Opini

Muasal Al-Athlal

Sen, 8 Juli 2019 | 18:00 WIB

Oleh Usman Arrumy 

Ibrahim Naji, seorang pemuda dari Hay Shubro, pamit kepada kekasihnya—kebetulan tetangga sendiri, berusia sekitar 16 tahun, untuk pergi sekolah kedokteran. Selama enam tahun tanpa kabar, dan begitu Naji lulus dan pulang ke kampung halaman, ia baru tahu kalau kekasihnya itu sudah lama menikah dengan lelaki asing.

Pada mulanya ia adalah seorang dokter. Ia lulus sekolah kedokteran pada usia 26 tahun. Setelah itu diangkat sebagai dokter di Kementerian Komunikasi, dan kemudian di Kementrian Kesehatan.
Masa remajanya, ia banyak membaca puisi para penyair kuno, sebut saja di antaranya; puisi-puisinya al-Mutanabbi dan Abu Nawas, menjadi corak dari bagaimana Naji menulis puisi.

Karirnya sebagai penyair dimulai sekitar tahun 1926, ketika Naji menerjemahkan puisi-puisinya Alfred de Musset, novelis dan penyair asal Perancis, dan kemudian diterbitkan di Koran mingguan. Lalu untuk pertama kalinya ia menerbitkan puisi-puisinya pada tahun 1934, ketika ia berusia 36—berjudul al-Waro’ al-Ghomam; Di balik Awan. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1944, Naji menerbitkan puisi-puisinya Layaly al-Qohiroh; Malam Kairo. Itulah kumpulan puisi yang disebut fenomenal oleh banyak kalangan.

Dan, tragedi dimulai dari sini.

Di sebuah malam, pada musim dingin. Naji mendengar suara langkah kaki berderap dan suara pintu diketuk berulang-ulang, ia bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu. Seorang lelaki berusia 40 tahun berdiri di hadapannya, dengan tergopoh lelaki itu minta tolong agar membantu istrinya yang sedang dalam kondisi sulit melahirkan. Malam sudah larut.

Ibrahim Naji bergegas membawa peralatan medis secukupnya.

Di rumah lelaki itu, lampu menyala remang. Suhu udara sedang dingin-dinginnya. Naji mengikuti masuk dengan langkah gugup. Di dalam kamar, dengan pencahayaan yang remang-remang itu, terbaring perempuan hamil mengerang kesakitan. Dari erangan tersebut Naji sudah seperti mengenal dengan baik suaranya. Langkah kaki Naji semakin mendekat ke sisi ranjang, dan Naji terkejut. Sangat terkejut. Di hadapan Naji ternyata adalah seorang perempuan yang bertahun lampau pernah menjadi kekasihnya. 

Dan kini, Naji melihatnya sebagai orang lain yang sudah menjadi istri orang lain--menjadi calon ibu bagi bayi orang lain. Sebagai seorang dokter, Naji tentu profesional; ia bekerja dalam kapasitasnya sebagai dokter, bukan sebagai lelaki yang dilupakan kekasihnya dulu. Ia singkirkan perasaan antara sedih dan bahagia; sedih karena perempuan yang hamil itu kekasihnya, bahagia karena perempuan itu pernah ada dalam kehidupannya.

Cinta di hatinya jauh lebih besar dibanding kehancurannya menghadapi fakta bahwa perempuan yang akan ditolongnya adalah kekasih yang pernah menghuni jiwanya. Cinta itulah yang membuat Naji akhirnya berlapang dada untuk membantu mantan kekasihnya melahirkan bahkan ketika kini Naji sadar tidak menjadi bapak dari anak tersebut.

Anak telah lahir dengan selamat. Dan Naji menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ibu dari bayi tersebut dengan sebaik-baiknya, ia kerahkan segala upaya terbaiknya sebagai dokter untuk melayani dan merawat mantan kekasihnya.

Naji pulang. Dalam perjalanan pulang, ia melewati reruntuhan bangunan. Kepalanya menunduk, di hatinya terpapar sesuatu yang tak dapat diungkapkan oleh kata-kata. Ketika sampai rumah, ia duduk menghadap jendela, dipandangnya keluasan langit Kairo, terbayang olehnya satu masa saat senyumnya masih menjadi satu-satunya milik kekasihnya itu.

Ia mengambil pulpen dan kertas, dan mulailah Ibtahim Naji menulis puisi Al-Athlal. Menulis reruntuhan hatinya. Menulis puing-puing jiwanya.

Mantan kekasihnya melahirkan bayi.
Ibrahim naji melahirkan puisi.

tak berapa lama setelah al-Athlal ditulis, Ummi Kultsum merencanakan untuk menjadikannya sebagai lagu. Tapi, lekas Ummi Kultsum menyadari ketika tahu latar belakang puisi itu dibuat. Ummi Kulstum merasa tak sampai hati untuk mewujudkannya sebagai lagu. Ummi Kultsum seolah mau memberikan penghormatan kepada Naji dengan cara mengurungkan niatnya dalam menggubah Al-Athlal sebagai lagu—dengan alasan tidak hendak menambah beban kesedihan Naji.

Ummi Kultsum saat itu sudah terlampau populer, dan tiap lagu hampir bisa dipastikan akan mudah terkenal dalam durasi yang sangat cepat. Bila Ummi Kultsum jadi mewujudkan al-Athlal sebagai lagu pada saat itu juga, otomatis al-Athlal akan semakin dikenal. Dengan semakin dikenal, hatinya Ibrahim Naji akan semakin tak terperikan patahnya. Alasan itulah yang membuat Ummi Kultsum menundanya. 

13 tahun setelah Ibrahim Naji wafat, Ummi Kulstum baru merencanakan ulang untuk Al-Athlal. Tersebutlah penyair Ahmad Ramy, Komposer Riyadh Sumbaty, dan Ummi Kultsum sendiri; musyawarah.

Al-Athlal sendiri sebenarnya mempunyai susunan 125 bait, tapi demi efektivitas sebuah lagu, oleh Ahmad Ramy memangkasnya menjadi hanya 32 bait. 32 Bait itulah yang akhirnya dinyanyikan Ummi Kultsum. Bahkan tujuh bait di antaranya diambil dari puisinya Ibrahim Naji berjudul Al-Wada’—Perpisahan.

هل رأى الحب سكارى مثلنا    كم بنينا من خيال حولنا  
ومشينا في طريق مقمر      تثب الفرحة فبه قلبنا
وضحكنا ضحك طفلين معا        وعدونا فسبقنا ظلنا 

وانتبهنا بعد ما زال الرحيق       وأفقنا ليت أنا لانفبق
 يقظة طاحت بأحلام الكرى   وتولى الليل والليل صديق   
وإذا النور نذير طالع     وإذا الفجر مطال كالحريق    
وإذا الدنيا كما نعرفها     وإذ ا الأحباب كل ف طريق

Apakah cinta pernah melihat ada yang semabuk kita? 
Betapa banyak angan-angan telah dibangun di sekitar kita
Dan kita berjalan di bawah terang cahaya bulan, 
Kegembiraan melintas di hadapan kita
Kita tertawa seperti dua bocah yang bermain bersama. 
Dan kita berlomba mengejar bayangan kita masing-masing
 
Kita sadar meski euphoria masih tersisa, 
lalu mengapa kita tak terjaga saja?
Terjaga dari mimpi yang menakutkan, 
dan malam telah datang dan menjadi satu-satunya teman
Ketika cahaya itu menandai terbitnya matahari, 
ketika fajar berlesatan seperti lidah api
Ketika dunia seperti yang kita tahu, 
Ketika Para pecinta menapaki jalannya

Tujuh bait di atas merupakan petikan dari puisi al-Wada’—Ibrahim Naji, yang oleh penyair Ahmad Ramy disertakan di dalam lagu al-Athlal. Tidak hanya itu, bahkan penyair Ahmad Ramy mengubah awal lirik al-Athlal yang semula يا فؤادي رحم الله الهو menjadi seperti yang kita tahu selama ini. يا فؤادي لا تسل أين الهوى.

Betapa andil Ahmad Ramy di dalam keterlibatan al-Athlal begitu jauh dan penting. Tahun 1953, proyek al-Athlal dimulai. Pertama-tama, penetapan lirik dikerjakan oleh Ahmad Ramy. Dan posisi Riyadh Sumbati, sebagai composer, mengerjakannya sampai tahun 1962. Tahun itulah terjadi ketegangan internal antara Riyadh Sumbati dengan Ummi Kulsum. Ketegangan itu dipicu oleh selera nada yang beda. Sampai pada tahun 1966, Al-Athlal launching.

Kembali pada Ibrahim Naji, sang penyair yang menulis al-Athlal. Al-Athlal yang perkasa—musisi Riyadh Sumbati yang jenius menggubahnya menjadi sebuah lagu indah, juga suara Ummi Kulsum yang tak terbantahkan, ternyata semua itu berlatar peristiwa traumatis. Bertahun-tahun kemudian, di Indonesia, al-Athlal lebih dikenal sebagai ‘Sukaro’. 


Kini, mari kita lihat; di Indonesia kebanyakan, lagu al-Athlal dinyanyikan dengan nuansa riang gembira, tak tahu bahwa arti dari lirik yang dinyanyikannya adalah soal hati yang sudah kehilangan bentuknya, adalah soal kekasih yang dicampakkan kekasihnya. Dan kini, marilah kita lihat; ketika dunia bergantian menyanyikan al-Athlal dengan suka-cita, tak tahukah bahwa tiap baitnya bersumber dari kepedihan sang penyairnya. Ibrahim Naji.

Kairo, 30 Juni 2019


Penulis adalah seorang penyair, saat ini menjadi Mahasiswa Al-Azhar Kairo.

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua