Syariah

Fiqih Bencana: CSR sebagai Tanggung Jawab Sosial Perbankan

Sen, 14 Januari 2019 | 05:00 WIB

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan suatu program yang berisikan respons tanggung jawab sosial sebuah perusahaan. CSR merupakan salah satu varian komponen yang harus dimiliki oleh sebuah perusahaan agar ia termasuk kelompok Good Corporate Governance (GCG), yaitu perusahaan dengan manajemen perusahaan berskala baik. Buruk dalam mengelola CSR, maka perusahaan tidak bisa disebut sebagai perusahaan dengan manajerial yang baik. 

Empat unsur penyusun GCG, yaitu kejujuran (fairness), transparansi (transperancy), akuntabilitas (accountability) dan tanggung jawab (responsibility). Tiga prinsip pertama berhubungan dengan kepentingan pertama pemegang saham, sementara itu responsibility (tanggung jawab) berhubungan erat pada jalinan relasi antara perusahaan dengan masyarakat. 

Dengan keberadaan CSR ini, sebuah perusahaan tidak hanya dituntut untuk sehat dalam urusan pengelolaan keuangan dan produksi saja, melainkan ia harus pula sehat dalam memainkan peran dalam penjagaan lingkungan dan masalah sosial. Dengan keterlibatan dalam penjagaan lingkungan dan masalah sosial, sebuah perusahaan diharapkan tidak hanya sekedar berdiri, usaha, lalu gulung tikar, akan tetapi diharapkan keberlanjutannya sehingga dapat memberi manfaat dan peran yang besar dalam masyarakat. 
Perbankan, merupakan salah satu dari industri. Baik diakui atau tidak, industri perbankan memainkan peranan penting dalam menopang sektor riel masyarakat. Anda bisa lihat papan nama dari Bank Mandiri. Di dalam papan nama itu, dicantumkan dengan diawali PT. Bank Mandiri, Tbk. Itu artinya adalah bahwa Bank Mandiri merupakan sebuah industri yang bergerak dalam jasa keuangan dan didirikan melalui asas Perseroan Terbuka (PT). Dengan demikian, Bank Mandiri, memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip good corporate governance (GCG). 

Regulasi perundangan tentang CSR, diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU No. 25 Tahun 2007 Pasal 15b dan Pasal 16d tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Berdasarkan hal ini, maka PT. Bank Mandiri, Tbk merupakan bagian dari perusahaan yang wajib mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 karena melibatkan modal asing, sesuai dengan nama perusahaannya yang mengikuti alur Perseroan Terbuka. 

Bagaimana dengan bank syariah? Regulasi tentang CSR yang wajib dijalankan oleh perbankan syariah adalah UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Di dalam undang-undang ini jelas disebut bahwa bank syariah selain memiliki fungsi nilai bisnis, ia juga wajib memiliki fungsi nilai sosial. Nilai bisnis perbankan syariah adalah bergerak dalam bidang menghimpun dan mengumpulkan dana masyarakat sekaligus menyalurkannya untuk tujuan memperoleh keuntungan. Menyitir bahasa gaul para kawula muda: “laa bisnis illa ma’a keuntungan” (maksudnya: tidak ada bisnis tanpa disertai mencari keuntungan). Sebagai salah satu fungsi nilai sosial adalah bank syariah memiliki tanggung jawab yang sama dengan bidang industri lainnya. 

Sebenarnya CSR untuk perbankan ini memiliki akar masalah diwajibkannya sehingga setiap negara wajib menjamin keterlaksanaannya. Telusur punya telusur, ternyata CSR ini merupakan amanat dari Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dituangkan dalam sebuah pakta kesepakatan yang disebut Principle of Green Banking. Dengan prinsip yang tertuang dalam pakta kesepakatan ini maka setiap perbankan memiliki kewajiban untuk ikut melakukan penjagaan terhadap empat hal, yaitu penjagaan alam, dikelola oleh sumberdaya manusia yang baik, berorientasi pada pembangunan ekonomi dan memberi perhatian ke masyarakat. 

Dengan pakta ini, perbankan memiliki sebuah kewajiban dalam pelaporan setiap kegiatan finansialnya. Pelaporan ini sifatnya harus berimbang dan tidak boleh jomplang. Dua elemen pelaporan meliputi pelaporan tentang kegiatan finansial yang dibandingkan dengan pelaporan kinerja ekonomi dan sosial masyarakat. Kewajiban pelaporan mengikuti model ini tertuang di dalam akta Global Reporting Initiative (GRI). 

Lantas apa hubungannya dengan kondisi bencana? 

Sebagaimana telah disampaikan bahwa perbankan pada dasarnya adalah berorientasi pada bisnis dan mencari keuntungan. Bila bank tersebut berada di wilayah tertentu, maka respons sosial yang wajib diberikan olehnya adalah mencakup seluruh kondisi sosial dan lingkungan tempat ia berada dan menggali keuntungan. Apabila di lingkungan tempat ia berada terjadi semacam gangguan sosial, maka perbankan memiliki kewajiban untuk ikut bertanggung jawab dalam mengatasi gangguan tersebut melalui program sosialnya. 

Sekarang, bagaimana apabila di tempat perbankan tersebut terjadi bencana dan menimpa sebagian atau seluruh nasabahnya? Suatu ketika apabila sebuah bencana menimpa pada nasabah, baik itu akibat kebangkrutan karena terjadi kecelakaan saat pengiriman barang sehingga berujung pada tenggelamnya kapal container yang membawa, maka bank memiliki tanggung jawab untuk memberikan kelonggaran kepada nasabahnya. Ada tiga bentuk kelonggaran yang diberikan, antara lain: adalah restrukturisasi utang, penjadwalan kembali utang (rescheduling) atau bahkan pengampunan (pemutihan). Ketiga pola penanganan ini merupakan bagian dari tanggung jawab perusahaan yang wajib dilaksanakan melalui CSR. Untuk itulah, Bank Indonesia mengeluarkan sebuah peraturan yang tertuang di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang perlakuan khusus terhadap kredit bank bagi daerah-daerah tertentu di Indonesia yang mengalami bencana alam. 

Pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini memiliki kendala. Untuk organisasi (perusahaan) di bawah pengelolaan swasta, pemerintah dengan mudah berani mengeluarkan keputusan hanya cukup melalui Menteri Keuangan saja. Masalahnya adalah apabila perusahaan itu masuk kelompok perusahaan plat merah milik negara. Apabila keputusan pemutihan itu hanya dikeluarkan lewat Menteri Keuangan saja, ada kekhawatiran dari rezim sebagai yang dituduh telah melakukan upaya yang merugikan keuangan negara akibat dari menggunakan dana CSR BUMN tersebut. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pihak yang wajib dimintai persetujuan, seringkali juga tidak mau menyetujui penyaluran CSR BUMN lewat pemutihan kredit, karena mereka juga akan dipandang sebagai telah menyetujui kebijakan yang dipandang telah merugikan negara. Kok bisa dipandang rugi? Tentu saja, bukankah yang diambil adalah kas negara?


Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua