Opini

Gus Mus adalah Juru Kasih Sayang

NU Online  ·  Senin, 29 Oktober 2018 | 08:15 WIB

Oleh Usman Arrumy

/1/

Sehari sebelum berangkat sowan ke Leteh, Rembang, Mbah Tejo sekeluarga mampir ke rumah saya, Demak. Sekitar satu jam di rumah, lalu lanjut ke Pati ke rumahnya Habib Anis Soleh Ba’asyin. Esoknya, Kiai Budi bersama anaknya, Gus Saiq, ngampiri saya untuk lanjut ke Rembang. Menjelang masuk Rembang, Mbah Tejo (Sujiwo Tejo) ngajak ngopi dulu di pesisir pantai dengan banyak jala nelayan di sampingnya. 

“Man, nanti kamu wawancarai Gus Mus tentang kesan-kesannya selama menjadi muridku, ya?” pinta Mbah Tejo. Mendengar itu saya seketika ndredeg.

Tahun 2008—sembilan tahun sebelumnya, adalah tahun pertama saya membaca puisinya Gus Mus, saya belum tahu bagaimana wajah beliau. Tahun-tahun itu saya belum mengenal internet. Saya membaca puisinya di toko Kawedanan, Kaliwungu.

Saya hanya tahu nama Gus Mus waktu itu sebagai tokoh NU, seorang Kiai, dan ini yang paling penting—saya mengenal nama Gus Mus terutama bukan sebagai penyair atau seniman atau budayawan atau cerpenis, melainkan nama Gus Mus terpahat di dada saya pertama kali sebagai Kiai. 

Dan toko Al-Barokah, pojok Kawedanan itu telah mengubah caraku memandang Gus Mus. Sejak saat itu pola pandangku terhadap Gus Mus berubah, sejak saat itu saya membayangkan Gus Mus sebagai pangeran berkuda dengan kibaran kain di punggungnya. Sejak saat itu tampaknya Gus Mus menjadi artefak yang terukir di hati saya.

Begitulah Gus Mus bagiku. Semacam cinta platons—seperti kerinduan ilalang terhadap rembulan, mendapatkan percikan cahayanya dari kejauhan saja sudah cukup. Bahwa membaca puisinya saja sudah merasa bertemu, bahwa memandang potonya saja sudah merasa bertemu. 

Kenanganku atas awal-awal saya mengenal Gus Mus via puisinya menyertaiku ketika mobil pelahan memasuki Rembang. Sepasang mata keluar jendela, dan ketika batang samsu kuhisap, baru saya menyadari kalau tanganku gemetaran. Saya mau ketemu Gus Mus, sosok idola yang menempati garda terdepan di hati saya, setelah Sembilan tahun lamanya hanya dapat kubayangkan pertemuan itu. Bayangan-bayangan yang sering juga kutepis sendiri karena merasa bagai ranting yang ingin menggapai langit. 

Pikir saya, pertemuan hanyalah sebuah pertemuan bila tanpa kerinduan. Kini saya mempunyai kerinduan itu. Tapi, bukankah pertemuan seperti halnya ‘maqom’? Apakah ketika kini saya sudah semakin dekat dengan rumah Gus Mus, saya sudah berada di dalam maqom itu? Halah. Heuheuheu.

/2/

Saya bersama Mbah Tejo dan Kiai Budi—beserta rombongan, memasuki rumah Gus Mus. Akhirnya saya memasukinya, dengan hati yang gemetar bercampur rindu, saya menembus para tamu yang sudah sejak awal di situ.

"Waah, Penyair Mesir. Ahlan wa Sahlan, selamat datang..."

Itulah kalimat pertama yang terdengar oleh saya, dari Gus Mus—pangeran berkudaku Sembilan tahun lalu, jantung berdegup sedikit lebih cepat dengan tempo yang semrawut. Seperti ketemu pacarnya saja. Heuheuheu. Saya mencari posisi yang paling dekat dengan beliau, saya ada di depan Gus Mus, Kiai Budi dan Mbah Tejo. Saya berjarak hanya setengah meter dengan Gus Mus. 

‘Ini bagaimana ceritanya kok bisa bareng-bareng ke sininya?” tanya Gus Mus. Kiai Budi menjawab sesuai cerita. Saya hanya diam dan sedikit membungkuk, sesekali memberanikan diri untuk memandang wajah Gus Mus yang tersenyum itu.

“Ini Muhammad Saiq, anak mbarep, Kiai,” Kiai Budi memperkenalkan.

"Lha, sudah nikah? Kalau belum ya jomblo podo kae," tanya Gus Mus dan dijawab sendiri oleh beliau sambil telunjuknya menuding tepat ke arah saya.Sejenak tawa membombardir ruangan ndalem. Mbah Tejo yang sedikit banyak tahu kisahku kulihat tersenyum tapi senyumnya ada nuansa makar. Saya belum ngomong apa-apa sudah di-bully.

Akhirnya saya tahu bahwa Gus Mus hendak mencairkan suasana setelah mungkin melihat wajah saya yang dinaungi ketegangan sejak awal. Dan sejak itu saya tahu bahwa Gus Mus diam-diam mengaktivkan dinas rahasianya. Terbukti Gus Mus tahu kalau saya menyandang jubah kebesaran Jomblo. Saya tidak tersinggung sebab begitulah adanya.

"Ini anak ragil saya, Jagat, Gus," Mbah Tejo memperkenalkan.

"Sudah lulus kuliahnya? Fakultas apa?" tanya Gus Mus.

"Belum, fakultas Teknik Sipil," jawab Jagat.

"Oh, saya kira jurusan psikologi. Kalau jurusan psikologi kan bisa ngobati bapakmu," timpal Gus Mus.

Di titik itulah tawa terguncang secara vandalistis. Entah sudah berapa rombongan yang meminta doa dari Gus Mus, dan Gus Mus berdoa sesuai jumlah permintaan. Gus Mus masuk ke dalam, tak ada lima menit beliau keluar lalu melempar rokok Dji Sam Soe ke arah saya, Djarum ke Kiai Budi—sayang, Mbah Tejo tidak dilempari Sampoerna Mild karena mungkin Gus Mus sudah melihat di depannya ada dua bungkus. Saya tahu bahwa itu artinya Gus Mus menyuruh saya merokok. Saya selebrasi dengan cara menunjukkan Samsu ke arah Mbah Tejo. Nanti kita join, Mbah. Heuheuheu.

"Ini Gus, kitab burdah Ka'ab bin Zuhair untuk Njenengan. Saya berharap nanti puasa dibuat posonan, agar saya di Mesir bisa streamingan," pinta saya sambil menyodorokan dua syarah burdah Ka’ab, akhirnya saya bicara setelah cuma menyimak. 

Gus Mus hanya mesem. Lalu dawuh:  "Di Indonesia ini yang paling hafal burdahnya Ka'ab itu Kiai Said, padahal dia tidak penyair." 

Saya berpikir bahwa sowan Kiai dengan membawa gula dan kopi dan roti dan entah apa lagi sudah terlalu konvensional, saya berinisiatif membawa pisowanan kitab puisi yang popular dengan nama Banat Su’ad—yang digubah oleh Kab bin Zuhair, sebagai bentuk rasa syukurku untuk sudah diberi anugerah bertemu dengan Gus Mus, pangeran berkuda yang saya bayangkan dulu itu.

/3/

Setahun sebelum ini, saya diberi mandat oleh Gus Mus melalu Kiai Budi untuk menerjemahkan lagu-lagunya Ummi Kulstum. Maka sowan kali ini antara lain untuk sekaligus ngaturke. 

"Anu... Usman itu tidak suka lagu-lagunya Ummi Kultsum," dawuh Gus Mus, saya agak tertegun bukan karena tersinggung, melainkan dari mana Gus Mus tahu kalau saya belum menyukai lagu-lagunya?

Kemudian beliau bercerita kalau dahulu kalau ada seseorang yang sangat suka terhadap lagu-lagunya Ummi Kultsum, namanya Zaini, yang mempelopori lagu kasidah nasidaria, meminta kepada Gus Mus untuk menerjemahkan satu saja puisi dari lagunya Ummi Kultsum. Zaini sangat suka lagunya tapi tidak tahu maknanya.

Begitu satu lagu ditejemahkan oleh Gus Mus—berjudul Wulidal Huda, kalau tidak salah ingat,  Zaini berkata dengan nuansa kegirangan.

"Waaah, kalau begini ya bisa dibuat dakwah..."

Padahal, lanjut Gus Mus, kebanyakan lagunya Ummi Kultsum itu bernuansa yang-yangan. Dan itulah problem di Indonesia yang sampai sementara ini masih belum terpecahkan—yang suka lagunya tidak tahu artinya, yang tahu artinya tidak suka lagunya.

Tawa meledak secara kolektif. Saya kemudian mengadakan investigasi ringkas untuk mengetahui dari mana sebenarnya Gus Mus tahu kalau saya belum menyukai--untuk tidak mengatakan sedang di dalam ijtihad menyukai lagu-lagunya Ummi Kultsum. Ini penting untuk saya tempuh karena menyangkut soal kelengkapan syarat dalam proses alih bahasa. Dan inilah hasil riset cekaknya.

Pastilah Gus Mus sudah menyukai dan sekaligus dapat menerjemahkan lagu-lagunya Ummi Kultsum itu dengan berdasarkan cinta terhadap nada dari lagu-lagunya, itu pula sebabnya beliau tahu perbedaan antara yang suka dan tidak/belum hanya dengan sekali membaca hasil terjemahan saya.

Bergegas saya menyadari bahwa terutama kecintaan terhadap lagu-lagunya itu menjadi bahan baku awal sebagai dasar untuk menerjemahkan. Kemahiran dalam mengalihbahasakan soal belakangan, karena itu bisa diasah dan diolah seturut ketekunannya. Tapi kalau sudah menyentuh soal cinta terhadap sesuatu, tertutama menyukai nada, ini yang agak sulit dijelaskan. 

Untuk itu, saya sedang mencari alternatif bagaimana cara untuk dapat menyukai nadanya, dan kemarin-kemarin saya mencoba menyiasatinya dengan cara mendengarkan lagu-lagunya secara rutin, tapi rasa-rasanya tidak ada peningkatan.

Apakah ini sama halnya ketika kita mencintai seseorang? Bahwa Cinta tidak bisa dirancang dan tidak dapat kita pastikan kedatangannya, terutama kita tidak akan bisa mengundang cinta untuk singgah di hati kita? Bahwa niat tidak berlaku dalam proses mencintai. Cinta memang nganuuu.

Dan nyatanya, seseorang belum tentu tergetar batinnya dengan mendengar suara dan melihat wajah tetangga tiap waktu. Justru seseorang terkadang bisa mencintai hanya dengan mendengar cerita tentangnya.

Dan Gus Mus, seperti yang saya tahu--dari hasil eksplorasi itu, dengan mencintai nada dari lagu-lagunya Ummi Kultsum dan mencintai liriknya-- sebagai dasar dalam menerjemahkan, seketika tahu bahwa hasil terjemahan saya ternodai dengan tidak berdasarkan cinta dalam menerjemahkan. Pendeknya, mungkin saja terjemahan saya bagi beliau masih sebatas leterlek.

Lalu saya berbisik kepada Kiai Budi.

"Inilah bedanya, Kiai... karya pesanan selalu begini hasilnya."

Tawa kembali terguncang secara kolosal.

(NB: Terjemahan Ummi Kulstum sudah jadi dan saya jadikan hadiah ulang tahun ke 74 Gus Mus)

/4/

Dalam sowan kali ini juga, saya membawa 17 bukunya Gus Mus yang saya beli jauh-jauh hari, antara lain 10 buku esai, 1 cerpen dan 6 buku kumpulan puisi. Melihat di depan saya ada tumpukan buku—apalagi saya dan beliau berjarak hanya sekitar setengah meter, bertanyalah beliau dengan sambil masih mengamati tumpukan buku.

‘’Lha itu buku apa?’’

‘’Ini buku-buku untuk dilegalisasi, Gus, disuwuk dengan tandatangan,” jawab saya.

Beliau tersenyum sambil berdiri, dan masuk sebentar. Kemudian keluar lagi dengan nyangking bolpoin.

‘’lha buku sampeyan sendiri mana? Kan sudah terbit?’’ beliau bertanya lagi sambil duduk.

‘’Baru cetak, Gus," saya menimpalinya pendek saja. 

Sebenarnya ini strategi saya agar nanti kalau sudah terbit bisa sowan lagi. Sambil membuka satu-satu lembaran buku untuk dioret-oret, beliau tiba-tiba ngendikan dengan mimik serius—dengan melihat ke arah Kiai Budi dan disusul ke arah Mbah Tejo.

‘’Dia penyair masa depan Indonesia’’. 

Telunjuknya diangkat dalam kondisi mengarah ke saya.Mendengar ngendikan beliau barusan, perasaan saya campur aduk. Satu-satunya yang paling mungkin saya lakukan adalah terdiam. Saya hanya terdiam. Suasana mendadak tampak hening. 

‘’Dia penyair masa depan Indonesia’’. Dawuh Gus Mus lagi dengan pandangannya mengarah ke sejumlah rombongan. Saya terdiam, tangan saya rasanya tidak kuat mengangkat batang samsu yang terselip di jari. 

Ketika singgah di rumah Ki Dalang Sigid Ariyanto, Kiai Budi membahas ngendikan Gus Mus tersebut. ‘’Hlaaaa..bagaimana, sudah kubilang dari dulu kok nggak percaya.’’

Saya sempat tidak mudeng arah kata-kata Kiai Budi tersebut ke mana, dan saya baru ngeh ketika Mbah Tejo menimpali omongan Kiai Budi.

‘’Iyooo, sekalipun kepenyairan kamu sudah dilegalisasi Sapardi dan Gus Mus, tapi kalau belum aku akui, jangan bangga dulu’’.

Saya baru sepenuhnya paham bahwa di titik itulah Mbah Tejo secara terselubung sedang mendidik mental saya agar tidak terburu-buru bangga atas ngendikan Gus Mus. Dan saat itulah saya juga tahu kalau Mbah Tejo ternyata diam-diam melihat ada gejala kebanggan di dalam diri saya atas ngendikan Gus Mus, meski secara fisik tak ada indikasi kebanggan nampak di muka saya.

Kini saya mengadakan ijtihad agar kemungkinan untuk 'bangga' bisa dihambat. Bahwa Gus Mus hanya bilang 'penyair masa depan', dan tidak berbicara soal nasib. Tiap orang punya masa depan—baik dan suramnya masa depan tidak ada yang mengetahui.

Tapi berangkat dari husnu dzon—karena yang mengatakan demikian adalah Gus Mus, saya kemudian mengolah prespektif untuk memahami kalimat tersebut sebagai bagian dari doa. Terutama agar tidak termasuk golongan Suroh Asy Syu’aro, ayat 224-226, yaitu penyair yang diikuti oleh orang-orang sesat, penyair yang mengembara di tiap-tiap lembah, dan penyair yang suka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan.

Dan untuk itu semoga prespektif tersebut tidak mengandung kebanggan baru yang akan merisak segala sesuatunya.

Maka 21 hari kemudian—setelah sowan itu,  saya iseng menata buku-buku di rak—saya hobi menata buku meski tatanannya sudah rapi, sekadar mengubah pola konstelasi buku atau memindahkan letak buku, dan ketika memegang buku-buku Gus Mus, saya buka satu-satu untuk melihat tandatangannya—soalnya sejak penandatanganan dulu, saya belum sekalipun melihat bentuk tandatangan beliau.

Nampak hanya ada bubuhan tandatangan beliau, tanpa ada ketambahan tulisan, semisal 'selamat membaca' atau 'semoga setelah baca tidak jomblo lagi' atau pesan khusus yang biasanya disertakan oleh penulis-penulis lain di bawah atau di atas tandatangan, dan tibalah buku terakhir yang saya buka, yaitu buku cerpen Lukisan Kaligrafi, dandi situ tercatat tulisan sebagaimana yang Gus Mus katakana tentang saya. 'Untuk Penyair Masa Depan'.

Dari situlah timbul dialektika dalam diri saya. Interpretasi yang saya pakai ketika mengasosiasikan ngendikan Gus Mus dalam kalimat 'penyair masa depan', adalah mestinya akan lebih harmonis bila kalimat tersebut dibubuhkan di dalam buku puisi. Tapi yang terjadi bubuhan kalimat tersebut justru tergores di dalam buku cerpen.

Jika kalimat tersebut harus ditulis, mengapa tidak ditulis saja di buku puisi sementara jumlahnya ada enam, atau di buku essai yang jumlahnya lebih banyak? Dan mengapa kalimat tersebut ditulis justru di dalam buku yang jumlahnya hanya satu itu, buku cerpen? Apakah ini disengaja atau memang hanya kebetulan?

Sederet pertanyaan tersebut menghambur tanpa ada respons yang prospek untuk dijadikan sebagai jawaban. Itu pula sebabnya, dari sini saya mengadakan studi untuk mencari kemungkinan paling potensial dalam menggeser sudut pandang.

Maka apakah kalimat 'untuk penyair masa depan, Usman Arrumy' yang dibubuhkan di lembar pertama buku cerpen, dan bukannya di buku puisi, adalah dorongan atau sindiran atau justru semacam doa pendek agar saya bersedia meneladani dan kemudian menyusul jejak beliau untuk juga menulis cerpen—sebagaimana beliau dulu, kita tahu bahwa karir kepenyairan Gus Mus disempurnakan dengan juga menulis cerpen.

Jika benar demikian, maka ya, bagaimana lagi, saya mesti menyiapkan diri untuk menjadi pendongeng yang baik. Karena calon bapak yang baik adalah yang pintar mengolah cerita dan menimbunnya sebagai persediaan untuk bahan nina bobo anaknya.

/5/

Gus Mus sudah tak terhitung keluar-masuk—meladeni tamu, sesekali nyangoni anak kecil yang ikut sowan. Ketika Gus Mus kembali duduk, beliau bercerita: 

Waktu aku menerbitkan buku puisi Ohoi, tahun 1991, tak ada sebulan penerbitnya bubar. Entah puisinya yang malati atau penerbitnya tidak kuat nyonggo puisiku.

Kudengar suara tawa menggema secara radikal dalam waktu yang lebih lama dari tawa yang sudah terjadi. "Nganu Gus... Usman Arrumy kemarin juga memakai tudung yang aku pakai ini, dan ternyata wangun," kata Kiai Budi pada Gus Mus ketika ditanya asal-usul mengapa memutuskan memakai tudung dalam keseharianya.

Kiai Budi sebelumnya menerangkan panjang lebar riwayatnya, termasuk ketika tudung yang kini dipakainya---istilah beliau, bukan peci atau udeng-udeng-- didapatkan dari pemberian Syaikh Mustofa.

"Tapi anu, Yai.. Saya kuat memakainya tak lebih dari lima menit. Abot tenan jebule," kata saya.

Saya tidak tahu apakah Kiai Budi, minimal sampai hari ini, masih tetap memakainya cuma karena tudung itu pemberian Syaikh Mustofa, atau biar terkesan lain dari lainnya, atau untuk menegaskan jati dirinya, atau semata karena kepalanya songgone kuat.

Dan seperti biasa, Gus Mus dengan gaya yang khas, menimpali omongan saya, sambil berdiri dan berlalu ke dalam ndalem. IYO, SEDELOK MANEH SIRAHMU STRES NGANGGO IKU.

Beberapa saat Gus Mus miyos lagi, duduk dan melanjutkan pembicaraan tentang tudung tersebut. "Aku sebenarnya juga punya tudung seperti itu, diberi Syaikh Hisyam Kabbani. Tapi aku RA MENTHOLO mau memakai."

Seketika tawa pecah secara kolektif. Lalu Mbah Tejo yang sejak awal seolah membiarkan saya menebus kerinduan terhadap Gus Mus, kasih kode ke saya agar melakukan wawancara eksklusif kepada Gus Mus. Sesuatu yang sudah dirancang sejak ngopi di pesisir rembang tadi. Ki Dalang Sigid Ariyanto berperan sebagai penyuting dadakan. 

Mbah tejo: "Alhamdulillah, Lebaran kali ini saya bersama murid kesayangan saya, Gus Mus... Usman Arrumy akan wawancara tentang kesan-kesan Gus Mus selama menjadi murid saya."

Dengan perasaan salah tingkah dan terpaksa saya menjalankan skenario tersebut. "Bagaimana, Gus..kesan-kesan selama menjadi murid daripada Sujiwo Tejo?"

Spontan Gus Mus menjawab. WUAH... ITU... NUIIKMAAT SEKALI. Seketika tawa di ruang tamu ini terguncang-guncang secara revolusioner. (Video wawancara ada di You Tube)

/6/

Mbah Tejo sudah dua kali njawil dengkul saya dalam rangka agar lekas siap-siap pamit. Ketika Gus Mus keluar dari ruang dalam, saya dan Mbah Tejo sudah dalam posisi berdiri. Dengan berat hati mau pamit. Tapi mendadak Gus Mus dawuh:

"Ehhhh. wong Mesir... jangan pulang dulu. Jauh-jauh dari Mesir kok cuma sebentar. Makan dulu." 

Kata Gus Mus. Dan ketika saya mlipir-mlipir ke ruang makan, Gus Mus berkata sambil memijit-mijit pundak saya.

"Ya Allah..badan kok kurusnya begini. Tirakatnya jangan banyak-banyak"

Saya Cuma hehe hehe. Dalam hati, alangkah beruntung saya pernah meski sekejap dipijit Gus Mus. Pangeran berkuda yang bertahun lampau namanya sudah menjadi semacam pahatan patung di hati saya.

15 Menit berlalu, saya sudah duduk di depan Mbah Tejo dan berdampingan dengan Kiai Budi. Lalu Mbah Tejo njawil dengkul saya lagi sambil bilang dengan sedikit nada intimidasi.

"Pokoknya kamu yang harus punya inisiatif untuk pamit. Sebab kamulah yang ditahan."

Maka saya menyusun siasat pamit, sebenarnya saya masih betah, Mbah Tejolah yang kesusu karena sorenya harus wayangan di Salatiga. Lima menit kemudian, ketika saya sudah ancang-ancang untuk berdiri, Gus Mus tiba-tiba keluar dengan nyangking sarung.Dan saya kebagian sarung Ketjubung.

Demikianlah, Gus Mus, baru pertama kalinya saya sowan Gus Mus tapi seolah-olah saya merasa bukan orang asing di hadapannya, merasa bahwa saya bukan orang baru baginya. Hari itu, saya merasa menjadi orang terdekatnya Gus Mus. saya kira ini juga akan dialami oleh siapapun yang sowan ke ndalem Leteh. Gus Mus bagi saya adalah juru kasih-sayang. 

Aku melihat wajah Indonesia
Melalui sepasang mata Gus Mus
Aku mendengar suara Indonesia
Melalui sepasang telinga Gus Mus
Aku menyentuh tubuh Indonesia
Lembut jemari Gus Mus

Melalui langkah kaki Gus Mus
Aku menyusuri jejak Indonesia
Melalui denyut jantung Gus Mus
Aku menghayati makna Indonesia

Melalui hati Gus Mus
Tuhan memberiku pengertian
Bahwa cinta masih ada 
Di muka bumi ini

/7/

Selama hampir tiga jam saya bertemu pertama kalinya dengan Gus Mus, penyairku yang bertahun lampau saya bayangkan sebagai pangeran berkuda. Setelah hampir sepuluh tahun lamanya saya menanti pertemuan dengan beliau, kini akhirnya dapat kutebus kerinduan itu.

Perpisahan tidak lagi menakutkan bagiku. Toh, melalui perpisahan itulah proses pertemuan kembali terjadi. Kini saya harus kembali menabung kerinduan demi kerinduan untuk ditumpahkan dalam pertemuan selanjutnya. 

Dengan demikian, saya tak hendak bernostalgia atas kenangan ini, saya hanya sedang mengerjakan rindu ini untuk didaur ulang sebagai keberkahan. Bahwa saya sempat ada di jarak yang begitu dekat dengan piyantun sepuh yang romantis itu, lebih dekat dari laut ke luasnya. 

Kairo, Oktober 2018


Penulis adalah penyair, pegiat sastra

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua