Opini

Manusia Uzlah

Ahad, 21 Juli 2019 | 09:00 WIB

Oleh Warsa Suwarsa

Hampir  dalam setiap kajian baik keagamaan atau hal yang berbau filsafat sering dipaparkan lahirnya manusia-manusia besar dihasilkan dari sebuah proses pertapaan, kontemplasi, meditasi, atau dzikir. Dalam khazanah keislaman –misalnya- dikisahkan selama lima belas tahun Rasulullah melakukan tahannuts dan uzlah menghindari keramaian dan kerumunan ke sebuah goa bernama Hira. Rahasia besar dan keluasan semesta –setelah dikaji oleh para cerdik pandai- ditemukan bukan dalam keriuhan dan keramaian manusia. Saat menjadi diri sendiri dan individu lah pengetahuan tentang kesemestaan merasuki seorang manusia. 

Bukan hanya para nabi dan rosul, delapan abad setelah Nabi Muhammad SAW menerima pencerahan dan wahyu, Rene Descartes (1596-1659) melakukan hal yang sama, uzlah dari negara asalnya ke Belanda, ia menyepi dari kehirukpikukan transisi pemikiran dari kegelapan ke era rasionalisme. Filsuf dengan ungkapan cogito ergo sum itu menuliskan , ‘I desire ti live in peace and continue the life I have begun under the motto : to live well you must live unseen’, secara sederhana moto ini mengajak kepada kita: untuk menemukan kehidupan yang baik, hiduplah tanpa dilihat oleh orang lain. Dalam tradisi Sunda kita mengenalnya: nyumput buni dinu caang, bersembunyi di tempat terang.

Pikiran kita sudah pasti akan melakukan penyangkalan terhadap ajakan kebaikan dan saran seperti yang dikemukakan oleh Descartes demi alasan: manusia merupakan mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Dalam diri manusia telah mengendap tekanan dan hasrat untuk tetap eksis dan diakui keberadaannya oleh orang lain. Descartes dan beberapa cerdik pandai lainnya tidak mengajak manusia untuk menghempaskan eksistensi manusia sebagai mahluk sosial, tetapi memberikan saran saja, sesekali dalam episode kehidupannya manusia harus berusaha menurunkan ego dan keakuannya. Jelas sekali, sangat kontradiktif dengan hasrat popularitas yang saat ini dianut secara luas oleh manusia modern, hasrat yang sebetulnya sangat alamiah dan selalu menjadi dorongan manusia di setiap milieu dan zaman. Bukankah saat ini kita saat ini dengan sangat  mudah mengumbar keakukan, mengejar popularitas, dan ketenaran? Dan bahkan saat diri kita mencoba untuk menjadi manusia uzlah lantas dalam diri kita terbersit keinginan agar di kemudian hari menjadi masyhur dan terkenal pun sangat kontradiktif dengan motto ‘unseen’ di atas. 

Dengan demikian, apakah kelahiran manusia-manusia besar itu memang mengalir mengikuti arus sejarah atau memang dilahirkan atas kehendak manusia itu sendiri? Jika hidup memang pilihan dan terdiri dari banyak pilihan, kenapa sebutan dan gelar sebagai manusia besar itu justru diraih oleh orang-orang tertentu yang kadang sama sekali tidak memikirkan bahwa diri mereka pada saatnya nanti akan menjadi manusia-manusia besar? Kenapa tidak jatuh kepada diri kita yang memilih dan ingin menjadi Si Besar? Apakah benar hidup ini memang harus mengalir begitu saja dan kita tidak memiliki kehendak bebas atas apa yang terjadi dengan diri kita? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu telah menjadi perdebatan hingga saat ini. Para ahli bijak telah  mencoba merumuskan jawaban, berbagai macam pendekatan, tetapi sama sekali bukan jawaban yang baku dan tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan itu.

Paling tidak, di dalam kehidupan yang serba kompleks dan heterogen ini, manusia tetap dituntut untuk menggunakan akal secara maksimal. Menjadi manusia kamar (bertahannuts dan menyendiri), melakukan dialog batin, merenung dapat dilakukan pada saat-saat tertentu. Sebab bagaimana juga kita tidak dapat mungkin mengelak bahwa diri ketika merupakan manusia sebagai manusia (homo sapiens) tetapi pada saat yang bersamaan diri kita merupakan manusia yang bertautan atau terkoneksi dengan yang ilahi sebagai homo deus.

Banyak kemusykilan di dunia ini dilahirkan dan dihasilkan dari proses uzlah dan permenungan dan rata-rata merupakan pemaknaan terhadap hal-hal sederhana yang sering kita sepelekan dalam keseharian. Newton mencetuskan gaya gravitasi dan memformulasikannya ke dalam rumus-rumus fisika hanya karena melihat buah apel jatuh dari pohonnya. Bukankah sebelum Newton mencetuskan gaya gravitasi benda-benda baik berukuran kecil atau besar selalu jatuh ke bumi? Dan kenapa Archimides mengeluarkan hukumnya saat dia mandi ke dalam bak? Hal sederhana bagi masyarakat umum melahirkan hal besar jika ditafakuri dan ditadzakuri oleh para manusia uzlah.

Cerita pewayangan sering memuat kisah manusia-manusia bertopeng atau menggunakan topeng orang lain bukan untuk menyembunyikan kesalahannya melainkan agar keikhlasan dan keilmuannya tidak diketahui oleh orang lain. Dalam terminologi Descartes disebutkan: “Masked, I advance!” Sebuah hadits sangat popular mengajarkan manusia agar berbuat baik secara sembunyi-sembunyi: “ Saat tangan kanan memberi, jangan sampai tangan kiri mengetahuinya”. Memang sangat sulit bagi manusia modern yang serba mudah menampilkan hasil jepretan kebaikan melalui media sosial mengambil peran sebagai manusia uzlah atau manusia kamar. Padahal, masih menurut Descartes, “To know what people really think, pay regard to what they do, rather than what they say”. Untuk mengetahui apa yang dipikirkan oleh sebuah masyarakat fokuslah terhadap apa yang mereka kerjakan, bukan terhadap apa yang mereka bicarakan. Tentu saja, termasuk dalam menilai diri saya.

Penulis adalah Guru MTs-MA Riyadlul Jannah, Cikundul