Syariah

Rasulullah dan Pengawasan terhadap Perdagangan dari Distorsi Pasar

Rab, 23 September 2020 | 15:45 WIB

Rasulullah dan Pengawasan terhadap Perdagangan dari Distorsi Pasar

Rasulullah tak hanya berhasil membangun dan mendirikan pasar di Madinah, tapi juga sangat perhatian terhadap pasar-pasar yang telah didirikan. (Ilustrasi: imagenesmy.com)

Sebagai sosok yang lahir di kabilah Quraisy, Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki bakat berdagang yang luar biasa. Islam mengakui kehebatan kaum Quraisy soal dagang ini dalam Al-Qur’an Surat  Al-Quraisy [106]: 1-4:

 

Karena kebiasaan-kebiasaan orang Quraisy, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas, maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah), yang telah memberi makan mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS Al-Quraisy [106]: 1-4).

 

Selain ayat di atas berisikan tentang penghargaan, ayat di atas juga memberitahukan bahwa para kabilah pedagang Arab ini senantiasa aman saat melintasi gurun-gurun pasir diakibatkan kedudukannya dalam menjaga Baitullah. Sebagaimana hal ini banyak dijelaskan oleh para mufassir dalam berbagai kitab tafsir mereka.

 

Perlu diketahui bahwa jarak perdagangan yang biasa ditempuh oleh para rombongan pedagang kabilah Quraisy ini sangat jauh, meliputi wilayah Yaman dan Negeri Syam. Selain rute yang jauh, wilayah-wilayah itu cenderung tidak aman bagi kabilah yang melintasinya. Namun, berbekal penjagaan reputasi sebagai penjaga Baitullah inilah, kemudian para perompak memiliki keseganan tersendiri terhadap kabilah Quraisy.

 

Jika ditilik dari sebab turunnya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu, bahwa  ayat tersebut menceritakan tentang kebiasaan Baginda Nabi untuk senantiasa melakukan kegiatan di pasar sehingga tidak terhenti pada aktivitas dakwah saja. Itulah sebabnya, para tokoh Quraisy mengutus beberapa pembesar Quraisy, seperti Utbah ibn Rabi’ah, Abu Sufyan ibn Harb, Al-Nadr ibn Haris, Abdu al-Buhtury, Umaah ibn Khalaf, al-’Ash ibn Wail, dan Munabah ibn Al-Hajjaj. Tujuan dari diutusnya beberapa pemuka itu adalah agar merayu Baginda Nabi dari meninggalkan aktivitas dakwahnya, dengan jaminan seluruh kebutuhan hidupnya akan dipenuhi.

 

Baginda Nabi menolak semua rayuan itu, sampai akhirnya turun QS Al-Furqan [25] ayat 20, yang mana Allah SWT berfirman:

 

وَمَآ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ ٱلْمُرْسَلِينَ إِلَّآ إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ ٱلطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِى ٱلْأَسْوَاقِ

 

Dan Kami tiada mengutus para utusan sebelum kamu (Muhammad), melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”  (QS Al-Furqan [25]: 20).

 

Ayat ini secara tidak langsung menegaskan tentang sikap Baginda Nabi pada dakwah dan sekaligus pada pasar. Bagaimanapun juga dakwah itu penting, namun menjaga pasar dalam porsinya sehingga terjadi keadillan dalam transaksi di dalamnya adalah juga bagian penting lainnya. Islam tidak hanya ajaran mengenai ritual peribadatan sehingga menyerupai institusi kependetaan (rahbaniyah), melainkan juga perlu praktik dalam tindakan. Bahkan, Nabi sendiri bersabda: “Tidak ada institusi kependetaan dalam Islam.

 

Puncaknya, beliau tak hanya berhasil membangun dan mendirikan pasar di Madinah, tapi juga sangat perhatian terhadap pasar-pasar yang telah didirikan. Beliau menyatakan bahwa yang menentukan harga di pasar adalah Allah subhanahu wata’ala. Tidak boleh ada pematokan harga di dalamnya. Tidak boleh ada monopoli dan pungutan liar. Bahkan kemudian Nabi melembagakan sebuah institusi yang diberi nama al-hisbah.

 

 

Berbagai kebijakan yang diterapkan oleh Baginda Nabi ini dirangkum secara apik oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, jilid 2 dalam bab Munkarati al-Aswaq, yang berisikan beberapa elemen tindakan yang dilarang untuk dipraktikkan di dalam pasar. Kita menyebutnya sebagai distorsi-distorsi pasar. Elemen-elemen utama dari munkarat al-aswaq (larangan-larangan dalam pasar) ini, antara lain sebagai berikut:

 

من المنكرات المعتادة في الأسواق الكذب في المرابحة وإخفاء العيب فمن قال اشتريت هذه السلعة مثلا بعشرة وأربح فيها كذا وكان كاذبا فهو فاسق وعلى من عرف ذلك أن يخبر المشتري بكذبه فإن سكت مراعاة لقلب البائع كان شريكا له في الخيانة وعصى بسكوته وكذا إذا علم به عيبا فيلزمه أن ينبه المشتري عليه وإلا كان راضيا بضياع مال أخيه المسلم وهو حرام وكذا التفاوت في الذراع والمكيال والميزان يجب على كل من عرفه تغييره بنفسه أو رفعه إلى الوالي حتى يغيره ومنها ترك الإيجاب والقبول والاكتفاء بالمعاطاة

 

"Di antara beberapa penyebab terjadinya distorsi pada pasar adalah (1) kebohongan dalam mencari keuntungan, menyembunyikan cacat. Barang siapa berkata Aku telah membeli barang ini seharga 10 (misalnya) dan aku hanya memungut laba sekian-sekian, padahal dalam hatinya ia sedang berbohong, maka tak urung ia adalah seorang fasiq. Wajib bagi pihak yang mengetahui untuk memberitahu kepada pembeli akan kebohongan penjual. Apabila ia mendiamkannya karena maksud menjaga hati pedagang, maka ia seolah telah menjadi bagian dari pedagang dalam hal khianatnya dan telah berlaku maksiat sebab diamnya. (2) Demikian halnya bagi pihak yang mengetahui ada aib yang disembunyikan atas suatu barang, maka wajib baginya mengingatkan pembeli akan hal itu. Jika tidak, maka ia sama saja dengan telah ridla dengan tersia-siakannya harta saudaranya yang Muslim, padahal hal itu haram. (3) Hal yang sama juga berlaku bila terjadi kecurangan pada ukuran, takaran, dan timbangan, maka wajib bagi seseorang untuk mengubahnya dengan kekuatannya, atau bila tidak, maka melaporkannya kepada petugas pasar sehingga mereka terjun mengubahnya. (4) Sebagian distorsi pasar yang lainnya adalah meninggalkan transaksi ijab dan qabul dan mengentengkannya dengan hanya berbekal transaksi mu’athah saja.”

 

 

Dari penjelasan tersebut, Imam al-Ghazali tampak menyinggung peran al-wali (petugas pasar). Al-wali ini merupakan peran dari al-hisbah (pengawasan), yang bila ditilik dari penjelasan di atas, maka yang bisa dipahami adalah bahwa dewan al-hisbah ini memiliki konteks peran utama terhadap pasar, yaitu: menjaga kegiatan-kegiatan ekonomi di pasar agar tetap berada dalam bingkai hukum, etika, sosial, dan ekonomi yang benar.

 

Peran al-hisbah ini di zaman Nabi dimainkan sendiri oleh beliau selaku al-muhtasib (pengawas). Beliau seringkali terjun ke pasar untuk melakukan inspeksi (operasi pasar) sehingga tidak ada transaksi yang menyalahi aturan. Wallahu a'lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur