Opini

Mengenal Tradisi Manaqiban atau Sabelesen di Madura

Sel, 31 Desember 2019 | 13:30 WIB

Mengenal Tradisi Manaqiban atau Sabelesen di Madura

Sebuah ritual keagamaan di Madura. (Ilustrasi: tangkapan layar video Madura Expose)

Dalam kebudayaan masyarakat Kecamatan Pakong, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur selain peringatan Maulid Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabilul Awal juga diperingati peringatan kelahiran Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang dalam catatan sejarah lahir pada tanggal 11 Rabiul Awal. Namun peringatan yang terakhir ini dilaksanakan setiap tanggal 11 setiap bulannya.

 

Kendati demikian, peringatan kelahiran Syekh Abdul Qadir al-Jailani di salah satu kawasan Maduran ini diperingati secara berbeda dari cara peringatan di beberapa daerah lain. Biasanya, di beberapa daerah di Jawa Timur, peringatan tersebut digelar pembacaan manaqib dalam rangka mengenang dan tabaruk atau cari berkah (Jawa: ngalap barokah) Syekh Abdul Qadir. Ada dua manaqib yang umum dibaca masyarakat. Yang satu adalah manaqib An-Nur Al-Burhani dan kitab manaqib Jawahir Al-Ma‘ani yang ditulis oleh KH Jauhari Umar dari Pasuruan.

 

Akan tetapi, di daerah Pamekasan, pelaksanaan mengenang Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan tabaruk ini diperingati dengan pembacaan apa yang disebut wirid qadiriyah. Penulis mengetahui hal ini setelah mendengar penuturan KH Muhammad Rabi’ (alm), pengasuh Pondok Pesantren As-Salafiiyyah Sumber Duko Pakong Pamekasan. Sebuah bacaan wirid yang terdiri dari bacaan:

 

  1. اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَولَانَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا وَمَولَانَا مُحَمَّدٍ 33 ×
  2. الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ 33 ×
  3. يَا هَادِي، يَا عَلِيْمٌ، يَا خَبٍيْرٌ، يَا عَالِي، يَا مُبِيْنٌ 33 ×

 

Bacaan-bacaan wirid ini pada bagian shalawatnya juga dibacakan masyarakat Pamekasan ketika acara walimah imlak (pesta upacara pelepasan pengantin pria menuju rumah pengantin wanita).

 

 

Kiai Muhammad Robi’ sendiri adalah seorang kiai yang bersama-sama Kiai Mahfud merintis kegiatan itu berjalan di kalangan masyarakat Pakong, Pamekasan. Kini, setidaknya di dua desa kecamatan tersebut, yaitu Desa Bandungan dan Desa Sumber Bintang kegiatan tersebut masih berjalan dengan baik bergilir dari rumah ke rumah setiap bulan.

 

Warga setempat menamakan kegiatan ini dalam bahasa Madura sebagai “sabelesen”. Sebuah istilah bahasa Madura yang merujuk angka sebelas, yakni tanggal kelahiran Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Secara bebas kata “sabelesen” dalam bahasa Madura berarti: “kegiatan rutin setiap tanggal sebelas.”

 

Kegiatan ini secara kebudayaan dianjurkan untuk para lelaki dan tidak untuk perempuan. Dalam kegiatan ini semua jamaah yang hadir adalah laki-laki. Baik anak-anak, pemuda maupun dewasa atau sudah tua. Tidak dapat ditemui seorang pun dalam kegiatan itu seorang perempuan. Para jamaah yang hadir duduk bersila dengan rapi di dalam sebuah kobhung yang empunya hajat. Pemimpin dzikir seorang kiai kampung duduk di bagian dalam dan di posisi tengah. Membaca Fatihah dan tawassul untuk Nabi Muhammad, para Sahabat dan Syekh Abdul Qadrial-Jailani. Juga hadiah fatihah untuk ahli kubur sahibul hajah dan para jamaah. Setelah Fatihah dibacakan bersama dimulailah dzikir sebagaimana telah disebutkan di atas. Para jamaah dengan kompak membacakannya. Suasana syahdu dan khushu’ meliputi kobhung dan sekitarnya.

 

 

Hal yang unik dari kegiatan ini adalah bahwa seluruh bagian kegiatan ini diurusi oleh para lelaki. Selain yang hadir semua adalah lelaki, urusan logistik pun diurusi laki-laki. Para jamaah memberi sumbangan (jimpitan) beras semampunya dan uang yang jumlahnya tidak ditentukan. Orang yang berpunya bisa menymbangkan jumlah beras dan uang yang banyak. Tapi masyarakat yang kurang mampu membantu sekadarnya. Masyarakat percaya, meyakini dan merasakan bahwa dengan demikian ini maka keberkahan bagi rezeki dan rumahnya.

 

Logistik berupa beras dan uang itu kemudian dibawa dan disetorkan di rumah sahibil hajah. Di sana uang dibelikan lauk-pauk berupa telur ayam. Kemudian beras dimasak dan telur ayam yang masih bundar lonjong itu juga dicuci kemudian dimasak. Para petugas urusan logistik ini pun juga adalah laki-laki, tidak ada yang perempuan. Yang mengambil air, yang menyalakan tungku, yang memasak, sampai hidangan telah siap di dalam piring dan keranjang berkat. Semuanya ditangani oleh laki-laki. Demikian pula yang membuat teh atau minuman. Biasanya beras yang dikumpulkan mencapai belasan Kilogram dan dimasak di atas tungku api darurat memakai kayu bakar meskipun di masa sekarang sudah umum digunakan kompor gas.

 

Setelah acara pembacaan dzikir selesai, dilanjutkan dengan ramah-tamah. Dalam prosesi ini, biasanya tuan rumah menambahi jajanan ringan sebagai suguhan. Demikian pula lauk pauk yang dihidangkan. Setelah itu, para jamaah terlibat dalam perbincangan yang penuh keakraban mengenai masalah yang mereka hadapi sehari-hari. Mulai masalah rencana tanaman apa yang akan ditanam di sawah, masalah bagaimana kondisi tanaman masing-masing dan solusi mengenainya.

 

Ketika hendak pulang, mereka lalu berpamitan satu sama lain. Orang yang masih berkehendak bisa melanjutkan perbincangan bisa sampai malam hari. Tuan rumah pun memakai cara mereka sendiri untuk menghormati para tamunya. “kok terburu-buru kang. Mau kemana? Ini kan masih sore.” Katanya. Bahasa seperti ini sepadan dengan kalimat: “Marhaban!” dalam bahasa Arab yang secara leterleg dapat diterjemahkan dengan: “tempat ini luas untuk mu.”

 

Para jamaah pulang dengan membawa nasi berkat yang tadi diolah itu. Nasi berkat ini dinilai penting adanya dan mengandung baarokah dan do’a. Sehingga sesampainya di rumah, nasi ini biasanya dimakan anggota rumah sampai habis tak tersisa. Jikapun tersisa tidak dibuang melainkan dijemur dijadikan nasi aking (Jawa/Madura: Karak) untuk digoreng dan dimakan sebagai cemilan keluarga atau di jual dengan harga terjangkau bagi anak-anak di madrasah diniah sore yang terdekat dari rumahnya.

 

Cukup menarik bukan?

 

 

Penulis adalah kader NU kelahiran Pamekasan Madura; alumni Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma)