Opini HARI PUISI NASIONAL

Gus Mus, Mengkritik dengan Puisi

Rab, 28 April 2021 | 07:07 WIB

Gus Mus, Mengkritik dengan Puisi

KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). (Foto: id.pinterest)

Tepat pada setiap 28 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Puisi Nasional. Momentum ini diperingati untuk menghormati wafatnya Penyair berjuluk ‘Si Binatang Jalang’ Chairil Anwar pada 28 April 1949. Chairil merupakan penyair angkatan ’45 yang memelopori gaya penulisan puisi modern.


Sementara itu, di Nahdlatul Ulama juga terdapat seorang kiai yang sekaligus penyair. Ialah KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. Melalui puisi-puisinya, Gus Mus kerap kali mengritik penguasa yang terkadang jauh dari cita-cita yang diingini rakyat. Terdapat banyak puisi Gus Mus yang bernuansa kritik terhadap penguasa.


Sejak muda, Gus Mus memang memiliki kebiasaan untuk menulis dan membaca sajak. Ia banyak memuat tulisan-tulisan puisi di berbagai media massa. Gus Mus juga sempat memiliki nama pena M. Ustov Abi Sri. Hal tersebut bertujuan untuk menghindarkan diri dari bayang-bayang nama besar ayah dan keluarganya.


Dikutip dari situs resmi Gus Mus bahwa sebenarnya membaca puisi saat berdakwah, bukan hal baru di kalangan pesantren. Akan tetapi, pembacaan puisi sebagaimana yang dibawakan Gus Mus dengan sajak-sajak ‘mbeling’ memang baru dimulai Gus Mus.


Bagi Gus Mus, puisi menjadi media untuk mengomunikasikan berbagai situasi sosial yang aktual dengan para santri atau audiensnya. Dengan begitu maka terbukalah dialog sehingga terbuka harapan akan meningkatnya pemahaman yang lebih tentang diri sendiri, sesama, situasi lingkungan, dan agama.


Dalam puisi berjudul Negeri Haha Hihi, Gus Mus hendak bercerita dan memberi kabar tentang situasi sosial-politik yang terjadi di negeri ini. Secara ironi, Gus Mus menggambarkan negeri ini dipenuhi dengan lakon yang lucu tetapi sekaligus membuatnya muak.


Gus Mus menyinggung perilaku para pemimpin di negeri ini yang kerap pamer kebodohan dan keangkuhan. Bahkan, penegak hukum pun tak lepas dari sasaran kritik Gus Mus dalam puisi ini. Begitu pula para politisi yang sering obral janji tanpa eksekusi.


Berikut puisi Negeri Haha Hihi


Bukan karena banyaknya grup lawak, 

maka negriku selalu kocak

Justru grup – grup lawak hanya mengganggu 

dan banyak yang bikin muak

Negeriku lucu, dan para pemimpinnya suka mengocok perut


Banyak yang terus pamer kebodohan 

dengan keangkuhan yang menggelikan

Banyak yang terur pamer keberanian 

dengan kebodohan yang mengharukan

Banyak yang terus pamer kekerdilan 

dengan teriakan yang memilukan

Banyak yang terus pamer kepengecutan 

dengan lagak yang memuakkan. Ha ha ...


Penegak keadilan jalannya miring 

Penuntut keadilan kepalanya pusing

Hakim main mata dengan maling

Wakil rakyat baunya pesing. Hi hi ...


Kalian jual janji – janji 

untuk menebus kepentingan sendiri

Kalian hafal pepatah-petitih 

untuk mengelabui mereka yang tertindih

Pepatah petitih, ha ha ...


Anjing menggonggong kafilah berlalu, 

Sambil menggonggong kalian terus berlalu 


Ha ha, hi hi ...

Ada udang dibalik batu, 

Otaknya udang kepalanya batu 

Ha ha, hi hi

Sekali dayung dua pulau terlampaui 

Sekali untung dua pulau terbeli 

Ha ha, hi hi

Gajah mati meninggalkan gading

Harimau mati meninggalkan belang

kalian mati meninggalkan hutang 

Ha ha, hi hi

Hujan emas dinegeri orang, hujan batu dinegri sendiri,

Lebih baik yuk hujan – hujanan caci maki.

Ha ha, hi hi


Selain Negeri Haha Hihi, puisi lain yang mengandung kritik juga dibuat Gus Mus. Puisi tersebut berjudul Nyanyian Kebebasan Atawa Boleh Apa Saja. Di puisi ini, Gus Mus menyinggung secara ironi tentang makna merdeka. Oleh karena kemerdekaan yang keterlaluan, terjadilah silang-peran.


Siapa pun boleh berperan menjadi apa saja, karena terakomodasi oleh kemerdekaan. Karenanya, berbagai peran yang tidak dilakukan para ahlinya itu menjadikan kata ‘merdeka’ hanya dijadikan pertanyaan belaka. 


Berikut ini adalah puisi Nyanyian Kebebasan Atawa Boleh Apa Saja karya Gus Mus


Merdeka!


Ohoi, ucapkanlah lagi pelan-pelan

Merdeka

Kau ‘kan tahu nikmatnya

Nyanyian kebebasan


Ohoi,

Lelaki boleh genit bermanja-manja

Wanita boleh sengit bermain bola

Anak muda boleh berkhutbah dimana-mana

Orang tua boleh berpacaran dimana saja


Ohoi,

Politikus boleh berlagak kiai

Kiai boleh main film semau hati

Ilmuwan boleh menggugat ayat

Gelandangan boleh mewakili rakyat


Ohoi,

Dokter medis boleh membakar kemenyan

Dukun klenik boleh mengatur kesejahteraan

Saudara sendiri boleh dimaki

Tuyul peri boleh dibaiki


Ohoi,

Pengusaha boleh melacur

Pelacur boleh berusaha

Pembangunan boleh berjudi

Penjudi boleh membangun


Ohoi,

Yang kaya boleh mengabaikan saudaranya

Yang miskin boleh menggadaikan segalanya

Yang di atas boleh dijilat hingga mabuk

Yang di bawah boleh diinjak hingga remuk


Ohoi,

Seniman boleh bersufi-sufi

Sufi boleh berseni-seni

Penyair boleh berdzikir samawi

Muballigh boleh berpuisi duniawi


Ohoi,

Si anu boleh anu

Siapa boleh apa

Merdeka?


Sekalipun banyak puisi-puisinya yang menyindir dan menyinggung perilaku para penguasa, pemimpin, dan politisi negeri ini yang dianggap tidak sejalan dengan cita-cita keinginan rakyat. Gus Mus pun, dalam salah satu puisinya, pernah menyindir para penyair untuk berhenti menyanyi sendu atau membuat puisi yang berisi tentang cinta.


Dalam puisi berjudul Kepada Penyair yang ditulis pada 1414 hijriah, Gus Mus nampaknya gregetan dengan kealpaan para penyair untuk mengritik fenomena sosial yang mulai diliputi kegelapan. Ia mencoba membangunkan para penyair untuk bangun dan melihat kesewenang-wenangan yang membuat nurani tak berdaya. 


Berikut puisi Kepada Penyair karya Gus Mus


Brentilah menyanyi sendu

tak menentu

tentang gunung-gunung dan batu

mega-mega dan awan kelabu

tentang bulan yang gagu

dan wanita yang bernafsu

Brentilah bersembunyi

dalam simbol-simbol banci

Brentilah menganyam-anyam maya

mengindah-indahkan cinta

membesar-besarkan rindu

Brentilah menyia-nyiakan daya

memburu orgasme dengan tangan kelu

Brentilah menjelajah lembah-lembah

dengan angan-angan tanpa arah

Tengoklah kanan-kirimu

Lihatlah kelemahan di mana-mana

membuat lelap dan kalap siapa saja


Lihatlah kekalapan dan kelelapan merajalela

membabat segalanya

Lihatlah segalanya semena-mena

mengkroyok dan membiarkan nurani tak berdaya

Bangunlah

Asahlah huruf-hurufmu

Celupkan baris-baris sajakmu

dalam cahya dzikir dan doa

Lalu tembakkan kebenaran

Dan biarlah Maha Benar

yang menghajar kepongahan gelap

dengan mahacahyaNya


Penulis: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad