Opini

KH Ghazali Ahmadi dan Kursi KH As'ad Syamsul Arifin

Sab, 18 September 2021 | 07:15 WIB

KH Ghazali Ahmadi dan Kursi KH As'ad Syamsul Arifin

KH Ghazali Ahmadi. (Foto: FB Abdul Moqsith Ghazali)

Oleh Salman Akif Faylasuf


Abah, begitu saya memanggil KH Ghazali Ahmadi. Saya memanggil Abah karena ibu saya adik kandung dari Nyai Luthfiyah, istri tercinta Kiai Ghazali. Itu artinya, Kiai Ghazali bagi saya bukan sekadar orang tua (Abah) tapi juga guru yang banyak memberikan ilmu dan  keteladanan hidup. Kiai Ghazali adalah raksasa genius. Reputasinya sebagai tokoh papan atas dalam wacana studi keislaman, membuat santri seangkatannya di Pesantren Sukorejo saat itu merasa iri.

 

Tak hanya kiai yang mengasuh Pesantren Zainul Huda, bahkan lebih dari itu semua, Kiai Ghazali dikenal sebagai figur ulama yang memiliki penguasaan sangat dalam terhadap ilmu-ilmu keislaman, mulai dari ilmu kalam, tafsir, mantiq, politik, fiqih hingga tasawuf khususnya kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandari. Semuanya sudah tersaji. Karena itu, sekiranya kita membutuhkan tinggal memetiknya di rancak pohon Abah Ghazaliyah. 


Kiai Ghazali bukan tipikal kiai yang duduk di ruangan sepi, menjauh dari gemuruh kehidupan, melainkan langsung terjun ke tengah masyarakat. Menariknya, yang mengaji kepada Kiai Ghazali tak hanya masyarakat kelas bawah, tapi para kiai-kiai kampung hingga kiai kota, tak terkecuali para elit politik kelas papan atas juga ikut serta di dalamnya. Itu sebabnya, kepergian Abah Ghazali bukan hanya membawa duka yang sangat mendalam, tangis keluarga pesantren dan para santrinya, tapi setiap orang yang merasakan, melihat langsung kiprah perjuangan beliau dalam melayani masyarakat Kangean.


Bukan hanya mendatangi, Kiai Ghazali juga tak henti dikunjungi para murid-muridnya. Rumahnya yang tak pernah sepi dari tamu, datang secara sama tanpa membedakan kelas-kelas sosialnya, mulai dari rakyat jelata (kaum primitif) hingga para elit penguasa papan atas (kaum kapitalis). Tentu satu ruangan dan satu tempat. Tak ada ruang khusus bagi pejabat tokoh dan ruang tersendiri untuk orang awam. Di ruang tamu, kelas kapitalis yang biasanya saling menjauh dan bermusuhan, di kediaman Kiai Ghazali, semuanya bisa duduk sama sejajar. 


Meski demikian, dengan sangat telaten Kiai Ghazali melayani semuanya tanpa pandang bulu, sekalipun tidak pernah ada janji bertemu sebelumnya dan sekalipun datang pada waktu umumnya orang sedang istirahat. Bahkan, jika kedatangan tamu tepat di waktu makan, maka hidangan makan dikeluarkan dan bersama tamu beliau makan bersama. Dengan amat ramahnya, tamu diladeni dengan kata-kata yang menyenangkan. Sikap seperti inilah membuat dakwah beliau bisa diterima semua kalangan. Keteguhannya memegang komitmen dan pengabdiannya tanpa pamrih adalah akhlak terpuji yang wajib diteladani generasi muda sekarang. 


Kita tahu, syariat Islam menaruh perhatian sangat besar dalam urusan membina interaksi yang baik kepada sesama. Di antaranya adalah memuliakan tamu dan berbagi makanan kepada yang membutuhkan. Islam memandang tamu sebagai orang yang mulia dan memerintahkan umatnya untuk memperlakukan dengan baik orang bertamu.

 

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw mengaitkan keimanan seseorang dengan perintah memuliakan tamu, “Barang siapa yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari dan Muslim). Allah Swt dalam hal ini juga mempertegas dengan Firman-Nya dalam surah Al-Hijr: 67-69,


وَجَاءَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ يَسْتَبْشِرُونَ  قَالَ إِنَّ هَؤُلَاءِ ضَيْفِي فَلَا تَفْضَحُونِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُون


“Dan datanglah penduduk kota itu (ke rumah Luth) dengan penuh kegembiraan (karena kedatangan tamu itu). Dia (Luth) berkata, “Sesungguhnya mereka adalah tamuku, maka jangan kamu permalukan aku. Bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu membuat aku terhina.” (QS. Al-Hijr: 67-69).


Kiai Ghazali termasuk orang yang beruntung. Beliau tak hanya berjumpa guru tercintanya, KH As’ad Syamsul Arifin secara zahir saja, tapi juga secara batin. Peristiwa kejadian semacam ini hanya dialami oleh orang-orang tertentu saja. Itu artinya, Kiai As’ad Syamsul Arifin bukan hanya mendidik Kiai Ghazali fiddunya saja, melainkan juga fil akhirah. Tak jarang misalnya Kiai As’ad mengajak Kiai Ghazali kesana-kemari hanya untuk keperluan pesantren, bertemu para kiai, dan lainnya. Begitu intim hubungan Kiai Ghazali dengan Kiai As’ad; hingga menganggap Kiai Ghazali yang masih santri sebagai anak sendiri.


Alkisah, menurut penuturan Nyai Luthfiyah, di ruang tamu ada satu kursi yang menghadap keselatan, yang katanya semua tamu tidak boleh duduk di kursi tersebut. Kursi itu khusus hanya untuk diduduki Kiai Ghazali. Suatu waktu Kiai Ghazali pernah bermimpi bertemu dengan Guru tercintanya, Kiai As’ad Syamsul Arifin. Dalam mimpinya, Kiai Ghazali seolah punya masalah yang sangat besar. Tiap hari bingung ke sana-ke mari meminta saran, berharap masalah cepat selesai dan berlalu. Alih-alih bingung, malam harinya setelah melakukan shalat tahajud, beliau sempatkan membaca Al-Qur’an dan berdoa kepada Allah swt, meminta jalan keluar. 


Seketika dalam mimpinya, tiba-tiba dari kejauhan tampak seorang lelaki berpakaian putih rapi menuju rumah Kiai Ghazali. Rupa-rupanya lelaki berbaju putih itu adalah sang waliyullah, Kiai As’ad Syamsul Arifin. Beliau datang dan duduk di kursi yang menghadap keselatan tersebut, memberi saran dan jawaban kepada Kiai Ghazali. Akhirnya berkat Kiai As’ad, masalah itu terselesaikan. Itu sebabnya hingga sekarang, Kiai Ghazali tidak membolehkan bahkan melarang para tamu untuk mendudukinya. Sekiranya tamu yang datang membawa masalah besar, atau mungkin dari auranya sudah jelas berbeda (ada niatan kurang baik), sudah pasti tentu, Kiai Ghazali langsung menduduki kursi keramatnya.


عَنْ هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ وَلَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ إِذَا رَآهُ فِي صُورَتِهِ 


Abu Hurairah ra berkata: “Aku mendengar Nabi Saw bersabda: “Barang siapa yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga. Dan setan tidak mampu menyerupaiku”. Imam Bukhari setelah menyebutkan hadits ini berkata: “Ibnu Sirin berkata: “Apabila ia melihatnya dalam bentuk rupa yang sebenarnya”.


Saya tidak tahu, apakah mimpi itu terjadi karena rindunya Kiai Ghazali pada sosok guru tercintanya? Atau mungkin sebaliknya, rasa kangen Kiai As’ad pada murid kesayangannya? Yang jelas husnuzon saya, mimpi itu adalah sebuah kenyataan. Bagaimana tidak! Kiai As’ad adalah seorang pewaris Nabi, bahkan menurut cerita, beliau menyandang gelar predikat “Wali Qutub”. Tentu dan pasti perjumpaan antara Kiai As’ad dan Kiai Ghazali bisa terjadi. Jangankan secara zahir, secara batin (walau Kiai As’ad sudah wafat) dengan izin Allah swt, mungkin saja bisa terjadi. Tentunya, bagi seorang hamba shaleh ketika berdoa, senantiasa pasti akan dikabulkan.


Kisah lain misalnya diceritakan Nyai Luthfiyah, saat Kiai Ghazali hendak menghadiri undangan, beliau tidak langsung berangkat begitu saja. Terlebih dahulu, Kiai Ghazali pergi ke belakang dapur untuk nyendhet deon sere (mengikat daun siri). Sekiranya langit mendung dan hujan turun, seketika langit kembali bersinar dan hujan berhenti dengan perantara ikatan daun siri. Secara tidak langsung dari jauh Kiai Ghazali sudah membantu mensukseskan acara undangan tersebut. Dari itu Saya bergumam dalam hati, bahwa Kiai Ghazali tidak hanya dikenal sebagai kiai yang banyak menguasai kitab kuning, tapi juga dikenal mempunyai kedikdayaan, kesaktian, doa mujarabah, dan lain sebagainya. 


Tidak hanya mengasuh para santrinya di pesantren, Kiai Ghazali juga terlibat dalam proses perubahan sosial. Beliau seringkali datang untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial bahkan personal yang menimpa umat, khususnya duko laok dan arjasa laok. Kiai Ghazali juga bergelut di dunia organisasi. Ia berjuang melalui Nahdhatul Ulama, semenjak jadi santri hingga menjadi alumni. Tak seperti umumnya masyarakat yang suka mengedepankan kepentingan pribadinya, beliau tampil lebih mendahulukan kepentingan NU.


Alih-Alih mendahulukan kepentingan NU, Kiai Ghazali mengharuskan memahami Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) di masa kini tidak saja perlu, tetapi juga penting untuk menerapkan dan mempertahankan akidah ke depan. Apalagi di era sekarang ini, tantangan dari berbagai aliran sesat semakin marak di mana-mana, maka keimanan dan akidah harus digalakkan agar pemahaman tentang Aswaja benar-benar membumi di tengah umat. Terlebih saat ini semakin banyak paham agama yang bermunculan sehingga umat semakin bingung Aliran mana yang sesat dan faham mana yang akan selamat hingga akhir kelak, apalagi banyak dari mereka  kurang memahami Ahlussunnah wal Jamaah sekalipun mengaku sebagai warga NU yang menganut paham Aswaja.


Sebagai akhir dari tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa beliau, Kiai Ghazali, murid kesayangan Kiai As’ad adalah sosok yang getol dengan ilmu (dari semenjak nyantri hingga menjadi alumni, Kiai Ghazali selalu intens membaca dan diskusi). Sosoknya sebagai orang ‘alim tak membuatnya gengsi untuk bergaul dengan siapa pun. Kiai Ghazali menerima semua lapisan masyarakat dengan terbuka. Beliau adalah seorang tokoh dan ulama yang membuat semua santri-santrinya merasa dekat dengannya. Bukan hanya para santri, melainkan dari semua kalangan, dari kaum primitif hingga kapitalis kelas kakap. Akhirnya, semoga Allah membalas semua jasa-jasamu, Abah, KH Ghazali Ahmadi.


Penulis adalah santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur