Opini

Keajaiban Usia Kita

Ahad, 21 Februari 2021 | 13:30 WIB

Keajaiban Usia Kita

Kita takkan pernah mengerti kenapa harus ada di sini. Lahir ke dunia, tumbuh, mengada, lindap selamanya. Meninggalkan riwayat panjang kehadiran sebagai kenangan indah kehidupan.

Siapakah kita sesungguhnya? Kenapa kita hadir di dunia, bila kemudian pergi selamanya? Bagaimanalah kita ini, hidup tanpa tahu, akan ke mana nanti? Kita lahir tanpa persiapan, dan harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan...

 

Serentetan pertanyaan dasar kehidupan itu, selalu menjadi misteri sejak dahulu. Sedari kita belum dilahirkan hingga manusia yang datang kemudian. Tak mudah memang menjawabnya. Tapi sebagai makhluk sempurna yang diberkahi indra, akal, qalbu, dan intuisi, cepat atau lambat, pertanyaan itu akan terjawab seiring perjalanan waktu—yang tentu sangat bergantung pada Keridhaan Allah sebagai Pencipta kita.

 

Sesuai petunjuk Al-Qur;an-Hadits, ada lima tahap keberadaan manusia sejak sebelum dilahirkan: mengawang di Alam Ruh, lahir ke dunia fana’; ketika berada di Barzakh; di Padang Mahsyar, hingga hidup di negeri yang kekal—dalam kenikmatan surga atau dalam kepedihan neraka.

 

Tentang usia pertama, berisi rangkaian panjang perjalanan kita sebelum menjadi apa-apa, hingga kemudian siap dilahirkan sebagai anak manusia—setelah mengambil Sumpah di hadapan Allah. "Bukankah Aku ini Tuhanmu? Kita menjawab, "Ya, kami bersaksi." (QS Al A'raf [7]: 172). Sepengetahuan kami, hanya kalangan Nabi, Rasul, dan Awliya yang bisa mengingat momen itu ketika sudah hidup di dunia. Kita ini apalah.

 

Usia ketiga sampai kelima, berlangsung sejak kita wafat, dikubur dalam liang lahat, dan terus mengembara hingga memasuki gerbang akhirat. Uniknya, tiga perjalanan usia ini dipertaruhkan dari satu masa singkat saja, yaitu bagaimana kita menghabiskan usia selama mukim di dunia.

 

Keunggulan yang kita peroleh semasa hidup di permukaan bumi, adalah terjadinya percampuran sifat keakhiratan dan keduniaan. Kondisi ini sejatinya disadari oleh seluruh umat manusia. Apa pun agamanya. Lantaran sifatnya yang imanen. Kita manusia, sesungguhnya makhluk langit yang melancong di bumi nan fana' (sementara), fasad (rusak), binasa.

 

Tiga kondisi itulah yang kemudian turut menyeret kita dalam jurang kehancuran. Apa sebabnya? Tak lain karena bahan pembentuk kita merupakan empat anasir yang semuanya diambil dari bumi: air, angin, api, dan tanah. Pergulatan kita dalam ruang-waktu kehidupan lah yang kelak mengajari bagaimana cara menemukan kesejatian diri dan jalan pulang menuju Haribaan-Nya.

 

Usia kita pada fase pertama telah berlalu dan itu tak berdampak pada kehidupan yang sedang kita nikmati-rasakan sekarang. Sementara usia ketiga hingga kelima, sangat bergantung dari bagaimana kita melakoni hidup selama ini sampai tutup usia. Banyak dari kita yang terjebak pada ketakutan dan imingiming belaka. Sementara pada saat bersamaan, kita tak pernah mau berusaha mengerti kenapa harus ada agama di dunia ini. Mengapa Islam yang menjadi penyempurna.

 

Penting untuk dicatat, juga diingat: Islam tak melulu soal surga-neraka. Itu hak prerogatif Allah. Islam turun ke muka bumi untuk menjadi Rahmat bagi semesta alam. Rasûlullâh Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam hadir di tengah kita, guna menyempurnakan akhlak terpuji. Maka mari perbaiki akhlak kita dengan niat yang tulus.

 

Usia kedua yang kita jalani, laik ditelaah dengan baik. Di dalamnya ada begitu banyak hikmah bertaburan. Sebaik-baik usia adalah yang diberkati Allah. Sebaik-baik hidup adalah yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Sebaik-baik kematian, dalam Islam, Iman, Ihsan.

 

Usia kita disembelih waktu. Sementara hidup, tetap abadi bersama Sang Hyang Maha Hidup. Karena melewati proses kelahiran, maka kita mengalami kematian jasad sesuai guratan takdir. Ruh berpulang kepada-Nya. Jiwa melanjutkan perjalanan ke alam berikutnya. Ada anak manusia yang baru lahir, lantas mati. Ada yang malah belum mati juga hingga kini.

 

Syekh al Akbar Muhyiddīn ibn 'Arâbī, dalam Al Futūhāt al Makkiyah jilid 3: Risalah tentang Ma'rifah Rahasia-Rahasia Sang Raja & Kerajaan-Nya. Bab 36 | Juz 20 | h. 364-367, menceritakan tentang Zurayb bin Barsamla radliyallahu ‘anh Seorang pengikut Nabi 'Īsā ‘alaihissalam yang berusia panjang.

 

"Sahabat Nabi 'Īsā ‘alaihissalam yang masih hidup di zaman ini, dikisahkan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan kepada kami melalui perantaian sanad hingga ke Ibn 'Umar. Ia berkata:

 

'Umar bin Khattāb menulis surat kepada Sa‘d bin Abi Waqqās di Al Qādisiyyah untuk mengutus Nadlah bin Mu‘āwiyah Al-Ansārī menuju Hulwān di Irak—guna mengadakan penyerangan ke beberapa daerah pinggiran kota tersebut. Lalu Sa‘d mengutus Nadlah dengan 300 pasukan berkuda. Mereka berangkat hingga sampai di Hulwān, dan menyerang semua daerah pinggirannya, lalu mendapatkan pampasan perang serta tawanan. Mereka sibuk dengan kedua hal itu sampai hampir terlewat waktu Ashar dan matahari sudah nyaris tenggelam.

 

Nadlah mengumpulkan tawanan dan pampasan perang di kaki sebuah bukit, kemudian berdiri mengumandangkan adzan. Ia menyeru, “Allāhu Akbar! Allāhu Akbar!”

 

Seketika terdengar suara dari bukit itu menyahuti seruan Nadlah, “Engkau telah memahabesarkan Dia yang Mahabesar, wahai Nadlah!”

 

Nadlah menyeru lagi, “Asyhadu an lā ilāha illāllāh!” Terdengar lagi jawaban, “Ini adalah kalimat ikhlas, wahai Nadlah!” Nadlah berkata, “Asyhadu anna Muhammadan Rasalullāh!”

 

Suara itu kembali menjawab, “Dialah sang agama, dialah kabar gembira yang diberitakan kepada kami oleh ‘Īsā putra Maryam—semoga keselamatan terlimpah atas mereka berdua—dan di akhir kehidupan, umatnya kelak akan ditegakkan.”

 

Nadlah berseru lagi, “Hayya ‘alāsh-shalāh!” Terdengar jawaban, “Beruntunglah mereka yang berjalan menuju dan melaksanakannya dengan tekun.” Ia kembali berkata, “Hayya ‘alā al-falāh!” Dijawab lagi, “Sungguh telah beruntung ia yang menjawab panggilan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ia akan kekal menjadi milik umatnya.” Ia berkata, “Allāhu Akbar! Allāhu Akbar!"

 

Terdengar jawaban, “Engkau telah memahabesarkan Dia yang Mahabesar!"

 

Lalu ia berkumandang, “Lā ilāha illāllāh!”

 

Suara itu pun menjawab, “Engkau telah memurnikan keikhlasan wahai Nadlah! Maka Allah subhanahu wata’ala mengharamkan jasadmu atas neraka.”

 

Ketika Nadlah selesai dari adzannya, kami berdiri dan mengatakan pada suara itu, “Siapa gerangan dirimu, wahai engkau yang dirahmati Allah? Apakah engkau malaikat, jin penghuni bukit ini, atau seorang hamba Allah? Telah kau perdengarkan pada kami suaramu, sekarang perlihatkanlah dirimu! Sesungguhnya kami adalah utusan Allah subhanahu wata’ala, utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan utusan ‘Umar bin Khattāb radliyallahu ‘anh

 

Tiba-tiba bukit itu terbelah bagian atasnya dan bergerak seperti batu penggilingan, lalu muncul sosok dengan kepala dan jenggot berwarna putih memakai dua kain lusuh berbahan wol di atasnya. Ia berkata, “Assalāmu ‘alaykum wa rahmatullah wa barakātuh!"

 

Kami pun menjawab, “‘Alayka as-salām wa rahmatullāhi wa barakātuh! Siapakah dirimu wahai engkau yang dirahmati Allah?”

 

Ia menyahut, “Aku adalah Zurayb bin Barsamlā, orang kepercayaan (wasī) ‘Isā putra Maryam—semoga keselamatan terlimpah atas keduanya! Beliau menyuruhku tinggal di bukit ini dan mendoakan agar aku tetap hidup hingga saat ia diturunkan dari langit. Ia akan membunuh babi, mematahkan salib dan berlepas diri dari apa yang dikatakan orang-orang Nasrani kepadanya. Apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?”

 

Kami menjawab, “Beliau telah meninggal.”

 

Ia pun menangis cukup lama sampai membasahi jenggotnya dengan airmata. Kemudian ia bertanya lagi, “Lalu siapa yang memimpin kalian setelah beliau?”

 

“Abū Bakr,” sahut kami.

 

“Apa yang ia lakukan?" tanyanya lagi. “Beliau juga telah meninggal,” jawab kami.

 

Ia berkata, “Lalu siapa yang memimpin kalian setelahnya?”

 

"Kami menjawab, 'Umar."

 

Lalu ia mengatakan, “Kalau memang aku telah melewatkan perjumpaanku dengan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sampaikanlah salamku kepada ‘Umar dan katakan padanya:

 

Wahai ‘Umar! Bertindak dan berucaplah dengan benar! Sungguh perkara telah semakin dekat. Lalu sampaikan kepadanya tentang perilaku manusia yang akan kusampaikan padamu ini. Wahai ‘Umar! Jika perilaku seperti ini telah muncul dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka segeralah berlari! Segeralah berlari!

 

Yakni ketika lelaki merasa puas dengan lelaki, wanita merasa puas dengan wanita, dan menjalin hubungan dengan yang bukan semestinya. Mereka berteman dengan orang-orang yang tidak seharusnya menjadi sahabat mereka. Mereka yang tua tak lagi mengasihi yang muda, dan yang muda tak menghormati yang tua. Amar makruf telah ditinggalkan hingga tak lagi dianjurkan. Nahi mungkar tak lagi dihiraukan hingga tak ada lagi larangan. Seorang alim mencari ilmu hanya demi mendapatkan dinar dan dirham. Hujan turun di musim panas. Anak-anak menghardik orangtuanya. Mimbar-mimbar di masjid ditinggikan. Mushaf-mushaf disepuh dengan perak. Masjid-masjid dibangun dengan indah.

 

Suap menyuap terjadi dengan terang-terangan. Bangunan dibangun dengan megah. Hawa nafsu menjadi panutan. Agama dijual dan ditukar dengan dunia. Nyawa manusia tak lagi ada harganya. Silaturahim dan kasih sayang telah terputus. Hukum diperjualbelikan. Orang memakan hasil riba. Kekuasaan menjadi kebanggaan. Kekayaan menjadi kemuliaan. Ketika seorang lelaki keluar dari rumahnya, seorang yang lebih baik siap menggantikannya (perselingkuhan), dan para wanita berkendara di atas pelana (mobil/motor).”

 

Lalu ia menghilang dari pandangan kami. Nadlah menulis pesan tersebut dan mengirimkannya kepada Sa‘ad, dan ia mengirimkannya kepada ‘Umar. Kemudian ‘Umar menulis balasan.

 

“Pergilah engkau dengan siapa pun yang ada bersamamu dari kalangan Muhajirin dan Ansar, dan berdiamlah di bukit itu. Jika engkau menjumpainya, sampaikanlah salamku padanya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda bahwa salah seorang dari orang-orang kepercayaan ‘Īsā ‘alaihissalam putra Maryam ada yang mendiami bukit itu pada sisi yang menghadap ke Irak.” Maka pergilah Sa‘ad bersama 4.000 orang dari kaum Muhajirin dan Ansar, lalu berdiam di bukit itu selama 40 hari. Ia mengumandangkan adzan pada setiap waktu shalat, namun ia tak lagi menemukan orang itu.

 

Cerita tentang masjid yang dibangun dengan megah dan mushaf Al-Qur’an disepuh dengan perak bukanlah sesuatu yang tercela, tetapi keduanya hanyalah pertanda akan dekatnya hari kiamat dan kerusakan zaman. Sama seperti Nabi ‘Īsā ‘alaihissalam yang turun dari Langit, kemunculan Imam Al-Mahdi radliyallahu ‘anh dan matahari terbit dari tempat tenggelamnya yang juga menjadi pertanda, dan semua itu tidak dipahami sebagai sesuatu yang tercela. Hal ini karena dalalah akan sesuatu bisa jadi suatu hal yang tercela namun bisa juga terpuji."

 

Bukankah semua nubuwat itu sudah terjadi pada zaman yang kita lintasi sekarang?

 

Selain Zurayb bin Barsamla radliyallahu ‘anh, masih ada Nabi Khadir ‘alaihissalam & Nabi Ilyas ‘alaihissalam yang tetap hidup di dunia hingga kini. Kami bersyukur kepada Allah, pernah bertemu dengan beberapa orang qalandar yang satu di antara usianya, melewati seribu tahun. Dua orang di Banten, dan seorang lagi di Kebumen. Pertanyaannya, apakah bila diberi anugerah usia sepanjang itu, kita bisa hidup mulia?

 

رَبَّنَآ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ

 

"Duhai Tuhan kami, saratilah dada kami dengan kesabaran & wafatkanlah kami sebagai orang² beriman" (QS al A'raf [7]: 126).
 

وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

 

"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali" (QS Maryam [19]: 33)

 

Kita takkan pernah mengerti kenapa harus ada di sini. Lahir ke dunia, tumbuh, mengada, lindap selamanya. Meninggalkan riwayat panjang kehadiran sebagai kenangan indah kehidupan. Tuhan mengajari kita Nama-nama dalam buih Lautan Takdir (Bahrul Qudrâ). Kita melakoninya sepanjang usia. Menggali makna ke seantero ruang penciptaan, dan hidup tetaplah keajaiban yang harus dipecahkan. Semogalah cukup waktu kita.

 

 

Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.