Opini RAMADHAN BERKAH

Ramadhan, Pasar Pengajian Pesantren

Sel, 7 Mei 2019 | 20:30 WIB

Ramadhan, Pasar Pengajian Pesantren

Naji pasaran Ramadhan di Lirboyo

Oleh Syakir NF

Memang, Ramadhan merupakan bulan libur bagi para santri dari kegiatan yang sudah terjadwal dalam kurikulum pesantren. Tapi hal demikian tidak berarti mereka lepas dari kegiatan pengajian. Justru, Ramadhan menjadi wadah mereka untuk lebih giat menggali pundi-pundi pengetahuan dari banyak kiai. Mereka menyibukkan diri dengan kegiatan pengajian dari selepas sahur hingga hendak sahur lagi.

Para santri ini dibebaskan oleh pihak pesantren untuk mengaji apa, kepada siapa, dan di pesantren mana. Maka tak aneh jika ada migrasi santri dari pondok a ke pondok b, dan seterusnya. Santri Buntet, Cirebon, Jawa Barat, misalnya, menghabiskan masa Ramadhannya di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Hal tersebut sudah lumrah. Begitupun santri pondok lainnya yang pindah ke pondok yang tidak sedang mereka tinggali. Hal demikian dilakukan guna menambah jejaring sanad keilmuan, di samping menambah rekanan baru dan merasakan lingkungan baru di pondok lain.

Pengajian khusus bulan Ramadhan ini disebut pasanan atau posonan. Penamaan tersebut didasarkan pada kata puasa yang diberi akhiran an, puasanan, lalu berubah menjadi pasanan atau posonan. Ada pula yang menyebutnya pasaran. Istilah ini disebut sebagai sebuah metode pengajaran kitab kuning dengan kiai membacakan dan menjelaskan isinya, sedangkan santri hanya menyimak dan mencatatkan makna-maknanya. Artinya, santri tersebut tidak turut aktif berbicara. Metode demikian dikenal sebagai teacher centered. Metode demikian disebut juga metode bandungan. Akan tetapi, istilah pasaran juga ada yang mengartikannya seperti pasar mengingat para kiai membuka pengajian dan para santri bebas menentukan pilihannya, tidak terpaku pada kurikulum yang sudah ditentukan.

Pilihan mereka dijatuhkan karena dua alasan setidaknya. Pertama, santri ingin mengaji kitab yang belum pernah atau ingin mendalami kitab yang dibaca oleh kiai tertentu. Para kiai memang pada umumnya membaca kitab yang tidak biasa dibacakan atau tercantum dalam kurikulum.

Kedua, santri ingin mengaji tidak melihat kitabnya, tetapi dengan alasan ingin mengaji kepada kiai atau pesantrennya. Tidak peduli kitabnya apa, meski kitab tersebut sudah pernah ia pelajari sebelumnya. Umumnya, alasan kedua ini diterapkan oleh para santri yang ingin mengaji kepada kiai sepuh demi mengalap berkahnya. Ada pula yang karena ketokohan kiai tersebut sehingga dikenal luas oleh masyarakat. Terkadang, santri juga melihat sosok kiai yang dikenal pengetahuannya luas dan penjelasannya lugas. Hal demikian pernah dilakukan oleh KH Saifuddin Zuhri pada masa kecilnya dulu saat dikirim oleh ayahnya untuk mengaji di Pesantren Karangsari asuhan pamannya, KH Dimyati. Meskipun kitab yang dipelajari di sana sudah pernah ia dalami, yakni kitab Safinat al-Naja dan kitab al-Ajurumiyah, tetapi hal tersebut tidak menyurutkannya untuk belajar mengaji di pondok tersebut. Kiai Saifuddin sebelumnya pernah mengaji kitab Safinah secara sorogan kepada Kiai Hudori pada Ramadhan sebelumnya.

Adapun pilihan kitab para kiai beragam. Penulis melihat adanya kesukaan para kiai pada bidang kajian tertentu. Ada pula kiai yang saban tahun membaca satu kitab tertentu saja. Di Buntet, misalnya, saya menemui setidaknya tiga kiai yang membaca kitab yang sama di setiap tahunnya. KH Muhammad Abbas Fuad Hasyim, misalnya, yang setiap tahun membaca kitab Tafsir al-Jalalain melanjutkan pengajian yang dilakukan oleh kakaknya KH Luthfi el-Hakim. Sebelumnya, dibacakan oleh ayahnya, yakni KH Fuad Hasyim. Kiai Fuad melanjutkan guru sekaligus mertuanya, yakni KH Mustahdi Abbas. Kitab yang sama, Tafsir al-Jalalain, juga dibaca oleh KH Baidlowi Yusuf.

Di samping itu, guru penulis juga KH Muhadditsir Rifa'i saban tahun membaca kitab Tafsir Yasin selain mengajarkan Al-Qur'an qiraat sab'ah. Kiai Hadis, sapaan akrabnya, membaca kitab Tafsir Yasin karena melanjutkan ayahandanya, KH Abdullah Syifa Akyas.

Namun pada umumnya, para kiai membaca kitab berbeda-beda di setiap tahunnya. Atau jika sama pun dengan beberapa tahun sebelumnya.

Pengajian Ramadhan hanya dilaksanakan selama kurang dari sebulan. Umumnya, pengajian tersebut dimulai pada hari pertama Ramadhan hingga pertengahan atau sampai tanggal 20-an. Oleh karena itu, sesaat sebelum berpamitan kepada Kiai Dimyati, Kiai Saifuddin Zuhri mendapat wejangan dari pamannya itu.

"Kau cuma sebulan di sini, yaitu selama bulan Ramadhan, buat orang-orang yang menuntut ilmu itu belum berarti apa-apa," kata Kiai Haji Dimyati sebagaimana ditulis oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya Berangkat dari Pesantren.

Pesantren Daring (Online)

Di era digital saat ini, masyarakat santri tak perlu bingung jika sedang sibuk dengan berbagai kewajibannya, tetapi ingin mengikuti pengajian Ramadhan sesuai dengan keinginan. Hal tersebut bisa ditunaikan dengan mengaji daring (online). Tak sedikit kiai yang membuka pengajian secara daring, baik melalui Facebook maupun Youtube.

Dosen penulis, KH Ulil Abshar Abdalla, sudah di tahun ketiga ini mengampu kitab Ihya Ulumiddin. Di tahun ini, selain kitab tersebut, ia juga membaca dua kitab lain, yakni Himayat al-Kana'is fi al-Islam (Menjaga Gereja Menurut Islam), keluaran Kementerian Waqaf Mesir dan Watsiqat al-Ukhuwwah al-Insaniyyah (Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan), dokumen bersejarah yang ditandatangani oleh Syaikh al-Azhar dan Paus Fransiskus pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi.

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri juga membuka pengajian daring di pesantrennya. Melalui akun Youtube-nya, Gus Mus Channel, ia membaca kitab-kitab karya Imam al-Ghazali. Dua tahun lalu, mertua Gus Ulil itu membaca kitab Bidayatul Hidayah. Tahun ini, kiai yang juga dikenal sebagai budayawan ini membaca karya al-Ghazali yang lain, yakni Kimyaus Sa'adah.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj juga membuka pengajian daringnya di Facebook Teras Kiai Said. Ramadhan kali ini, Kiai Said membaca kitab Qasidatul Burdah saban bakda Subuh.

Keragaman kitab yang dikaji secara daring juga memberi kesempatan luas bagi para santri yang hendak mengaji di tengah kesibukannya. Meskipun tidak dapat mengikutinya secara langsung, mereka dapat mengikuti siaran tundanya dengan video yang sudah diunggah.

Kamu ngaji di mana?

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta.

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua