Syariah

Jual Beli Produk Inden dalam Kajian Fiqih Muamalah

Ahad, 11 Juli 2021 | 08:00 WIB

Jual Beli Produk Inden dalam Kajian Fiqih Muamalah

Illat larangan yang terdapat dalam hadits di atas adalah berkaitan dengan jual beli sesuatu yang tidak bisa di-qabdh (dikuasai)

Asal dari judul ini adalah karena ada sabda Rasulullah SAW tentang larangan jual beli produk yang ada di sisi. Padahal, praktik jual beli dengan akad salam (order/inden), adalah meniscayakan barang yang dijual, adalah belum ada di sisi pembeli. Lantas, bagaimana cara kita memaknai sabda Rasulullah SAW itu dari sisi fiqihnya?


Sudah barang tentu, dalam hal ini kita akan fokus pada diialektika pencarian illat. Sebab, bagaimanapun juga, berlaku kaidah masyhur bahwa alhukmu yaduru ma’a ‘illatiha wujudan wa ‘adaman (hukum itu senantiasa berjalan beserta illatnya, baik ada atau tidak adanya hukum). Inilah fokus kajian kita pada kesempatan tulisan kali ini.


Bunyi Hadits Larangan Jual Beli Barang yang Tidak Ada di Sisi

Dalam sebuah hadits dengan sanad dari Hakim bin Hizam, Rasulullah SAW bersabda:


سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت:يأتيني الرجل فيسألني من البيع ما ليس عندي،أبتاع له من السوق ثم أبيعه؟ قال:لا تبع ما ليس عندك) رواه الترمذي وقال حديث حسن صحيح . ورواه أبو داود والنسائي وابن ماجة


Artinya, "(Suatu ketika) Aku menghadap Rasulullah SAW dan bertanya: ‘Ada seseorang mendatangiku dan menanyakan tentang jual beli barang yang belum ada di sisiku. Aku akan membelinya dari pasar kemudian menjual barang itu kepadanya?’ Lalu beliau menjawab, ‘Jangan kamu menjual sesuatu yang belum ada di sisimu!’ (HR Al-Tirmidzi). Ia menyebut hadits hasan shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Nasai, dan Ibnu Majah.”


Hadits-hadits dengan bunyi sejenis juga banyak kita jumpai. Seluruhnya menyampaikan pesan secara zhahir adanya larangan jual beli barang yang tidak ada di sisi. Selanjutnya kita beralih pada pembahasan sejauh mana hadits tersebut berlaku dan tentu saja kita perlu memperjelas batasan-batasan penggunaan dalil. Sebab, ada akad salam yang menjadi bagian dari yang dikecualikan (mustatsnayat) oleh syariat.


Ragam Pemaknaan Hadits oleh Para Ulama 

Ada sejumlah pemaknaan terhadap hadits di atas oleh para ulama berkaitan dengan illat larangan hukum jual beli sesuatu yang belum ada di sisi (bay’u ma laysa ‘indaka).


Imam As-Syaukany di dalam Naylul Authar menyampaikan bahwa dalil di atas adalah bersifat umum sehingga tidak semua barang yang belum ada di sisi adalah sebagai yang dilarang untuk dijualbelikan. Sebagai buktinya adalah pelegalan akad salam sebagai yang dikecualikan dari dalil tersebut karena ada dalil lain yang bersifat mentakhshishnya.


Alhasil illat larangan yang dimuat dalam hadits di atas adalah bukan semata karena barang yang dijual tidak ada di sisi penjualnya melainkan barang itu bukan milik penjual, atau barang itu tidak diketahui kadarnya. Layaknya jual beli barang yang majhul, dilarang karena illat jahalah.


وظاهر النهي تحريم ما لم يكن في ملك الإنسان، ولا داخلاً تحت مقدرته ، وقد استثني من ذلك السَّلم،فتكون أدلة جوازه مخصصة لهذا العموم


Artinya, "Zhahir larangan (hadits di atas) adalah bermakna keharaman jual beli barang yang belum dimiliki oleh seorang insan, serta jual beli sesuatu yang tidak bisa dipastikan kadarnya. Akan tetapi ada pengecualian terhadap jual beli salam karena adanya beberapa dalil yang membolehkannya serta men-takhshish terhadap bunyi nash larangan yang bersifat umum tersebut,” (Naylul Authar, halaman 175).


Pendapat yang senada dengan As-Syaukany di atas juga disampaikan oleh Syekh Abu Al-Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri, di dalam Kitab Tuhfatul Ahwadzy Syarah Sunan At-Tirmidzy. Tetapi, dalam pendapat ini, Al-Mubarakfury hanya berhenti pada menunjukkan sisi keharamannya, tanpa memerinci terhadap akad salam. Meski demikian, illat larangan itu dapat ditangkap sebagai tidak diketahui kadar barang (jahalah). Ia menyampaikan:


وفي قوله صلى الله عليه وسلم :( لا تبع ما ليس عندك ) دليلٌ على تحريم بيع ما ليس في ملك الإنسان، ولا داخلاً تحت قدرته


Artinya, "Sabda Nabi SAW (jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada di sisimu) berlaku sebagai dalil atas keharaman jual beli sesuatu yang tidak dimiliki oleh seorang manusia dan belum bisa ditentukan kadarnya,” (Tuhfatul Ahwadzy Syarah Sunan At-Tirmidzy, juz IV, halaman 360).


Syekh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asyqalany menyampaikan bahwa hadits di atas memiliki dua pemaknaan illat larangan. Dengan menukil pandangan dari Ibnu Mundzir, Al-Hafizh Ibnu Hajar menyampaikan kedua illat larangan tersebut sebagai berikut:


• Illat larangan dalam hadits tersebut adalah melakukan praktik jual beli gharar, yaitu jual beli sesuatu yang tidak pasti dimiliki oleh seseorang.


• Illat larangan dalam hadits tersebut adalah karena barang yang dijadikan obyek transaksi (ma’qud ‘alaih) belum menjadi milik sepenuhnya dari pihak penjual. Di sisi lain, pihak penjual juga tidak menjadi wakil dari pemilik barang.


Dalam hal ini, Syekh Ibnu Hajar condong pada pemaknaan illat yang kedua ini sehingga larangan yang berlaku dalam hadits adalah karena barang yang dijual belum dimiliki oleh penjualnya, dan secara mafhum karena pihak penjual tidak menjadi wakil dari pemilik barang yang sebenarnya.


وبيع ما ليس عندك، يحتمل معنيين أحدهما:أن يقول: أبيعك عبداً أو داراً معينة وهي غائبةٌ،في شبه بيع الغرر لاحتمال أن تتلف أو لا يرضاها.وثانيهما:أن يقول:هذه الدار بكذا على أن أشتريها لك من صاحبها أو على أن يسلمها لك صاحبها،وقصة حكيم موافقة للاحتمال الثاني


Artinya: “(Larangan) jual beli sesuatu yang tidak ada di sisimu, dalil ini memuat dua makna sekaligus, yaitu: Pertama, jika seseorang berkata, ‘Aku menjual ke kamu seorang budak atau sebuah rumah X (dengan disebutkan secara mu’ayyan). Namun, Si budak yang dijual atau rumah yang dilelang tersebut ghaib. Oleh karenanya diserupakan dengan jual beli barang yang tidak pasti (bay’ul gharar) sebab memungkinkan untuk rusaknya, atau tidak diridlainya barang untuk dijual. Kedua, seperti perkataan seseorang: Aku hargai rumah ini sekian-sekian, dengan syarat aku membeli rumah ini kepadamu, dan kamu dari pemiliknya langsung, atau dengan syarat jika rumah itu diserahkan padamu oleh pemiliknya. Kisah hakim di atas, sepertinya mirip dengan makna kedua ini.” (Fathul Bari, juz IV, halaman 441).


Pandangan lain disampaikan oleh Ibnu Rusyd Al-Maliky. Ia mengatakan, illat larangan yang terdapat dalam hadits di atas adalah berkaitan dengan jual beli sesuatu yang tidak bisa di-qabdh (dikuasai). Ia menyampaikan:


فيما يشترط فيه القبض من المبيعات


Artinya, "Hadits itu berbicara mengenai jual beli yang disyaratkan melakukan qabdhu terhadap obyek yang ditransaksikan.” (Bidayatul Mujtahid, juz II, halaman 117).


Lebih lanjut ia memerinci sebagai berikut:


وأما بيع ما سوى الطعام قبل القبض،فلا خلاف في مذهب مالك في إجازته، وأما الطعام الربوي فلا خلاف في مذهبه أن القبض شرطٌ في بيعه. وأما غير الربوي من الطعام، فعنه في ذلك روايتان :إحداهما: المنع وهي الأشهر، وبها قال أحمد وأبو ثور، إلا أنهما اشترطا مع الطعام الكيل والوزن. والرواية الأخرى:الجواز.وأما أبو حنيفة فالقبض عنده شرطٌ في كل بيع ما عدا المبيعات التي لا تنتقل ولا تُحَول من الدور والعقار.وأما الشافعي فإن القبض عنده شرطٌ في كل مبيع، وبه قال الثوري


Artinya, “Adapun jual beli sesuatu sebelum di qabdlu untuk selain makanan, maka terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum kebolehannya dalam Mazhab Imam Malik. Bilamana bahan makanan yang dijual adalah dari kelompok barang ribawi, maka tidak ada khilaf dalam mazhab tersebut bahwasanya qabdh adalah syarat utama dalam sahnya jual beli. Adapun bila bahan makanan itu bukan kelompok barang ribawi, maka ada dua riwayat, yaitu: pertama, dilarang dan ini adalah pendapat yang paling masyhur. Pendapat ini juga disampaikan oleh Imam Ahmad, Abu Tsaur, akan disertai dengan catatan bila bahan makanan tersebut berasal dari kelompok yang ditakar dan ditimbang. Riwayat kedua menyatakan hukumnya adalah boleh. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, qabdh adalah syarat utama bagi sahnya semua praktik jual beli kecuali terhadap obyeknya terdiri dari barang tak bergerak seperti rumah dan kebun. Sementara menurut pendapat Imam Syafi’i, qabdhu adalah syarat utama bagi setiap mabi’ (barang yang ditransaksikan), dan pendapat ini mendapat dukungan dari pendapat Syekh Tsaury.” (Bidayatul Mujtahid, II/117).


Alhasil berdasar pernyataan ini, dalam pandangan Ibnu Rusyd al-Maliky, hadits yang menyatakan larangan jual beli yang belum ada di sisi berkaitan dengan dapat atau tidaknya barang untuk di-qabdhu oleh pembeli. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membagi hukum larangan tersebut berdasarkan kategori barang dari sisi wajib qabdhu antara lain:

• Bila obyek barang itu terdiri dari bahan makanan ribawi yang bisa ditakar, ditimbang, dan dihitung, maka wajib qabdhu. Alhasil, jual beli bahan makanan dari kelompok ini adalah tidak sah jika barang tidak ada di sisi penjualnya sebab tidak bisanya diqabdhu.


• Untuk obyek bahan makanan tidak masuk kelompok yang bisa ditakar, ditimbang, dan dihitung, maka hukum menjualbelikannya adalah boleh secara mutlak, meskipun barang itu belum ada di sisi pembeli, asalkan sudah dimiliki.


• Larangan menjualbelikan aset bergerak yang bisa diqabdhu, namun barangnya tidak ada di sisi pembeli dan tidak dimiliki.


• Boleh jual beli aset tak bergerak yang terdiri atas kebun dan rumah meski barangnya tidak ada di sisi, asalkan sudah dimiliki.


Penyimpulan ini adalah wajar dalam versi Ibnu Rusyd mengingat ia bermazhab Maliki. Benang merah yang bisa kita ambil dari pendapat tersebut adalah bahwa konteks larangan jual beli barang yang belum ada di sisi disebabkan karena illat tidak bisa diqabdhunya barang dan tidak dimilikinya barang oleh pihak penjual.


Simpulan

Dengan mencermati seluruh pendapat ulama di atas, simpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa:


• Hadits larangan jual beli barang yang belum ada di sisi merupakan dalil ‘am sehingga berlaku sebagai keumuman dalil.


• Tidak semua transaksi terhadap barang yang belum ada di sisi dilarang oleh syara’. Transaksi yang dilarang bilamana di dalam transaksi tersebut terdapat illat gharar, jahalah, dan jual beli barang yang tidak mungkin terjadi pindah kepemilikan. Sebagai buktinya adalah semua mazhab membolehkan transaksi salam, dengan batasan bisanya barang diserahkan (imkanut taslim), bisanya dipindahkuasakan (imkanul qabdh) dan bisanya terjadi pindah kepemilikan (tamlik).


• Dalam mazhab maliki, kelompok bahan makanan dari jenis barang ribawi (dapat ditakar, dihitung dan ditimbang), tidak boleh dijualbelikan tanpa bisanya qabdhu secara hakiki. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jatim