Syariah

Transaksi via Mesin Otomatis dalam Hukum Islam

Sab, 19 Juni 2021 | 16:00 WIB

Transaksi via Mesin Otomatis dalam Hukum Islam

ada kesinambungan antara otomatis, lazim, dan adat. Ketiganya menunjukkan sebuah kebiasaan yang berulang dan berlangsung tsubut atau berpola tetap.

Di zaman modern seperti sekarang ini, kita sering dihadapkan pada perkembangan teknologi robot dengan bahasa pemograman tertentu untuk menjalankan fungsi otomatisasi. Berbekal pemrograman tersebut, ketepatan dan presisi dapat diperoleh sesuai dengan yang diharapkan oleh perancangnya.

 

Banyak mesin pengolah minuman, pembuat spare & part mobil, dan sejenisnya yang dibuat melalui bahasa pemrograman dan terbukti menghasilkan kualitas yang seragam. Adapun bila terjadi error system, maka error system itu bisa diminimalisasi dan jauh lebih efisien bila menggunakan tenaga manusia secara langsung.

 

Untuk industri minuman dan makanan olahan, misalnya, ketepatan ingredient (kadar bumbu dan kandungan zat) ternyata terbukti bisa distandarkan dengan menggunakan teknologi yang diotomatisasi tersebut. Hasilnya pun bisa dirasakan, yaitu cita rasa setiap produk olahan yang dijual adalah seragam. Baku mutunya pun sama dan bisa diuji. Bayangkan bila hal itu dikerjakan oleh manusia secara langsung, sudah pasti dalam setiap kemasan produk, akan tercipta berbagai macam cita rasa yang berbeda. Penyebabnya, karena terjadi ragam (variasi) bumbu menurut persepsi masing-masing pengolahnya.

 

Hal ini setidaknya mengundang tanya bagi para pengkaji fiqih, yaitu sejauh mana otomatisasi itu diperkenankan oleh syara’? Sebab, jika kita pergi ke Bandara atau Terminal Angkutan Umum, kita juga sering mendapati adanya mesin penjual minuman yang diprogram otomatis. Jika kita memencet tombol minuman dengan harga 5 ribu, maka yang keluar juga minuman seharga 5 ribu.

 

Transaksi semacam ini sering dimasukkan dalam pembahasan akad mu’athah (transaksi tanpa akad). Menurut Ibnu Suraij dan Imam al-Ruyani, batasannya adalah bila dalam transaksi tersebut, barang dan harga yang dipergunakan untuk jual beli adalah terbilang yasîr (sedikit), muhaqqarat (remeh), dan tidak melibatkan barang berharga (ghairu nafis). Mengapa standar ini diberikan? Sudah pasti karena pertimbangan bahwa transaksi tanpa akad dengan melibatkan jumlah yang besar, adalah rawan terjadinya penyalahgunaan sehingga menyebabkan dlarar (kerugian) yang besar pada salah satu pihak.

 

Pertanyaannya: bagaimana bila kita belanja minuman yang sama (seharga 5 ribu), dengan membawa uang sebesar Rp1 juta. Dan keluarnya tenyata juga sama, yaitu minuman seharga Rp1 juta. Apakah akad ini juga masih bisa dikelompokkan sebagai akad mu’athah? Lalu sejauh mana batasan “otomatis” itu diperkenankan oleh syara’?

 

Karakter “Otomatis”

Otomatis berasal dari dua rangkaian suku kata, yaitu auto dan matic. Auto artinya adalah sendiri, sementara matic artinya adalah berbasis mesin. Jadi, otomatis secara bahasa bermakna mesin yang bekerja sendiri.

 

Secara istilah, “otomatis” dimaknai sebagai sebuah kerja berbasis mesin yang diprogram dan berfungsi mengurangi campur tangan tenaga manusia. “Otomatisasi” menurut istilah yang diperkenalkan oleh Tokopedia dan mengutip dari KBBI adalah proses penggantian tenaga manusia dengan tenaga mesin yang secara otomatis melakukan dan mengatur pekerjaan sehingga tidak memerlukan lagi pengawalan manusia (dalam industri dan sebagainya).

 

Jika diksi “otomatisasi” ini dilekatkan dengan diksi “perkantoran” maka “otomatisasi perkantoran” dapat dimaknai sebagai penggunaan alat elektronik untuk memberikan kemudahan komunikasi formal dan informal terutama apabila berkaitan antara komunikasi informal dengan orang-orang di dalam dan di luar perusahaan untuk meningkatkan produktivitasnya.

 

Menyimak dari definisi di atas, secara tidak langsung kita bisa menggarisbawahi bahwa karakter dasar dari “otomatis” adalah:

  1. Kinerja otomatisasi adalah kinerja berbasis mesin atau teknologi (robot)
  2. Kinerja otomatisasi membutuhkan pemrograman alat dan presisi mesin
  3. Bahasa pemrograman adalah bahasa yang disusun dengan menggunakan “logika matematika” dan “alghoritma pemograman” sehingga tercipta software (piranti lunak)
  4. Objek yang dikerjakan oleh mesin otomatis adalah pekerjaan yang “biasa” dilakukan oleh manusia dan logis
  5. Setiap yang masuk dalam ranah logis wajib memenuhi kaidah sebab dan akibat (kelaziman)
  6. Sesuatu bisa disebut memiliki relasi sebab-akibat apabila sesuatu itu sering menunjukkan hubungan yang berulang. 1 + 1 adalah sama dengan 2. Adanya 2 adalah disebabkan karena ada 1 + 1. Oleh karenanya, 1+1 adalah sebab, dan 2 adalah akibat. Contoh lain adalah air jatuh menimpa turbin, sehingga turbin menjadi berputar. Perputaran turbin adalah disebabkan oleh jatuhnya air yang menimpanya.
  7. Jadi, aktivitas otomatisasi adalah sama dengan suatu aktivitas menggantikan pekerjaan yang lazim (biasa dan secara berulang-ulang) sering dikerjakan oleh manusia. Untuk itu, pekerjaan itu dilakukan oleh mesin sebagai langkah efisiensi dan karena alasan presisi.

 

Otomatis, Lazim, dan Adat

Sebagaimana ditegaskan di muka, bahwa “otomatis” memiliki keeratan hubungan dengan “lazim”. Lazim merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Secara bahasa, lazim bermakna sebagai “tetap” (tsubut) dan “senantiasa” (dawam). Misalnya, seperti diksi berikut ini:

 

لَزِمَ الشَّيْءُ: ثَبَتَ، دَامَ

 

"Sesuatu itu merupakan kelaziman” (tetap, dan senantiasa terjadi)

 

لَزِمَ القَانُونُ: وَجَبَ حُكْمُهُ

 

"Qanun itu berlaku sebagai kelaziman” (hukumnya wajib patuh)

 

Di dalam fiqih, suatu hukum dapat disebut sebagai lazim apabila memenuhi kaidah sebab-akibat, terpenuhinya syarat, ketiadaan mani’ (penghalang yang dilarang oleh syara’), merupakan bagian dari dispensasi (rukhshah), dan ‘azimah (hukum asal). Kelima hal ini merupakan bagian dari penyusun hukum wadl’i. Oleh karenanya, senantiasa bersifat bisa diterima oleh akal sebab merupakan bagian dari ta’aqquly (ketetapan hukum yang bisa dinalar alasannya).

 

Misalnya, karena sudah masuk waktu shalat maghrib, maka hukum mengerjakan shalat maghrib menjadi wajib. Tenggelamnya matahari di akhir bulan Ramadhan merupakan illat wajib membayar zakat fitrah. Antara sebab dan akibat hukum merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling berikatan. Itu sebabnya, para ulama ushul fiqh mendefinisikan “sebab” sebagai:

 

الوصف الظاهر المنضبط الذي جعل مناطا لوجود الحكم

 

“Suatu sifat yang tampak dan tegas yang dijadikan sebagai alasan bagi terbitnya hukumm.”

 

Di dalam kitab Majmu' Syarah Muhadzab disampaikan bahwa jual beli mu’athah dibolehkan secara mutlak oleh Imam Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Namun, menurut Imam Syafi’i, bai’ mu’athah tidak diperbolehkan disebabkan alasan ketiadaan shighah akad yang dilakukan oleh muta’aqidain yang memenuhi syarat muthlaq al-tasharruf.

 

Akan tetapi justru disampaikan oleh ulama kenamaan dalam mazhab Syafi’i, yaitu Imam Nawawi. Beliau menyampaikan sebuah pendapat lain mengenai bai' muathah. Hal itu berangkat dari paradigma bahwa di dalam mazhab Syafi’i diperkenalkan kaidah adat bisa dijadikan sebagai hukum (al-’adatu al-muhakkamah).

 

Imam Nawawi menyatakan menerima aplikasi bai’ mu’athah disebabkan karena secara adat tidak pernah ada masyarakat yang dirugikan (dlarar) dan timbul perselisihan.

 

Masih dari kalangan ulama mazhab Syafi’i, Ibnu Suraij dan Imam al-Ruyani mengambil jalan tengah yaitu dengan berpendapat bahwa bai mu’athah diperbolehkan dengan pembatasan berupa status muhaqqarat (remeh)-nya objek transaksi dan tidak melibatkan barang berharga.

 

Yang menarik untuk kita bahas adalah Imam Nawawi beralasan bahwa bai’ mu’athah diperbolehkan karena ‘adat. Adat sendiri bermakna tindakan atau kebiasaan yang senantiasa terjadi berulang.

 

Dalam kasus lain, banyak teks fiqih yang juga menyatakan bahwa ujrah al-samsarah (upah) makelar ditanggung oleh pihak yang menyuruh.

 

Bila yang menyuruh adalah penjual, maka dia mendapatkan ujrah dari penjual. Bila yang menyuruh adalah pembeli, maka ujrahnya adalah diperoleh dari pembeli.

 

Namun, ada satu pendapat yang unik yang menyatakan bahwa ujrah samsarah ditetapkan menurut adat kebiasaan. Pendapat ini berlaku bila di tempat tersebut tidak ada adat yang berlaku, maka ujrah samsarah bisa dipungut dari penjual dan pembeli.

 

Singkat kata, adat atau kebiasaan yang berulang serta tsubut, bisa dijadikan sebagai dasar bagi ditetapkannya ujrah samsarah.

 

Software Otomatis dan Robotik

Sebagai benang merah dari kajian pada kesempatan kali ini, ada kesinambungan antara otomatis, lazim, dan adat. Ketiganya menunjukkan sebuah kebiasaan yang berulang dan berlangsung tsubut atau berpola tetap. Beberapa kebiasaan yang senantiasa berulang, dalam dunia modern sering dijadikan wahana untuk inovasi teknologi sebab bisa disederhanakan dalam bentuk rumus matematis.

 

Beberapa cabang ilmu ekonomi seringkali dihubungkan dengan rumus-rumus matematis. Misalnya adalah ekonometrika.

 

Rumus itu pada dasarnya adalah sama dengan kaidah yang menyatakan bahwa apa yang dirumuskan itu sebagai sesuatu yang memiliki pola tertentu dan bersifat lazim sehingga merupakan adat.

 

Karena faktor inilah maka beberapa praktik yang terjadi dalam dunia ekonomi dan perdagangan, ada yang bersifat bisanya untuk diotomatisasi dengan menggunakan software otomatis dan robotik.

 

Misalnya, perjalanan aliran kas keluar dan kas masuk, dapat dengan mudah diotomatisasi dengan menggunakan software khusus karena memenuhi unsur sebab-akibat di dalamnya. Logika yang dipergunakan adalah akibat ada aliran kas keluar, maka kas menjadi berkurang. Jika kas itu dibelikan barang, dan barang itu dijual, maka ada aliran kembali kas masuk yang disertai pertambahan laba.

 

Hal-hal semacam ini merupakan objek inovasi teknologi bagi penerapan otomatisasi berbasis software dan robotik.

 

Jika hal itu dikaitkan dengan server, input data server bisa di langsungkan di daerah, akan tetapi laporan secara umum bisa diterima oleh Sekretariat Kepresidenan atau kantor pusat sebuah perusahaan. Data bersifat real time dan tanpa manipulasi, sehingga berjalan sesuai dengan karakter software itu diciptakan.

 

Permasalahannya, bagaimana jika otomatisasi itu merambah ke dunia perdagangan digital (trading)? Apakah software otomatisi itu bisa dipergunakan untuk melakukan transaksi? Bagaimana bila objek otomatisasi itu berupa aset yang bersifat namma’ (produktif)?

 

Semua pertanyaan ini kiranya memerlukan jawaban yang berbasis pemikiran mendalam, dengan mempertimbangkan berbagai aspek kaidah yang berlaku serta keilmiahan. Sebab, otomatisasi adalah sebuah keniscayaan di era digital semacam ini.

 

Otomatisasi suatu alat dan software bisa diciptakan berdasarkan tujuan tertentu. Dan di dalam fiqih, terdapat kaidah masyhur yang berlaku, bahwa li al-wasaili hukm al-maqashid (media menempati derajat hukum tujuan ia diciptakan). Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

Muhammad Syamsudin, Direktur Lembaga Studi Akad Muamalah Syariah Indonesia (eL-Samsi) dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur