Syariah

Proses Penetapan Ganti Rugi Menurut Hukum Islam (2-Habis)

Sel, 3 September 2019 | 15:00 WIB

Proses Penetapan Ganti Rugi Menurut Hukum Islam (2-Habis)

(Ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Adakalanya barang yang hendak diganti rugi memang tidak ditemui padanannya di pasaran. Sementara itu, perintah nash sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah [2]: 194 dan QS. Al-Syura [42]: 40 adalah mencari padanan tersebut. Lantas, bagaimana caranya menetapkan ganti rugi sebagai bentuk tanggung jawab pertanggungan risiko kerusakan? 
 
Pada tulisan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa proses penetapannya dapat dilakukan dengan jalan mengganti barang disebabkan karena sulit yang bersifat dlarurat. Kita fokus pada pembahasan makna sulit ini terlebih dahulu. Sulit itu bisa meliputi dua hal, yaitu adakalanya sulit yang bersifat haqiqi (hissi/materiil) dan adakalanya sulit bersifat hukmi (imateriil). 
 
Sulit yang bersifat materiil dalam ganti rugi ini, wujud keberadaan barang yang sulit ditemui di pasaran adalah disebabkan karena produsen sudah tidak memproduksi lagi, meskipun barang itu masih bisa dijumpai di rumahan. Misalnya, handphone Nokia 311. Barangnya masih bisa ditemui di rumahan, namun di pasaran, barang itu sudah tidak dijumpai lagi.
 
Adapun sulit yang berbangsa imateriil (hukmy), adalah merupakan kesulitan yang timbul akibat barang yang ada di pasaran, sebenarnya bisa ditemui. Akan tetapi harga barangnya sangat mahal sekali melebihi harga standar barang tersebut (tsaman al-mitsly). Kadangkala sulit yang berbangsa imateriil ini juga diakibatkan karena barang yang dirusakkan merupakan barang yang dilarang syariat untuk diperjualbelikan di kalangan muslim. Contoh misalnya adalah khamr. Khamr hukumnya haram bagi seorang muslim, akan tetapi tidak bagi kalangan non muslim. Keharaman khamr tidak hanya karena mengonsumsinya, melainkan juga menjualbelikannya. Nash syariat yang kuat adalah melarang muslim membeli khamr. Sementara itu ia butuh mendapatkannya sebagai pertanggungan risiko atas khamr yang dirusaknya dari seorang non muslim. Lantas bagaimana pertanggungjawabannya?  
 
Dalam kesempatan ini, Imam Abu Hanifah menjelaskan, bahwa bentuk pertanggungan kerugian itu diwujudkan dalam rupa nilai (harga jadi/qimah) meskipun ada kemungkinan menemukan barang serupa. 
 
وأما حكمي كأن لم يوجد إلا بأكثر من ثمن المثل أوكان العجز عن المثل شرعا بالنسبة للضامن كالخمر بالنسبة للمسلم يجب عليه للذمي عند الحنفية ضمان القيمة وإن كانت الخمر من المثليات, لأنه يحرم عليه تملكها بالشراء كما هو معروف
 
Artinya: “Sulit yang berbangsa imateriil itu seperti tidak ditemukannya barang kecuali dengan harga yang lebih mahal dibanding dengan harga standar pasarannya, atau sulit mewujudkan padanan barang yang dirusakkan karena syara’, khususnya bila dihubungkan dengan pihak pelaku yang dikenai tempuh risiko. Misalnya khamr bila dikaitkan dengan seorang muslim. Dalam hal ini wajib baginya atas khamr milik seorang dzimmy, menurut ulama’ hanafiyah adalah menunaikannya dalam rupa qimah (harga barang), meskipun dimungkinkan baginya mendapati khamr serupa, karena khamr adalah yang diharamkan bagi muslim untuk memilikinya, meskipun dengan cara membeli, sebagaimana hal ini sudah umum berlaku bagi muslim.” (Al-Zuhaili, Nadlariyatu al-Dlamman aw Ahkam al-Mas-uliyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqh al-Islamy, Damaskus: Dar al-Fikr, 1998: 87)
 
Dengan menimbang pada dua model sulitnya mengupayakan barang di atas sebagai bentuk tanggung jawab risiko kerugian, maka para ulama menggariskan ketentuan bahwa risiko berupa penggantian barang dengan merujuk pada “nilai/harga produksi”-barang, dapat berlaku bilamana ditemui tiga syarat berikut pada barang yang dirusakkan, yaitu:
 
3. Bila barang yang rusak merupakan barang yang bukan kategori dapat dijumpai padanannya di pasaran, seperti misalnya hewan, rumah, atau barang tertentu yang dicetak/diproduksi/dimodifikasi. 
 
Bagaimanapun juga, hewan, rumah atau barang modifikasi, merupakan barang yang tidak dapat ditemui di pasaran. Oleh karena itu, teknik pertanggungan risikonya adalah mengganti bea produksinya. 
 
4. Bila barang yang rusak merupakan barang hasil percampuran dua atau lebih dengan barang lainnya yang tidak sejenis. Misalnya campuran dari beras, jagung dan bekatul untuk makanan hewan. Kerusakan yang terjadi padanya hendaknya diperkirakan menurut kadar harga barang campuran tersebut. 
 
5. Bila barang yang rusak merupakan barang yang sulit diwujudkan karena mewujudkannya dapat melanggar syara’ bagi pihak penanggung, sebagaimana telah disampaikan dalam kasus khamr di atas. Dalam kondisi seperti ini, maka pihak penanggung risiko dibolehkan untuk mempertanggungjawabkannya menurut kadar nilai produksinya
 
Dengan demikian, kesimpulan yang bisa diambil dari penjelasan materi ini adalah bahwa ketetapan dasar bagi berlakunya pertanggungan risiko sehingga wajib berlaku atas pihak yang telah merusakkan barang dengan cara (1) mengganti barang atau  (2) mengganti rugi nilai produksi barang, dapat ditentukan menurut hierarki pertanggungan risiko sebagai berikut: 
 
1. mengupayakan hilangnya kerugian berupa materi, seperti memperbaiki tembok yang rusak, mengembalikan khamr yang digasab selagi masih ada, khususnya bagi seorang muslim. Khusus untuk khamr, illat wajib mengembalikan berupa barang selagi barang masih ada ini, menurut kalangan Hanafiyah adalah sebab kadangkala khamr bisa dirubah menjadi cuka
 
2. Memaksa pihak yang merusakkan untuk mengembalikan barang dalam kondisi utuh. Hal ini berlaku bila barang tersebut rusak akibat pecah dan semacamnya. 
 
3. Bila ditemui adanya kesulitan untuk mengembalikan barang yang dirusakkan, atau yang dighashab, maka wajib atas pihak yang merusakkan untuk mengganti rugi barang dalam bentuk uang yang disesuaikan menurut: a) bisa senilai harga standar barang di pasaran (ta’widl nuqudy) atau b) bisa senilai harga produksi  barang (ta’widl mitsly). Kedua bentuk ganti rugi ini dikenakan dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan jenis barang yang dirusakkan. 
 
Kedua model penetapan ganti rugi terakhir ini nampaknya memiliki kesesuaian dengan hukum positif. Kerugian di dalam hukum positif, biasanya diberlakukan ganti ruginya berdasar dua hal, yaitu: 1) ganti rugi materiil (ta’widl ‘ainy) dan 2) ganti rugi yang disesuaikan (imateriil). 
 
Ganti rugi materiil umumnya diberlakukan atas kerusakan yang timbul terhadap barang yang sulit ditemukan di pasaran atau langka ditemui padanannya, atau juga pada barang yang mudah ditemui di pasaran akibat keteledoran (taqshiriyah) tertentu dalam penggunaan. Barang dengan mudah dapat ditetapkan besaran ganti ruginya. Kadang bentuk pertanggungjawaban dengan hanya mengembalikan barang pada kondisi semula. Contoh: memperbaiki mobil yang rusak. Bea memperbaiki dapat dengan mudah ditetapkan besaran nilainya. Bila barang rusak total, maka dapat dicarikan ganti nilainya baik berupa barang atau uang kontan. 
 
Ganti rugi yang disesuaikan/imateriil (ta’widl muqabil), umumnya diberlakukan atas kerugian yang timbul pada sesuatu yang tidak bisa dihitung dengan nilai. Seperti misalnya meracuni sumur, atau menuduh zina sehingga berakibat pada terisolasinya tertuduh dari pertemanan atau tempat kerja. Bentuk macam ganti rugi terhadap kejadian-kejadian yang berlangsung sebagaimana gambaran terakhir umumnya dilakukan menurut perkiraan materi (muqabil). Wallahu a’lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur