Opini

Catatan Mbah Moen, Pesan untuk Pagar Nusa dan Indonesia

Rab, 7 Agustus 2019 | 12:31 WIB

Catatan Mbah Moen, Pesan untuk Pagar Nusa dan Indonesia

Mustasyar PBNU KH Maimoen Zubair

Oleh Muchamad Nabil Haroen
 
Selama mengemban amanah Ketua Umum Pagar Nusa, saya sering sowan KH Maimoen Zubair. Beliau adalah seorang sesepuhnya para kiai yang tidak hanya menguasai bermacam disiplin keilmuan, tetapi juga kiai yang nasionalis dan jernih dalam memberikan solusi atas bermacam persoalan bangsa.

Banyak sekali dhawuh-dhawuh beliau yang saya ingat dan amalkan. Salah satunya saat saya sowan beliau ketika Pagar Nusa akan menggelar hajat besar Ijazah Kubro di lapangan Puser Bumi, Cirebon, 2018 silam. Beliau dhawuh, “yang disebut ijazah kubro. Artinya ijazah itu memberikan izin untuk mengamalkan sesuatu amalan guna kepentingan pribadi maupun umat. Pagar Nusa,  pagar berarti tameng, pagar atau menjadi suatu pembelaan kepada nusa. Nusa itu tidak dapat dipisahkan dengan bangsa. Satu nusa, satu bangsa. Ini sesuai dengan cita-cita ulama terdahulu.

Saya mengharapkan Pagar Nusa sukses dan kembali sebagaimana arti Pagar Nusa bahwa Nahdlatul Ulama berasal dari organisasi Nahdlatul Wathan dan Nahdlatut Tujjar. Keduanya tidak dapat dipisahkan adalah kemerdekaan disertai keadilan dan kemakmuran. Sebagaimana pada penutup asas negara kita, Pancasila, yaitu padi dan kapas. Makmur dalam keadilan, adil dalam kemakmuran. Semoga ini menjadi apa yang kita cita-citakan. Nahdlatul Ulama sebagai milik bangsa dan menyatukan bangsa, sehingga negara ini tidak terpisah dan terkoyak-koyak,” begitu dhawuh Mbah Moen kala itu.

Pada kesempatan yang lain, tatkala pengajian kitab Tanbihul Mughtarin pada Ramadhan 1440H, beliau bercerita soal kenapa para ulama meninggal di hari Selasa. Menurut Mbah Moen, pada 1800-an tepat di hari Selasa pondok pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, didirikan. Setiap hari Selasa pula dijadikan hari libur santri lantaran wafatnya orang alim pada hari Selasa. “Wafatnya bapakku (Kh Zubair Dahlan) Seloso, mbahku dino Seloso, buyutku dhino Seloso, maka dari itu kenapa orang-orang dahulu ngaji prei hari Selasa. Karna wafatnya orang alim biasanya hari Selasa,” dhawuh Mbah Moen.

Mbah Moen sering sekali mengulang dhawuh soal hari penciptaan bumi. Allah menciptakan bumi dalam waktu 4 hari yaitu, Minggu, Senin Selasa, Rabu. Pada hari Selasa itulah Allah menurunkan segala ilmu ke dunia ini.

Kemarin, duka menyelimuti Nusantara. Sesepuh para kiai itu berpulang ke rahmatulLaah tepat di hari Selasa di Tanah Suci Makkah, seperti yang sering beliau ceritakan. Harum semerbak kasturi bangsa kembali diambil Sang Hyang Esa. 

Selamat jalan, Mbah Moen. Harum nama Panjenengan selalu kami kenang. Dhawuh Panjenengan soal hidup dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia akan selalu kami amalkan dan dawamkan. Sejarah hidup Penjenengan akan kami ceritakan kepada generasi mendatang, bahwa pernah ada ulama sepuh yang alim dan tak pernah alpa mencintai Indonesia.

Jakarta, 7 Agustus 2019

Penulis adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Pagar Nusa
Â