Opini

Isolasi Mandiri ala Pelukis Kaligrafi

Ahad, 17 Januari 2021 | 04:00 WIB

Isolasi Mandiri ala Pelukis Kaligrafi

"Isolasi mandiri" yang berarti "membatasi diri" atau "mengurung diri" dari ketemu orang lain pernah juga ngetren di kalangan penulis/pelukis kaligrafi dengan masing-masing gayanya yang variatif.

Karena pandemi corona, lockdown ada di mana-mana. Yang positif terkena, segera dirawat di rumah sakit untuk diobati. Ada juga yang milih isolasi mandiri selama 14 hari di rumah. Belum kelihatan tanda-tanda, kapaaan ya virus misterius ini akan stop menyebar dari seluruh bulatan bumi kita. Meskipun teori-teori pengobatan telah banyak dikeluarkan, belum ada obat mujarab yang langsung menyembuhkan.


Di sebelah sana, ada kisah-kisah unik tentang "isolasi mandiri". Tapi yang ini mah bukan untuk berobat atau mencari kesembuhan, melainkan untuk mencari pencerahan. Semacam "tapa" begitu seperti kisah Panembahan Daqa atau Eyang Dako Lengkong yang konon bertapa di atas daun kadaka, yang namanya disebut-sebut dalam manuskrip tentang silsilah Tarekat Akmaliyah di Leiden.


Atau Imam Ghazali yang bertahun-tahun sembunyi di menara Masjid Umawi Damaskus sambil mengarang Kitab Ihya. Atau Imam Sibawaihi yang mengurung diri lama di perpustakaan rumahnya untuk menulis ilmu Nahwu sampai seluruh kitab karangannya ludes dibakar oleh istrinya.


"Isolasi mandiri" yang berarti "membatasi diri" atau "mengurung diri" dari ketemu orang lain pernah juga ngetren di kalangan penulis/pelukis kaligrafi dengan masing-masing gayanya yang variatif. Itu dilakukan dalam waktu panjang, lebih 14 hari, untuk memantapkan tulisan dengan berlatih keras dan mati-matian atau dengan membuat karya masterpiece seperti kata mereka:


إن المداومةَ على التمارين اليوميّةِ شرطٌ أساسىّ فى الإجادةِ


Artinya, "Sesungguhnya, kontinuitas latihan merupakan syarat fundamental untuk mempercantik tulisan."


Sami Afandi dari Istanbul, contohnya, mengurung diri di rumahnya selama 6 bulan hanya untuk menulis dua kata dengan khat Tsulus Jali di kanvas sebesar jendela terbuka. Sami bahkan pernah beberapa tahun "bersembunyi" hanya untuk mengoreksi lukisan-lukisannya sebelum dipamerkan.


Muhammad Rasim (bukan Mustafa Raqim!) yang karyanya dibeli dengan batu-batu permata mengurung diri selama 10 tahun di padepokannya untuk menulis siang malam hingga kaligrafinya mencapai level place of assembly.


Para pelukis kaligrafi seperti Sami dan Rasim, yang kedua-duanya dari Turki, menunjukkan perhatian sangat serius terhadap aksara dan dengan gigih mempercantiknya secara profesional. Bahkan dengan tekad "tidak mau berhenti sebelum merasa capek" demi untuk mengejar level ذَروة جمالِ الخط (dzarwatu jamal al-khat) atau "puncak keelokan kaligrafi".


Para khattat atau kaligrafer berangkat dari keyakinan untuk memantapkan dulu satu huruf sebelum pindah ke huruf lain. Untuk itu, mereka siap berkorban jiwa raga, meski dengan  "memenjarakan diri" sekian lama. Ibrahim As-Syaibani meriwayatkan dari kaligrafer Ali bin Zain Al-Nashrani Al-Katib, "Aku bertanya kepadanya dan minta gambaran tentang kaligrafi. Ali Al-Katib menjawab:


أعلّمك الخطَّ فى كلمةٍ واحدةٍ:  "لاتكتبْ حرفاحتّى تستفرِغَ مجهودَك فى كتابةِ الحرفِ، وتجعل فى نفسك أنّك لا تكتبُ غيرَه حتّى تُعجِزَعنه، ثمّ تنتقل إلى مابعدَه".


Artinya, Aku ajari engkau kaligrafi dalam satu kata, ‘Jangan tulis satu huruf sampai kau mantap menguasai huruf tersebut dan tekadkan dalam dirimu bahwa kau tidak menulis selain itu sampai tidak mampu lagi melanjutkan. Kemudian, barulah pindah kepada huruf sesudahnya.’"


Ada yang mengatakan bahwa "kaligrafi itu persoalan sulit" (الخط أمرصعب). Prof. Arseven meyakinkan bahwa "kaligrafi itu seperti lukisan dan musik, menuntut persiapan khusus yang tidak semua orang bisa melakukannya." Ia menyimpulkan:


نَستطيعُ الجَزمَ بأنّ تكوِينَ الخطّاطِ أصْعَبُ من تكوينِ الرَّسَّامِ


Artinya, "Dapat kita pastikan, bahwa menciptakan seorang kaligrafer lebih sulit daripada menciptakan seorang pelukis."


Tantangan-tantangan kesulitan itulah yang mendorong para murid sekolah kaligrafi seperti Mir Sauji mengisolasi diri puluhan hari dan berlatih tiap waktu, sehingga ibunyalah yang terpaksa menyuapinya untuk ma'em saat Sauji menulis. Duuuh ada-ada saja.


Kesulitan yang membuat "rasa kurang puas" dengan karya yang sudah dibuat, sering pula terbawa mimpi. Seperti Mustafa Raqim, murid saudaranya Ismail Zuhdi dan Darwisy Ali, saat tidur bermimpi mendapat teguran dari Ismail Zuhdi karena huruf-huruf Alif di nisannya kurang harmonis. Raqim pun terbangun dan melihat huruf-huruf Alif di nisan yang ditulisnya benar-benar kurang beres lalu memperbaikinya.


Kaligrafer besar Turki Hamid Al-Amidi juga pernah ragu dengan tata letak Lam-Alif dalam karyanya. Saat duduk sambil ngantuk berat, muncul ilham untuk mengoreksi kekeliruannya. Begitu sadar, Hamid pun membetulkan huruf yang posisinya muncang-mencong tersebut.


Oya, kalau begitu untuk mengejar "level profesional", penulis atau pelukis kaligrafi harus berapa lama mengisolasi diri?


Kaligrafer Naja Al-Mahdawi dari Tunisia tidak peduli dengan angka 14 hari, 6 bulan atau 10 tahunnya. Dia menyisihkan lebih 13 jam setiap hari untuk bekerja dan uji coba kontinyu dengan gigih dan sungguh-sungguh, walaupun terkadang berhasil dan gagal, seperti diakuinya sendiri. Pengamat seni Charbal Dagir mengomentari kegigihan Naja Al-Mahdawi dengan kata-kata "gila" yang maksudnya gila latihan:


نَجاالمهداوى لايَنتَظِرُ "الحالةَ" مِثلَ ماننتظرُ "الإلهامَ" ....عبَثا. بل يُبادِرُها، يناوِشها، ينازِلها. اللّعبةُ المجنونةُ. نجاالمهداوى ينازلهايوميا. دون مَلَلٍ. دون تردُّدٍ. مثلُ الصّيّاد.


Artinya, "Naja Al-Mahdawi tidak menunggu kasus, seperti halnya kita menunggu ilham, karena hal itu sia-sia. Justru dia mengejarnya, mengeruknya, menuruninya. Permainan gila! Naja Al-Mahdawi mengolahnya saban hari, tanpa jemu, tanpa ragu, persis pemburu."


Itu dilakukan Al-Mahdawi sambil ngendon saja di rumahnya.


Mengurung diri di rumah untuk menekuni kerja, ternyata dapat menggandakan hasil kerja. Di Indonesia, mushaf Al-Qur'an, apalagi yang berukuran besar, rata-rata ditulis  setahun atau lebih. Saya pun menulis 4 Al-Qur'an masing-masing sekitar setahun.


Dengan mengurung diri dan berkonsentrasi penuh di rumah, Al-Qur'an bisa ditulis lebih cepat. Misalnya, Abdurrahman bin Shayig menulis Al-Qur'an selama 60 hari dengan khat Tsulus. Emin Berin menyebut seorang khattat Turki menulis Al-Qur'an 48 hari. Beberapa kaligrafer disebut meluangkan waktu khusus dan berhasil menulis mushaf Al-Qur'an beberapa buah, semisal:


• Muhammad bin Umar Arab Zadah menulis 1000 mushaf,


• Ibnu Khazin menulis 500 mushaf,


• Ibnu Bawab menulis 64 mushaf,


• Mustafa bin Umar Al-Ayubi menulis 48 mushaf,


• Sayid Muhammad bin Ahmad Qaishari menulis 500 mushaf,


• Umar Muhammad Al-Ayubi Al-Kurdi menulis 477 mushaf,


• Ramadhan bin Ismail menulis 400 mushaf,


• Musthafa Hilmi menulis 200 mushaf,


• Faidhullah bin Shun'illah menulis 196 mushaf,


• Musthafa Raqim menulis 100 mushaf,


• Hafizh Waliyuddin menulis 99 mushaf,


• Darwisy Ali Syeikh Tsani menulis 88 mushaf,


• Ibnu Bawab menulis 64 mushaf,


• Ahmad Al-Suhrawardi menulis 33 mushaf,


• Hafizh Usman menulis 25 mushaf,


• Abdul Aziz Al-Rifai menulis 15 mushaf,


• Muhammad Rasim bin Yusuf menulis 60 mushaf, 


• Ibnu Muqlah menulis 2 mushaf, dan masih banyak yang lainnya.


"Ngisolasi mandiri" kenapa takut? Malahan membawa berkah dan sukses besar. الحمدلله  jannah.....jannah.


Didin Sirojuddin AR, pendiri Lembaga Kaligrafi, dosen pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah.