatul Ulama (NU) yang menyukai musik. Jauh-jauh hari semenjak NU berdiri, para kiai sudah banyak yang memiliki selera musik. Lebih dari itu, mereka bukan saja penikmat, tetapi juga penyusun, pencipta atau penggubah lagu atau syair. Inisiator, pendiri dan penggerak NU KH Abdul Wahab Chasbullah, misalnya, adalah salah satunya.

 

H Aboe Bakar Atjeh yang masih bertemu dengannya memaparkan kesukaan Kiai Wahab. "Di antara kegemarannya mengunjungi orang-orang alim, tempat-tempat suci dan keramat, dan mendengar lagu-lagu Arab. Rupanya sewaktu muda ia sendiri adalah ahli qasidah dan bacaan Al-Qur’an." (H Aboe Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim, [Jombang, Pustaka Tebuireng, cetakan pertama: 2015], halaman 133).

 

Jika komponis senior Indonesia Addie MS menyebut musik memiliki kekuatan untuk menggugah semangat nasionalisme, maka Kiai Wahab sudah melaksanakannya dengan menggubah lagu Ya Ahlal Wathan. Sedikit berbeda dengan riwayat H Nusron Wahid dari KH Maimoen Zubair yang popular saat ini, dalam biografi Kiai Wahab ada versi lain syair itu berdasarkan Swara Nahdlatoel Ulama, Tahun 1, No. 2. (Drs Choirul Anam, KH Abdul Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya, [Surabaya, PT Duta Aksara Mulia, cetakan II: 2017] halaman  209-210).

 

Menurut Choirul Anam, Syair Nahdlatul Wathan tersebut jika dibaca dengan hati yang jernih, dan diresapi dengan penuh jiwa, sungguh merupakan cambuk bagi anak bangsa yang sedang terjajah untuk bangkit membela Tanah Air yang sedang dirampok penjajah. "Syair ini kemudian menjadi semacam lagu wajib yang harus dinyanyikan setiap akan memulai kegiatan belajar mengajar di Nahdlatul Wathan dan bahkan kemudian juga berkembang menjadi nyanyian di berbagai pondok pesantren di Jawa Timur," tulis Anam.

 

"Tampak tergambar jiwa pejuang Kiai Wahab dalam syair tersebut. Ia seolah ingin membangkitkan seluruh kekuatan bangsa untuk bersatu mengusir penjajah. Islam tidak akan bisa berbuat leluasa selama Indonesia dalam genggaman imperialis," imbuh kiai yang rajin mengumpulkan dokumen NU. (Drs Choirul Anam, 2017:  211).

 

Sampai hari ini, syair atau lagu karya Kiai Wahab itu dinyanyikan dalam berbagai kesempatan oleh kader-kader NU dari level ranting sampai pusat, masyarakat umum, bahkan TNI dan Polri. Pada Peringatan Harlah Muslimat NU ke-73, lagunya menggema di Stadion Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, yang penuh dengan ibu-ibu dari berbagai penjuru (Ahad/26/1/19).
KH Achmad Chalwani, penceramah yang seringkali memakai instrumen musik dalam berdakwah, pernah memberi alasan logis mengapa lagu Kiai Wahab itu digubah dalam bahasa Arab. "Jika memakai bahasa Indonesia, dikejar-kejar Belanda," ungkapnya, dalam suatu kesempatan.

 

Tak jauh berbeda dengan Kiai Wahab, salah seorang pendiri NKRI KH Abdul Wahid Hasyim juga lekat dengan sastra dan syair-syair. Pada umur 12 tahun ia sudah giat mempelajari ilmu-ilmu kesusastraan bahasa Arab dan paramasastranya dengan kekuatan muthala’ah dan membaca sendiri. "Kitab-kitab yang sering ditelaahnya tatkala itu Diwanusy-Syu’ara dan oleh karenanya, tiada sedikit hafalan syair-syair dalam bahasa Arab. Syair-syair tersebut dihimpun dan disusunnya dalam sebuah buku tebal," tulis penyusun biografinya. (H Aboe Bakar Atjeh, 2015: 133).

 

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, begitu kata pepatah. Jika sang ayah adalah penikmat sastra, maka Gus Dur selaku sang anak pun tak jauh beda dengannya. Dalam suatu kesempatan ceramahnya, ia melafalkan dengan fasih puisi-puisi Arab pra-Islam yang digubah oleh Tharafah ibn al-‘Abd dan Nābighah al-Dubiāni. Syair Ilahi lastu lilfirdausi ahlan karya Abu Nawas adalah favoritnya. Seringkali dalam berbagai pengaiannya, ia memimpin dan mengajak hadirin membacanya, diikuti terjemah dalam bahasa daerah. Gus Dur juga menyukai musik klasik, terutama Simfoni No. 9 Beethoven dan Simfoni No. 40 Mozart. Tak ketinggalan, ia juga suka dengan syair-syair Jawa seperti Sigra Milir, yang menceritakan kisah leluhurnya, Jaka Tingkir. 

 

Suatu ketika, Presiden ke-4 Republik Indonesia itu diwawancara Indosiar dan dimintai pendapatnya tentang legenda hidup musik tanah air, Iwan Fals. Ia menjawab, bahwa semua lagu di matanya sama saja. Ia senang, tapi tidak punya waktu menghafalkannya. "Jadi antara ciptaan dan keadaan itu harus selalu terjadi pergesekan. Itu yang membuat jiwa Iwan Fals seperti itu. Beruntung kita masih punya orang seperti Iwan Fals. Wong bangsa kita jadi bangsa penakut. Lha kok Iwan Fals berani. Yang membuat dia istimewa kan itu," kata Gus Dur, mengomentari penyanyi lagu Coretan Dinding, yang masih relevan dengan fenomena mural hari ini.

 

Tak afdal bicara syair dan lagu di lingkungan NU kalau tidak menyebut penggubah Shalawat Badar, RM KH Ali Manshur Shiddiq. Mungkin tokoh NU itu tak akan menyangka, jika shalawat karyanya 'yang lahir dengan nuansa spiritual' itu akan dilantunkan oleh berbagai Muslim di belahan dunia. Sebut saja Syarifah Khasif, seorang qari’ah asal Malaysia yang membawakannya dalam acara International Quran and Qasidah Nite di Sarajevo, Bosnia & Herzegovina (24/3/2018). Dia tampil bersama dengan artis lainnya dari Iran, Amerika Serikat, Inggris dan Turki, mengalunkan Al-Qur’an dan shalawat di depan 10.000 penonton lebih dari seluruh penjuru dunia.

 

Di Indonesia sendiri, Shalawat Badar sudah identik dengan NU, seolah menjadi lagu wajib. Ia juga membumi di tengah masyarakat, dilantunkan dalam berbagai event seperti pengajian, shalawatan, bahkan menjadi pujian di berbagai masjid, langgar dan mushala yang menggema di pelosok tanah air. Pada suatu acara reality show musik terbesar, Indonesian Idol (2018), shalawat itu pernah dilantunkan oleh  Ayu Putrisundari. Ratusan penonton di studio larut, hening dan banyak yang ikut menyanyi, termasuk dewan juri, Bunga Citra Lestari, Maia Estianty, dan Armand Maulana.
 

 

Daniel Mananta, presenter beken Indonesia, ikut larut dalam alunan yang dibawakan penyanyi berjilbab itu. Kemudian ia tak kuasa mengungkapkan perasaannya. "Itu keren banget. Gue damai banget, langsung berasa, gitu," ungkapnya. Vokalis grup band Gigi Armand Maulana, juga geregetan dan meminta izin maju ke panggung, memberi suara dua. Sekali lagi, dibawakan dengan duet. Shalawat gubahan Ketua PCNU Banyuwangi 1962-1965 itu kembali menggema, disaksikan jutaan pemirsa dari layar kaca. "Gue merinding banget, asli. Gue kayak apa ya, kayak kita semua di sini ngerasa…Tuhan langsung turun di dalam studio ini dan memberikan berkah buat Indonesian Idol. Ah, gila, itu gue bener-bener ngerasa damai banget, lho,Yu," pungkas Daniel kepada Ayu yang ada di sampingnya.

 

Jika Shalawat Badar mengambil spirit dari martir Perang Badar, maka KH Hasan Abdul Wafi dari Probolinggo, Jawa Timur, menggubah Shalawat Nahdliyah untuk mengajak meluhurkan agama Islam. Syair-syair yang yang bikin warga NU merinding itu juga semakin popular di kalangan masyarakat. Acara-acara NU, pengajian umum dan berbagai kanal media sosial memutar gubahannya. Puluhan generasi milenial tergerak mengkaver syair yang memovitasi semangat berjuang melalui NU. Jutaan orang menonton video musiknya di Youtube.

 

Selain kiai, ada juga dari kalangan habib. Sebut saja Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf, yang mempopulerkan bershalawat secara kolosal. Jamaahnya yang dijuluki 'Syekher Mania' selalu antusias datang bergerombol untuk menghadiri majelis-majelisnya. Jumlahnya mencapai puluhan ribu, yang rata-rata anak muda. Melalui majelis shalawatnya ini, Habib Syech memberi tempat aktualisasi bagi anak muda untuk mencintai Nabi di satu sisi, dan membentengi mereka dari pergaulan bebas di sisi lain. Ia seakan menuruskan pendahulunya, meski dalam spektrum yang berbeda, yaitu Habib Husein Muthahar, pencipta hymne Syukur dan mars Hari Merdeka yang kita hafal semua.
 

Walisongo, sebagai tonggak pesantren pun tak lepas dari musik. Sunan Kalijaga, misalnya, mewariskan banyak karya kepada kita, salah satunya adalah tembang Lir-Ilir. Wajar jika tradisi santri memang cukup acceptable untuk bermusik. Beberapa pesantren yang memiliki pendidikan formal bahkan kini memiliki grup paduan suara. Selain karena mengikuti tren dan budaya zaman, mungkin juga karena di pesantren sampai kini masih mempelajari Ilmu shorof atau ‘Arudl, yang banyak bersinggungan dengan syair dan nada. Selain itu, para santri masih menggunakan lagu atau musik dalam menghafal dan mendendangkan nadzaman kitab. 

 

Banyak sekali kiai dan ulama Nusantara yang menggubah syair, lagu dan kasidah. Kita mengenal KH Bukhori Masruri, Ketua PWNU Jawa Tengah 1985-1995 yang banyak menggubah lirik lagu-lagu Nasida Ria, legenda kasidah Indonesia. Melalui syair-syairnya yang futuristik dan bergesekan dengan keadaan, lagu-lagunya masih mengabadi: diputar sampai kini. Juga KH Ma’ruf Islamuddin dari Sragen Jawa Tengah, yang menciptakan lagu-lagu Jawa untuk sarana dakwah. Tentu masih banyak lagi, yang jika kita kumpulkan dapat menjadi buku ensiklopedi.

 

Di dalam sejarah peradaban Islam, tokoh Muslim yang terkenal dalam bermusik adalah Abu Nasr Al-Farabi. Dialah penemu alat musik al-qonun, yang dalam perkembangannya menjadi organ. Ia menulis buku tebal berjudul al-Musiq al-Kubra. Kiai Said Aqil Siroj, pernah mengaku punya koleksi kitab itu. Jadi, tidaklah heran jika para kiai dan ulama panutan kita, seperti tersebut di atas, adalah orang yang lekat dengan syair, lagu dan musik. Saya sendiri, tak bisa membayangkan jika dunia berputar tanpa musik.
 

Ahmad Naufa Khoirul Faizun, pecinta shalawat, penikmat lagu-lagu Nasida Ria dan Iwan Fals.