Syariah

Penyebab Langsung dan Tak Langsung: Siapa yang Mesti Ganti Rugi?

Rab, 21 Agustus 2019 | 16:15 WIB

Penyebab Langsung dan Tak Langsung: Siapa yang Mesti Ganti Rugi?

(Ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Sebagaimana kita tahu bahwa dampak kerugian akibat aktivitas pihak lain bisa kita kenal sebagai dampak langsung (mubâsyaratan) dan tidak langsung (tasabbubiyatan). Setiap dampak merugikan, mewajibkan pertanggungan risiko (ganti rugi/dlammân). Sifat dari ganti rugi ini tidak mesti berbentuk harta, akan tetapi bisa juga dibayarkan lewat aktivitas  sosial kemasyarakatan.
 
Contoh: bagaimanapun juga, dalam akad perbankan, telah dikenal adanya sosok akad fâsid yasîr, yaitu rusaknya akad akibat menyimpang dari ketentuan syariat, tapi hal itu sangat kecil nilai mafsadahnya dibanding maslahahnya. Namun, meskipun kecil mafsadah itu terjadi, tetap ia menuntut pertanggungan risiko secara syariat, karena memiliki hubungan dengan masyarakat. Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
 
اتق الله حيث ماكنت وأتبع السيئة الحسنة تمحوها وخالق الناس بخلق حسن
 
Artinya: "Takutlah kalian kepada Allah. Iringilah perbuatan buruk kalian dengan perbuatan baik sebagai peleburnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik."
 
Sekilas bahwa perintah kedua di atas menyiratkan bahwa yang dinamakan tindakan/kebijakan, selalu memiliki dampak buruk, besar atau kecil dampak tersebut disampaikan. Apalagi bila kebijakan itu disampaikan secara revolusioner, maka dampak itu pasti sangat akan terasa, apalagi oleh pihak yang kontra. Nah, dampak buruk ini bagaimanapun juga tetap menghendaki pelebur, berupa pertanggungan risiko (dlamman). 
 
Nah, masalahnya adalah tidak setiap risiko bisa dipertanggungjawabkan secara penuh, karena mencermati model dampaknya. Saat ini kita ulas khusus mengenai dampak langsung itu. 
 
Yang dimaksud dengan dampak langsung dalam syariat adalah sebagai berikut:
 
المباشر هو أن يحصل التلف بفعله من غير أن يتخلل بين فعله والتلف فعل مختار
 
Artinya: “Dampak langsung: adalah suatu dampak yang dapat menimbulkan kerugian disebabkan karena perbuatan tanpa adanya waktu sela antara perbuatan dan kerusakan sebuah perbuatan lain yang mungkin masuk di antara keduanya.” (Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlammân awa Ahkâm al-Masûliyyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhy al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 32).
 
Pada dasarnya, setiap perbuatan tetap mengikut pada hubungan sebab akibat. Yang membedakan antara dampak langsung dan tidak langsung adalah adanya waktu jeda sehingga memungkinkan masuknya perbuatan lain yang mungkin juga menjadi sebab. Dalam dampak langsung ini, kemungkinan waktu sela ditiadakan. Suatu misal ada sebuah sangkar burung dengan burung yang ada di dalamnya. Ketika sangkar burung dibuka, tiba-tiba burung yang ada di dalamnya langsung terbang, maka tindakan membuka sangkar burung ini merupakan dampak langsung. Pihak yang wajib berlaku dlamman (penanggung jawab risiko) atasnya adalah pihak yang membuka sangkar. 
 
Lain halnya bila ada jeda waktu antara membuka dan terbangnya burung. Setelah sangkar dibuka, ternyata ada jeda waktu tersisa burung itu diam, lalu dengan tiba-tiba, ada pihak lain yang mengguncangnya, maka pihak yang mengguncang adalah berperan selaku penanggung jawab risiko terbangnya burung, dan bukan ia yang membuka pintu sangkar. Guncangan adalah masuk kategori fi’lun mukhtar (perbuatan lain yang menjadi sebab utama terbangnya burung). Pendapat sebagaimana disebutkan di atas ini adalah pendapat kalangan Syafi’iyah.
 
 
قال الشافعية: من فتح قفصا على طائر وهيجه فطار في الحال ضمنه لأنه ألجأه إلى الفرار وإن اقتصر على الفتح فالأظهر أنه إن طار في الحال ضمنه لأن طيرانه في الحال يشعر بتنفيره وإن وقف ثم طار فلا يضمنه لأن طيرانه بعد الوقوف يشعر باختياره 
 
Artinya: “Barangsiapa membuka sangkar burung dan mengguncangnya, lalu burung tersebut terbang seketika, maka ia yang wajib menanggung risiko terbangnya, karena sesungguhnya membuka dan mengguncang merupakan penyebab dari larinya burung dari sangkar. Namun, bila hanya berhenti pada sekadar membuka saja, maka menurut pendapat yang paling sesuai dengan nash adalah diperinci, yaitu bila seketika itu juga burung lepas dari sangkar, maka ia wajib menanggung risiko kerugian, karena terbangnya burung seketika itu juga adalah terjadi karena sebab pemberian jalan untuk larinya. Akan tetapi bila setelah dibuka ternyata si burung itu diam (tidak terbang seketika), maka pelaku tidak menanggung risiko kerugian disebabkan karena lepasnya burung setelah berhenti memungkinkan masuknya unsur lain yang menyebabkan larinya.” (Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlammân awa Ahkâm al-Masûliyyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhy al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 33)
 
Sekali lagi, bahwa pendapat terakhir merupakan pendapat yang paling sesuai dengan mencermati bunyi teks nash (qaul adhar) tentang siapa yang berhak untuk menanggung kerugian. Sudah pasti pendapat di atas, mendapatkan pembanding dari pendapat lain, khususnya dari kalangan fuqaha’ pengikut mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali. Imam Malik menyebut bahwa:
 
سواء فعل ذلك كله عمدا أو خطاء
 
Artinya: “Baik  perbuatan itu dilakukan secara sengaja atau tidak (pelaku yang membuka tetap wajib menanggungnya).” (Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlammân awa Ahkâm al-Masûliyyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhy al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 33)
 
Maksudnya adalah lepasnya burung yang memiliki rentetan sebab larinya adalah mencakup unsur kesengajaan karena diberi peluang untuk lari atau tidak, tetap pelaku yang membuka wajib untuk menanggungnya. Menurut Imam Malik, sebab langsung itu tidak harus melulu karena unsur kesengajaan, melainkan juga unsur ketidaksengajaan. Secara adat, dibukanya pintu sangkar adalah sebab utama lepasnya burung. 
 
Contoh lain misalnya ada sebuah perahu yang ditambatkan di dermaga saat angin kencang dan gelombang. Ketika ada seseorang melepaskan tambatan perahu itu, lalu tiba-tiba perahu tenggelam, maka benar bahwa tenggelamnya perahu merupakan akibat dari dibukanya tali tambatan. Dengan demikian, pihak yang melepaskan tambatan, wajib menanggung risiko kerugian. Untuk pendapat ini, semua ulama dari kalangan fiqih empat mazhab sepakat. 
 
Lain halnya bila tenggelamnya perahu ternyata masih membutuhkan jeda selang waktu beberapa lama. Menurut kalangan Syafiiyah, jeda ini memungkinkan masuknya unsur lain yang menjadi penyebab, yaitu: (1) mungkin karena angin, (2) mungkin karena gelombang, atau (3) mungkin ada orang lain yang telah menyebabkannya tenggelam. Masuknya ketiga unsur ini merupakan faktor lain penyebab itlâf (rusak).
 
Namun demikian, pendapat ini tidak bisa diterima oleh kalangan fuqaha Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Menurut mereka, meskipun ketiga faktor di atas bisa menjadi penyebab munculnya unsur muhlikât (penyebab rusak), akan tetapi lepasnya tali merupakan yang lebih unggul disebabkan unsur adat (peraturan umum). Secara adat memang bahwa tali kapal memiliki fungsi utama sebagai penahan agar perahu tidak mengalami guncangan hebat saat dihantam gelombang atau angin sehingga terhindar dari tenggelam. Jadi, tindakan melepaskan tali, baik karena unsur kesengajaan ingin menenggelamkan atau tidak sengaja ingin menenggelamkan, dan meskipun ada jeda waktu, menurut kalangan selain Syafiiyah, tetap dianggap sebagai sebab langsung dan mewajibkan pertanggungan risiko (dlamman). Namun, pendapat ini tidak diterima di kalangan Syafiiyah.
 
Walhasil, penyebab langsung tidak mesti selalu berwujud material melainkan juga berwujud imaterial. Wujud imaterial ini bisa dinilai berdasarkan adat/tradisi yang berlaku di lingkungannya. Adapun kerugian material, kadang bisa dirasakan dengan melihat relasi antara dampak dan penyebab. Jika ada jeda waktu, maka membuka tali merupakan keran utama berlakunya pertanggungan risiko. Wallahu a’lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekoomi Syariah –Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur