Syariah

Marak Money Game, Siapa Wajib Menanggung Kerugian Konsumen?

Kam, 20 Februari 2020 | 12:45 WIB

Marak Money Game, Siapa Wajib Menanggung Kerugian Konsumen?

(Ilustrasi: NU Online)

Ada beberapa kondisi yang melatarbelakangi seseorang yang menjadi penyebab langsung suatu perkara namun ia tidak wajib membayar ganti rugi. Kerugian justru wajib ditanggung hanya oleh dia yang penyebab tidak langsung. Nah, aneh, bukan? Tidak aneh sih, kalau kita mahu mencermatinya.

 

Perlu diketahui, bahwa dalam fiqih pertanggungjawaban terhadap risiko kerugian (dlaman), ada dua pihak yang senantiasa dihadapkan pada wajib atau tidaknya ia berlaku sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kerugian. Keduanya adalah, pihak langsung yang dikenal dengan istilah mubasyir, dan pihak tidak langsung yang dikenal sebagai mutasabbib.

 

Dalam kondisi tertentu, memang adakalanya pihak penyebab tidak langsung kerugian adalah yang berlaku sebagai pihak yang wajib bertanggung jawab terhadap risiko kerugian. Dalam kondisi ini, tidak berlaku kaidah yang mensyaratkan taqdim al-mubasyir ‘ala al-mutasabbib, yaitu mendahulukan penyebab langsung dibanding penyebab tidak langsung, karena berbagai pertimbangan asal-muasal timbulnya kerugian itu.

 

 

Berapa besarnya pertanggungan risiko kerugian (risks) itu harus dibayarkan? Ya, sudah tentu menyesuaikan dengan realitas di lapangan.

 

Contoh pertama, ada seseorang memukul seekor hewan yang ditunggangi oleh orang lain. Akibat dari pukulan itu, hewan tersebut lari lalu menyeruduk orang lain sehingga terluka atau menyebabkan kematian. Apakah pemukulnya wajib dikenai ganti rugi ataukah penunggang hewan itu? Jawabnya, sudah pasti pihak pemukul itu yang wajib menanggung kerugian. Adapun pihak penunggangnya, meski ia secara langsung berada di atas hewan yang ditungganginya, ia tidak wajib menanggung risiko kerugian yang ditimbulkan. Illatnya apa? Ini yang menarik dibahas. Mencari illat wajibnya ganti rugi itu.

 

Dalam kasus lain, yang hampir serupa tentunya, ada orang lain memanggil-manggil hewan unggas milik tetangganya, sehingga hewan tersebut datang dan masuk ke ladang orang lain yang di situ ada sebuah pembenihan. Siapakah yang wajib menanggung kerugian? Apakah pemilik hewan yang secara langsung memiliki hubungan kepemilikan dengan unggas, ataukah pihak yang mengundangnya, meski ia tidak memiliki kaitan langsung dengan unggas tersebut? Jawabnya, sudah pasti pihak yang wajjib menanggung kerugian, adalah pihak yang mengundang unggas akibat ulahnya mengundang hewan ke dekat ladang orang lain. Lagi-lagi, permasalahannya adalah: illat-nya apa?

 

Illat itu adalah alibi bagi diberlakukannya hukum, dalam hal ini adalah wajibnya ganti rugi (dlamman). Di dalam syariat, semua bentuk pertanggungan risiko kerugian adalah selalu dihubungkan dengan pihak yang telah berlaku melampaui batas (muta’addin). Siapa yang sudah berlaku melampaui batas kenormalan (muta’addin) atau batas kewajaran (i’tida’), maka ia adalah pihak yang harus menjadi penanggung risiko kerugian itu.

 

Dalam kasus di atas, pihak yang berlaku sebagai muta’addin adalah pihak pemukul hewan dan pengundang unggas. Keduanya telah melakukan di luar batas kewajaran (i’tida). Karena ulah mereka lah, akhirnya timbul kerugian lewat tangan atau harta benda milik orang lain. Hal ini dengan mengambil teladan dari kasus yang pernah disampaikan oleh beberapa ulama dari kalangan Mazhab Syafi’i, sebagai berikut:

 

قال الشافعية: من فتح قفصا على طائر وهيجه فطار في الحال ضمنه لأنه ألجأه إلى الفرار وإن اقتصر على الفتح فالأظهر أنه إن طار في الحال ضمنه لأن طيرانه في الحال يشعر بتنفيره وإن وقف ثم طار فلا يضمنه لأن طيرانه بعد الوقوف يشعر باختياره

 

Artinya: “Barangsiapa membuka sangkar burung dan mengguncangnya, lalu burung tersebut terbang seketika, maka ia yang wajib menanggung risiko terbangnya, karena sesungguhnya membuka dan mengguncang merupakan penyebab dari larinya burung dari sangkar. Namun, bila hanya berhenti pada sekadar membuka saja, maka menurut pendapat yang paling sesuai dengan nash adalah diperinci, yaitu bila seketika itu juga burung lepas dari sangkar, maka ia wajib menanggung risiko kerugian, karena terbangnya burung seketika itu juga adalah terjadi karena sebab pemberian jalan untuk larinya. Akan tetapi bila setelah dibuka ternyata si burung itu diam (tidak terbang seketika), maka pelaku tidak menanggung risiko kerugian disebabkan karena lepasnya burung setelah berhenti memungkinkan masuknya unsur lain yang menyebabkan larinya.” (Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlammân awa Ahkâm al-Masûliyyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhy al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 33)

 

Selanjutnya, dialektika fiqih kemudian berkembang ketika dikaitkan dengan sifat tasalsuli al-idlrar, yaitu efek berantai dari kerugian yang ditimbulkan. Efek berantai umumnya sering dikaitkan dengan antara waktu tindakan pemukulan dengan lama waktunya terjadi kasus yang merugikan. Pada kasus unggas di atas, efek berantai itu berarti mempertimbangkan jeda waktu antara tindakan mengundang unggas dengan waktu terjadinya kerugian.

 

 

Para ulama’, seperti Syeikh Wahbah Al-Zuhaily, salah seorang ulama dari Universitas Al-Azhar bermazhab Syafii, menyatakan wajibnya unsur fauriyah, yaitu sifat segeranya kerugian itu terjadi terhadap tindakan di luar batas kenormalan atau kewajaran itu. Jika kerugian itu timbul “segera”, maka pihak pelaku yang melampaui batas itu wajib menanggung segala resiko kerugian. Namun, bila ada jeda waktu yang dirasa cukup lama (menurut konteks normalnya) sehingga memungkinkan masuknya penyebab lain yang barang kali timbul, maka pihak pemukul dan pengundang itu tidak berhak atas pertanggungan risiko kerugian. Alhasil, sifat fauriyah (kesegeraan) ini adalah bersifat relatif sebagai konsekuensi menimbang konteks masalah dari sisi kewajarannya.

 

Dua contoh kasus di atas, sebenarnya bisa dipergunakan untuk memutuskan kerugian seperti pada kasus money game atau kasus-kasus lain yang serupa dengan money game, misalnya seperti kasus MLM berbungkus Money Game. Jika, dalam kondisi, seorang marketing money game sudah pernah mendengar keputusan bahwa money game adalah haram dan tahu konsekuensi hukum positifnya juga dilarang, namun ia nekad memasarkan money game tersebut ke masyarakat, maka pihak marketing tersebut (dalam konteks fiqih), ia berlaku sebagai penyebab kerugian secara langsung terhadap member downline-nya. Untuk itu ia berlaku sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan. Sekali lagi ini menurut kaidah fiqih dlaman, yaitu fiqih pertanggungan risiko kerugian.

 

Lain lagi ceritanya, bila pihak marketing money game itu belum pernah mendengar sama sekali keputusan hukum keharaman money game atau dilarangnya money game itu dilakukan menurut hukum positif atau tidak mengetahui bahwa pola yang dilakukan adalah money game. Maka, sepenuhnya risiko kerugian adalah menjadi bagian dari tanggung jawab pihak inisiator money game, meskipun ia tidak menjadi penyebab langsung dari kerugian terhadap konsumen, namun dialah aktor utama di balik semua kerugian konsumennya. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur