Syariah

Dalil Disyariatkannya Jaminan dan Tanggung Jawab Kerugian dalam Transaksi

Sen, 12 Agustus 2019 | 13:45 WIB

Dalil Disyariatkannya Jaminan dan Tanggung Jawab Kerugian dalam Transaksi

Ilustrasi (via sohu.com)

Disyariatkannya jaminan dalam agama Islam, sebenarnya memiliki maksud yang sangat urgen, yaitu menjaga hak kehormatan harta benda orang lain dan sekaligus haknya dari menerima efek yang merugikan dari orang lain, baik akibat unsur kesengajaan atau tidak sengaja. Setiap kerugian yang diakibatkan kasus muâmalah (saling interaksi antara dua pihak atau lebih), umumnya dapat mengundang sentimen negatif dari pihak lain. Upaya menghilangkan sentimen negatif ini adalah masuk bagian dari penjagaan kehormatan (hifdh al-'irdli) yang merupakan bagian dari tujuan syariat. 
 
Banyak ayat Al-Qur'an dan hadits nabawi yang berbicara terkait tentang "jaminan" ini. Allah SWT berfirman:
 
فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم 
 
Artinya: "Maka barangsiapa yang memusuhi kalian, maka musuhilah ia sekadar sepadan dengan tingkat permusuhan dia kepada kalian" (QS al-Baqarah [2]: 194).
 
Dalam ayat yang lain disampaikan:
 
وجزاؤا سيئة سيئة مثلها 
 
Artinya: "Dan balasan bagi sebuah keburukan, adalah keburukan yang sepadan" (QS al-Syúrâ [42] : 40).
 
Allah SWT juga berfirman:
 
وإن عاقبتم فعاقبوا بمثل عوقبتم به
 
Artinya: "Jika kalian diserang, maka seranglah mereka sepadan dengan kalian diserang" (QS al-Nahl [16]: 126).
 
Inti dari ayat-ayat di atas adalah berbicara bahwa "sebab harus berbanding dengan risiko yang diakibatkan." Maksudnya bahwa besarnya tingkat jaminan, adalah harus berbanding lurus dengan risiko yang kemungkinan terjadi terhadap barang, atau susahnya perjalanan sehingga berakibat pada susahnya penjagaan barang. 
 
Untuk penjelasan ini kita ambil contoh beberapa kejadian yang disampaikan dalam beberapa hadits Nabi. Misalnya untuk pertanggungjawaban akibat merusakkan benda (dlammân al-mutlifah). Sebuah hadits Nabi riwayat al-Tirmidzi dari jalur sanad sahabat Anas, disampaikan:
 
أَهْدَت بعض أَزوَاج النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم إِلَى النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم طَعَاما فِي قَصْعَة، فَضربت عَائِشَة الْقَصعَة بِيَدِهَا فَأَلْقَت مَا فِيهَا، فَقَالَ النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم: طَعَام بِطَعَام وإناء بِإِنَاء، ثمَّ قَالَ التِّرْمِذِيّ: هَذَا حَدِيث حسن صَحِيح
 
Artinya: "(Suatu ketika), ummahât al-mu'minin menghadiahkan makanan di atas sebuah nampan ke Baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Tiba-tiba Aisyah (tidak sengaja) menyenggol nampan sehingga isinya tumpah. Lalu Nabi bersabda: Makanan diganti dengan makanan, wadah dengan wadah." Imam al-Tirmidzi berkomentar, hadits ini hasan shahih
 
Hadits ini diperselisihkan, tentang siapa yang dimaksud ummahât al-mukminin di atas. Ada yang menyebut bahwa itu adalah Zainab binti Jahsyin, dan ada pula yang menyebut bahwa itu adalah Shafiyah. Keduanya adalah istri Nabi. Dalam hadits diceritakan bahwa Siti Aisyah radliyallahu 'anha tidak sengaja menyenggol nampan yang berisi makanan sehingga tumpah dan pecah. Lalu Baginda Nabi mensyariatkan bahwa Siti Aisyah harus menggantinya, berupa mangkuk dan sekaligus membuatkan makanan sebagai konsekuensi dari tindakan ketidaksengajaannya. Bentuk penggantian ini sering kita bahasakan sebagai pertanggungjawaban terhadap risiko. Fiqih mengumpulkannya dalam Bab Dlammân
 
Dalam kasus lain, misalnya bentuk pertanggungjawaban urusan jinâyah. Misalnya ada seekor hewan ternak milik seseorang merusakkan kebun milik saudaranya. Apakah pemilik hewan yang bertanggungjawab mengganti rugi, ataukah si pemilik kebun harus rela begitu saja, sehingga pemilik hewan nyantai-nyantai saja? Bahkan, ada yang pura-pura tidak tahu. Dalam hal ini ada sebuah keterangan hadits:
 
وعن حرام بن سعد بن محيصة - رضي الله عنه - : " أن ناقة للبراء بن عازب دخلت حائطا ، فأفسدت ، فقضى رسول الله - صلى الله عليه وسلم - أن على أهل الحوائط حفظها بالنهار ، وأن ما أفسدت المواشي بالليل ضامن على أهلها " . رواه مالك ، وأبو داود ، وابن ماجه
 
Artinya: "Sebuah hadits diriwayatkan dari Hirâm ibn Sa'din Ibn Muhayyishah radliyallahu 'anhu: Suatu ketika onta milik al Bara ibn 'Âzib memasuki sebuah kebun dan merusaknya. Lalu Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam memutuskan bahwasanya tanggung jawab pemilik kebun adalah menjaga di siang hari. Apabila seekor ternak memasuki kebun di malam hari, maka pemilik ternak tersebut adalah tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan." (HR Imam Malik, Abû Dâwud dan Ibnu Mâjah).
 
Hadits ini seolah berbicara bahwa efek kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan ternak di siang hari adalah tanggung jawab dari pemilik kebun. Karena kewajiban pemilik kebun adalah menjaganya di saat siang hari. Adapun bila kerusakan itu terjadi di malam hari, misalnya karena ternak yang keluar dari kandang, maka kerusakan itu harus diganti rugi oleh sang pemilik lahan. 
 
Meski bunyi teks hadits di atas secara jelas menyebutkan bahwa tanggung jawab menjaga lahan adalah kewajiban pemilik kebun di siang hari, namun kita perlu mempertimbangkan budaya yang berlaku. Umumnya ternak di Indonesia, semacam sapi, kerbau, kuda, atau kambing adalah digembalakan atau ditambatkan dengan sebuah tali, tapi di siang hari kok ternak itu dilepas tanpa ikatan sehingga keliaran ke mana-mana masuk ke kebun tetangga, maka bagaimanapun juga, pemilik ternak harus bertanggung jawab dalam efek kerugian tetangganya akibat ternaknya tersebut. Semuanya adalah karena faktor kebiasaan ('urf).

Jadi, dalam hal ini dibutuhkan tepo seliro, empati terhadap sesama. Orang menyebut, sebagai tetangga harus tahu diri bahwa ternaknya itu harus ditambatkan, demi kemaslahatan bersama sehingga tidak terjadi cek cok antar tetangga. Itulah indahnya syariat Islam. Dan inilah aturan dalam hal pertanggungjawaban sosial kemasyarakatan (dlammânu al-jinâi) akibat kerugian dalam bab jinâyah
 
Hadits-hadits di atas, bisa kita qiyaskan untuk menentukan hukum dari berbagai kasus yang terjadi dalam transaksi. Misalnya, kiriman barang hendak dilakukan ke sebuah pulau yang melewati laut. Namun, ternyata pihak pengirim tidak melengkapinya dengan standar keamanan kedap air. Dengan demikian, jika terjadi kerusakan akibat kemasukan air pada barang yang tengah dalam proses pengiriman, bagaimanapun juga keselamatan barang itu adalah masih menjadi tanggung jawab pihak pengirim atau mungkin jasa ekspedisi yang dipergunakan.
 
المبيع قبل القبض في ضمان البائع
 
Artinya: "Barang dagangan sebelum jatuh ke tangan pembeli, adalah masih tanggung jawab dari penjual." (Yahya Ibn Syaraf al-Nawâwy, Raudlat al-Thâlibïn, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2003: 3/159)
 
Bagaimana dengan besar jaminan? Bagaimana ia ditentukan? 
 
Kaidah umum tentang jaminan adalah mengikut pada makna:
 
الخراج بالضمان
 
Artinya: "Pengeluaran berbanding lurus dengan pertanggungjawaban." 
 
Dalam akad jaminan kafâlah - sebagaimana ini pernah kita singgung dalam pembahasan soal asuransi, semakin besar risiko kerusakan, maka semakin besar pula jaminan keselamatan yang harus diberikan berupa premi. 
 
Dalam jaminan dlammân, semakin besar risiko barang tidak sesuai dengan kriteria yang dipromosikan, maka semakin ketat pula khiyar "syarat" diberikan dan biasanya berbanding lurus dengan harga barang yang semakin tinggi pula. Artinya bahwa pihak pembeli memiliki hak untuk meretur barang, bila dijumpai cacat yang tidak bisa ditoleransi. 
 
Walhasil, besarnya nilai pertanggungjawaban sangat erat kaitannya dengan realitas fakta dan medan. Jadi, jangan kaget apabila ongkos kirim pun membengkak, tidak saja karena faktor berat barang yang dikirim, akan tetapi biasanya pembengkakan biaya juga dipengaruhi jarak yang jauh, atau akibat medan yang sulit dilalui. Wallahu a'lam bish shawab.
 
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah, Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.