Opini

Menyembah Tuhan dalam Pikiran

Sen, 11 November 2019 | 02:30 WIB

Menyembah Tuhan dalam Pikiran

(Ilustrasi: NU Online/Suwitno)

Oleh Ren Muhammad

 

Antara hidup dan agama, mana yang lebih dulu harus diselami? Sebelum membaca tuntas karangan ini, penulis menyarankan sidang pembaca untuk menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu.

 

Bagaimana? Semoga Anda sudah memperoleh jawaban. Sekarang mari kita menilik fenomena terkini.

 

Lima tahun ke belakang, kita lazim menemukan benturan antar sekelompok orang yang gegar Islam, dengan barisan Muslim tradisional. Keduanya sengit bertahan dan menyerang menggunakan segala macam cara. Termasuk yang paling sering terjadi, ya di dunia maya. Medan pertempuran baru yang lumayan rumit ditelaah.

 

Mereka boleh bertikai bermodal kutipan nash Al-Qur’an maupun hadits. Tapi yang terlupa adalah, Islam dan keindonesiaan itu dua hal berbeda. Islam itu ajaran ketuhanan. Keidonesiaan, panduan kebangsaan. Sebagai korpus, Islam telah melampaui usia satu setengah alaf. Keindonesiaan baru tujuh puluh empat tahun bertahan dinaungi negara. Namun telah mendarah daging dalam diri kita sejak negeri ini masih Nusantara.

 

Pertanyaan lain yang hendak kami ajukan berbunyi, "apakah ketika lahir ke dunia, kita sudah menjadi Muslim atau berbangsa Indonesia? Jika mau menggunakan nalar kritis, jawaban yang didapat; tidak, untuk dua pertanyaan tersebut. Karena sesungguhnya, kita terlahir sebagai manusia yang paling polos. Tanpa beban tanggung jawab. Tak kenal benar-salah. Persoalan baru muncul setelah kita memasuki fase pertumbuhan akal.

 

Akal yang tumbuh di lahan subur, pasti berhasil menyusun pikiran jernih lagi sehat. Bila sebaliknya? Bisa menimbulkan kekacauan, sesat pikir, bahkan kegalatan. Terutama ketika kita gagal memosisikan diri antara menjadi manusia Indonesia, atau Muslim sejati.

 

Keindonesiaan dipupuk dari setia bakti pada Ibu Pertiwi. Tanda terima kasih kepada tanah, air, api, dan udara, yang kita nikmati sejak membrojol hingga saat ini. Hal serupa diterapkan juga oleh bangsa lain di negeri manca. Keindonesiaan ini sama belaka dengan rasa kebangsaan yang teraduk dalam satu tabula imajinasi. Mengalir di sekujur tubuh.

 

Islam yang sudah sempurna sejak ditinggal mangkat oleh Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mengalami hal berbeda ketika kita gali dan pelajari. Ternyata, sebagian besar Muslim Indonesia memulai karier keislamaannya melalui ranah syariat. Ruang hukum yang memang berakibat pada salah-benar, dosa-pahala, kafir-mukmin, surga-neraka.

 

Jumlah Muslim awam ini jauh lebih besar ketimbang mereka yang terus gelisah mencari pencerahan dari tiga ruang lain: tarikat, hakikat, makrifat. Skalanya bisa satu berbanding sepuluh. Tak sedikit malah dari Muslim awam tersebut yang tetap bertahan di ranah syariat hingga akhir hayat. Tak sempat mencicipi keindahan Islam yang bertolak dari dimensi ketauhidan.

 

Jika keindonesiaan itu tertanam, maka Islam itu menuntut keimanan yang kita tanamkan. "Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya" (QS al-Mujadalah [58]: 22).

 

Berdasar ayat itu saja kiranya cukup pengetahuan bagi kita, guna memafhumi betapa keyakinan dan keimanan Islam, tak bisa dipaksakan pada siapa pun juga. Apalagi diganggu gugat. Iman akan terus menguat bila berbekal ilmu, amal, dan pertolongan Allah. Kita lazim menyebutnya hidayah.

 

Lantaran tulisan ini dialamatkan untuk sederek sedanten se-Indonesia, penulis tak perlu lagi 'mengajari ikan berenang.' Panjenengan mesti tahu bagaimana menenggang rasa manakala berhadapan silih berganti dengan sesama orang Indonesia.

 

Seperti ketika mengamati keluarga besar sendiri. Orang tua kami berdarah Minang-Melayu-Jawa. Istri berdarah Banjar-Sunda-Arab. Ipar asal Betawi, dan Tionghoa. Belum lagi para sanak semenda. Semua itu mencerminkan kebangsaan dalam lingkup terkecil. Melampaui batas geografis. Menembusi kesadaran kita selaku keluarga besar besar manusia Indonesia.

 

Sampai di sini, setidaknya kita bisa menyusun ulang bangunan pemikiran yang kerap kali membenturkan kaidah Islam dengan falsafah keindonesiaan. Islam merujuk pada Wahyu dan Sunnah Nabi. Keindonesiaan menggunakan rasa sejati kita. Maka menjadi lain hasilnya bila kedua spirit ini kita lakoni sesuai takaran. Niscaya yang terjadi keharmonisan semata.

 

Islam yang bersumber dari wahyu itu, mengandungi ketakterbatasan yang terbatas secara ushuluddin (teologi). Nirbatas karena turun dari alam tak beruang-waktu, terbatas sebab mendarat di bumi manusia. Jika Anda mau merunut sejarah Islam, wajar kiranya muncul sosok pembaru dari zaman ke zaman. Kesempurnaan Islam terus-menerus dikuak nilai keparipurnaannya.

 

Sebagaimana yang diteladankan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Siapa pun yang mengaku Muslim harus membenahi dulu wilayah bathiniahnya. Bertahannuts. Khalwat. Demi menauhidkan Dzat Hyang Mahamanunggal. Dilanjut dengan tauhid Sifat, Nama (Asma'), dan Perbuatan-Nya (Af'al).

 

Setelah itu semua beres, baru kemudian beranjak ke dimensi eksoterik. Lahiriah. Dhahiri. Shalat, zakat, puasa, haji. Tapi apa mau dikata. Islam kadung disalahpahami. Sebagian mereka yang Muslim perkotaan, dengan mudah bisa mengakses aplikasi kitab-kitab hadits, Al-Qur’an digital, dan mencomot sembarangan dalil naqli tersebut demi membenarkan pemahamannya yang jelas tidak adekuat.

 

Segelintir Muslim tradisional jebolan pesantren juga tak jauh beda. Kemampuan membaca-menghafal ayat, hadits, dan kitab klasik, cukup jadi bekal. Tak perlu penalaran mendalam. Harus kita insyafi, fundamentalisme literal begini adalah wabah penyakit umat Islam sejak lama. Ironisnya, kini terulang kembali. Lagi dan lagi.

 

Kita jadi santri atau tidak, Islam tetap sempurna. Menjadi Muslim, bukan berarti beroleh hak memonopoli tuhan seenak jidat. Jangankan umat beragama lain, sesama Muslim pun tak boleh punya pahaman berbeda tentang tuhan. Padahal menyembah tuhan dalam pikiran, jelas berbeda dengan Dia yang tak tepermanai. Persis yang dikabarkan Imam 'Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anh kepada kita:

 

“Dia mengetahui namun menutup Dzat-Nya. Dia tersimpan namun menunjukkan. Dia didurhakai namun memaafkan. Dia tidak sirna dan takkan sirna. Tidak ada yang menyerupai-Nya. Dia akan tetap ada setelah segala sesuatu sirna. Maha Sombong karena Kebesaran-Nya. Tiada penglihatan yang bisa mengetahuinya. Tidak pula pandangan mampu meliputinya. Orang yang mendedah-Nya akan kesulitan menjelaskan. Orang yang mengetahui-Nya akan tersesat dari sifat-Nya. Dia dekat sekaligus jauh, dan Dia jauh namun dekat. Dia memiliki kelembutan yang samar, tapi menyimpan siksa yang juga besar. Dia memiliki Rahmat yang luas, dan juga adzab yang menyakitkan.”

 

Demikianlah potongan khutbah Sayidina 'Ali yang luar biasa. Keajaiban sastrawinya melampui kebiasaan, lantaran disampaikan tanpa huruf alif bila merujuk teks asli bahasa Arabnya. Menyelami Islam, sama dengan masuk dalam samudera ketuhanan yang membingungkan dan bertolak belakang. Anehnya, Rasulullah malah melansir doa seperti ini:

 

اللهمَّ زدني فيكَ تحيُّرًا

 

"Duhai Allah, tambahkanlah bagi hamba kebingungan tentang Diri-Mu."

 

Meski tak termaktub dalam kitab hadits masyhur, doa tersebut dinukil salah seorang wali qutb bergelar Imamul Muhaqqiqin wa Zudwatul Arifin (Pemuka Ahli Kebenaran dan Teladan Orang-orang Makrifat) pada Abad-15 M, Imam Abd al Wahab Asy Sya'rānī ra dalam kitab al-Mīzān Az-Zurriyah terbitan ad Dar al Jūdiyyah, Kairo, h. 101.

 

Saudara sekalian tak perlu khawatir. Menikmati perihal membingungkan itu mudah. Senikmat bagaimana kita bisa saling jatuh cinta.

 

 

Penulis adalah pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak di bidang pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno.