Opini

Memilih Pengajian Khusus Bulan Ramadhan

Jum, 9 April 2021 | 14:15 WIB

Memilih Pengajian Khusus Bulan Ramadhan

Ilustrasi bulan suci Ramadhan. (Foto: NU Online)

Saat membuka mata, saya mendapati tengah duduk sendirian di tengah aula pondok yang cukup luas. Entah karena memang segan mengganggu saya yang tampak nyenyak atau sengaja demikian supaya bisa jadi bahan tulisan ini. Saya tak peduli lagi. Sebab, hal terpenting saat itu belum masuk waktu imsak. Lekas-lekas bangun dan berlari pulang ke pondok untuk mengambil jatah sahur.


Begitulah kehidupan pondok saat Ramadhan. Para santri seperti tak punya waktu istirahat. Meski pengajian rutinan diliburkan, tidak berarti mereka asik rebahan. Memang, tidur di bulan suci itu banyak yang menyebut sebagai ibadah.

 

Tentu saja demikian karena saban hari disibukkan dengan ghibah hingga namimah. Tidur menjadi jeda bagi segala laku maksiat yang biasa dilakukan sehingga bernilai ibadah. Orang bijak mengatakan, jika tidurnya saja dinilai ibadah, tentu bagaimana dengan belajar.


Itulah yang dipilih para santri dalam menjalani Ramadhan. Hari-harinya semakin dipenuhi dengan jadwal pengajian, sejak selepas sahur hingga hendak sahur lagi.


Tentu bagi rekan-rekan yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren bakal bertanya-tanya, khususnya perihal istirahat mereka, mengingat disebutkan hampir tidak ada jeda. Kapan dan di mana mereka memejamkan mata?


Salah satu jawabannya cerita pengalaman pribadi di atas. Ya, ketiduran saat pengajian berlangsung. Kebetulan, pengajian yang saya ikuti itu memang dimulai pukul 01.00 dini hari. KH Muhammad Abbas Fuad Hasyim membuka pengajian Tafsir Jalalain di waktu dini hari dan siang hari bakda dzuhur.


Ada dua alasan saya memilih mengaji kitab tersebut pada Kang Babas, sapaan akrabnya, yakni (1) karena kitabnya yang belum pernah saya kaji, dan (2) karena pembacanya yang dikenal sebagai kiai yang ahli dalam bidang tafsir. Selain jauh sudah lama mengaji kepada abahnya, KH Fuad Hasyim, Kang Babas juga mendalami pengetahuan itu di India di tingkat sarjana dan magister, dan menamatkan studi doktornya dalam bidang tafsir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


Mengawali pengajiannya, Kang Babas tidak tiba-tiba langsung membaca kitab yang ditulis Syekh Jalaluddin al-Mahalli dan Syekh Jalaluddin al-Suyuthi itu. Namun, beliau akan berkisah mengenai dua sosok muallifnya yang begitu masyhur kealimannya. Kang Babas menceritakannya mulai dari lahir hingga kewafatannya, lengkap dengan beragam karya-karyanya yang telah beliau pelajari.


Dalam pengajiannya, Kang Babas tidak mencukupkan diri dari keterangan atau penjelasan penulis, melainkan menambahkan pandangan ulama lain atas ayat yang tengah dibaca. Beliau mengutip Imam al-Qurthubi, Imam Ibnu Katsir, dan para mufassir lainnya.


Tidak berhenti di situ. Jika menemui ayat-ayat yang menjelaskan perihal alam, Kang Babas dapat dipastikan akan menguraikannya dengan kacamata ilmu sains. Misalnya, soal langit, Kang Babas bakal menjelaskannya secara ilmiah, seperti penjelasan mengenai warna langit yang biru.


Para santri juga tak perlu khawatir soal makna yang dibacakan Kang Babas. Beliau akan memanjakannya dengan menyebutkan beragam versi makna, mulai dari cara ringkasnya, lengkapnya, hingga versi bahasa Indonesianya. Praktis, santri bukan sekadar diberikan pancingan ataupun ikannya saja. Lebih dari itu, santri sudah tinggal mencernanya saja.


Selain itu, saya juga pernah memilih pengajian Ramadhan bukan atas dasar kitabnya yang belum pernah dikaji, tetapi karena memang melihat sosok kiainya. Dasar demikian saya pijaki saat memilih mengaji kepada KH Abdul Hamid Anas Buntet pada tahun 2012 dan KH Maimoen Zubair Sarang pada tahun 2019. Saat memilih mengaji kepada dua sosok ulama ini, kitab apapun yang beliau akan baca pada Ramadhan itu nomor dua. Sebab, keberkahan dan keinginan menjadi santri beliau itu menjadi alasan utamanya.


Kiai Hamid, begitu KH Abdul Hamid Anas biasa disapa, saat itu membaca kitab Al-Washiyyatu liyakuna min Ahlil Jannah karya KH Ahmad Yasin Asymuni Petuk Kediri. Sementara Mbah Moen membacakan kitab Ithaf Ahlil Islam bi Khusushiyyatis Shiyam karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami.


Kata-kata yang sudah umum dan banyak diketahui kerap kali tak dimaknai, cukup dibaca. Pun lebih banyak terpaku dengan teks mengingat berkejaran dengan waktu target khatam. Bahkan, Kiai Hamid sendiri memaknainya dengan bahasa Indonesia, kecuali sedikit berbahasa Jawa. Baginya, membacakan makna Jawa tidak seefektif langsung dengan bahasa Indonesia mengingat banyak tidak dipahami.


Terlepas pro kontra perihal pemaknaan dengan bahasa Indonesia atau Jawa, lengkap atau ringkas, tujuan utama saya mengaji kepada beliau adalah ngalap berkah kiai sepuh. Sebab, saya tidak setiap waktu dapat mengaji langsung kepada dua ulama yang 'alim 'allamah itu.


Ramadhan tahun ini, mau mengaji apa? Kepada siapa? Karena kitabnya, kiainya, atau keduanya? Pilihan ada di tangan kita. Masih ada cukup waktu untuk menjatuhkan pilihan dan mempersiapkan diri untuk mengikuti pengajian khusus Ramadhan tahun ini.


Syakir NF, pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama