Opini

Nostalgia Pertama Kali Mondok bersama 'Mantuk'

Kam, 13 Mei 2021 | 16:45 WIB

Nostalgia Pertama Kali Mondok bersama 'Mantuk'

Salah satu adegan dalam film pendek 'Mantuk' pada kanal Youtube NU Online.

Oleh Subhan Abidin
Halal bi halal bukan satu-satunya tradisi masyarakat Indonesia di bulan Syawal. Khusus bagi kalangan pesantren, ada sebuah tradisi di bulan Syawal, yakni memondokkan anak. Ya, memasrahkan anak ke pesantren. Kalender pendidikan di pesantren memang dimulai pada bulan Syawal dan berakhir di bulan Sya'ban. Orang tua yang akan memondokkan anaknya mau tidak mau haruslah pada bulan Syawal ini atau tepat setelah ketupat di rumah habis.


Memasrahkan anak di pondok setelah lebaran bukanlah hal yang mudah. Sebab, di bulan Syawal umumnya anak-anak sedang senang-senangnya. Uang hasil THR sedang banyak-banyaknya, sekolah masih libur, dan waktu kumpul dengan teman-teman sedang intens-intensnya. Itu semua  membuat anak sulit untuk melepaskan hal-hal yang menyenangkannya tadi. Terlebih lagi, setelah tiba di pondok pesantren, anak harus beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman baru. Itulah cobaan berat pertama yang harus dilalui santri.


Film pendek Mantuk (Pulang) yang dirilis tepat pada malam takbir 1442 Hijriah, Rabu (12/5/2021) di kanal YouTube NU Online, telah berhasil membuat siapa pun yang pernah mondok ataupun memondokkan anaknya bernostalgia sejenak sambil-mungkin-menitikan air mata. Di film ini terlihat bagaimana proses orang tua mengirim anaknya ke pesantren. Aditya yang baru saja diberi sarung dan peci baru oleh orang tuanya tiba-tiba diajak pergi.

 

 

Dalam Mantuk, orang tua Aditya terkesan memberikan ‘jebakan’ kepada Aditya. Aditya tidak tahu mau di bawa ke mana dia hari itu. Dia hanya berpikir orang tuanya akan mengajaknya lebaran di rumah neneknya seperti biasa. Namun, setelah sampai tujuan barulah Aditya tahu bahwa dia dibawa ke pesantren Bumi Cendikia lantas ditinggal begitu saja.


Bagi yang tidak akrab dengan dunia pesantren mungkin melihat cara yang dilakukan orang tua Aditya terlampau kejam. Bagaimana bisa orang tua memondokkan anak tanpa memberitahu si anak bahwa dia akan dipondokkan? Apakah orang tuanya tidak berpikir bahwa anak juga punya hak untuk setidaknya tahu bahwa ia akan dipondokkan? Bukankah pesantren merupakan lingkungan baru baginya yang belum tentu dia mau berada di dalamnya? Bukankah anak juga punya hak untuk menentukan apa yang akan dia lakukan?

 

Pemikiran seperti itu sah-sah saja. Akan tetapi, bagi yang pernah menyerahkan anaknya ke pesantren pasti tahu orang tualah pihak yang paling merasa berat pada saat proses memondokkan anaknya. Tidak akan ada orang tua yang tega meninggalkan anaknya begitu saja. Semua orang tua pasti tidak tega meninggalkan anak yang dilahirkannya dan dirawat sejak kecil, untuk kemudian ditinggalkan di pesantren. Namun, orang tua juga sadar betul betapa jauh lebih baik dan lebih besar manfaat kelak yang didapat dari menitipkan anaknya di pesantren daripada tidak. 

 

Menariknya, cerita tersebut ditampilkan dengan alur kilas balik. Sutradara Vedy Santoso tampak berhasil menggambarkan bagaiman pada saat Aditya sedang menaiki mobil, di situ ditampilkan lagi kilas balik adegan ibu Aditya yang menangis setelah menyerahkan Aditya ke pondok. Kedua orang tua Aditya bersikap biasa-biasa saja pada saat di pesantren sebenarnya hanya untuk menjaga agar jangan sampai mereka menangis dan disaksikan oleh anaknya. Apabila pada saat menyerahkan anaknya di pesantren disertai ucapan seremonial perpisahan, pastilah pecah tangis kedua orang tua Aditya. 
 

 

Scene yang lucu dan membuat saya senyum-senyum adalah pada saat Aditya semalaman menangis karena teringat orang tuanya. Agar tidak ketahuan teman-temannya kalau dia sedang menangis, dia bergegas ke kamar mandi agar teman-temannya menyangka itu adalah air bekas mandi, bukan air mata. Scene ini mengingatkan saya yang juga pernah menangis di kamar mandi pesantren. Hampir semua santri pada saat awal di pesantren pernah menangis karena merindukan rumah. Sebagai laki-laki akan sangat memalukan bila sampai ketahuan menangis oleh teman yang lain.

 

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin berpesan kepada para pembaca yang barangkali setelah Syawal ini akan berangkat mondok dan yang masih belajar di pondok agar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu di pesantren. Mencari ilmu di pesantren memang sangatlah berat, tetapi ingatlah bahwa seberat apa pun cobaanmu di pesantren masih jauh lebih berat usaha orang tua dalam mencari nafkah. Manfaatkan sebaik mungkin waktumu di pesantren. 


Subhan Abidin, Mahsiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, peserta Kelas Menulis Konten Keislaman NU Online 2021, alumnus Pesantren Al-Itqon, Patebon, Kendal. Saat ini mengabdi di Yayasan Al-Munawwir, Gringsing, Batang, Jawa Tengah.