Syariah

Bisnis Terlarang Mavrodi Mondial Moneybox (MMM) dan Turunannya di Era Digital

Sab, 19 September 2020 | 23:00 WIB

Bisnis Terlarang Mavrodi Mondial Moneybox (MMM) dan Turunannya di Era Digital

Di antara ciri pokok bisnis MMM adalah produk platform tidak memiliki nilai sebuah "underlying asset".

Apakah Anda pernah mendengar istilah bisnis MMM (Mavrodi Mondial Moneybox)? MMM dicetuskan seseorang berkebangsaan Rusia bernama Sergey Mavrodi. Berdasar pengakuan pencetusnya sendiri, sebenarnya sudah terang benderang bahwa skema bisnis MMM ini adalah money gameDulu, MMM ini sempat populer di Indonesia pada kisaran tahun 1990-an. Bahkan ada yang menyebut dengan istilah Bank Gaib, Dana Revolusi, dan lain sebagainya.

 

Tahun 2012-2014, setelah lama redam, tiba-tiba skema bisnis MMM ini muncul kembali. Namun, pola bisnisnya dikemas seolah menyerupai badan sosial, dan bukan lagi dalam kemasan investasi. Ciri utamanya, yang mereka gaungkan adalah pola bantu-membantu, ta’awun, tolong-menolong, dan sejenisnya. Mereka sangat anti dengan istilah investasi sehingga selalu tidak mau disebut sebagai badan/lembaga yang menangani dana masyarakat untuk berinvestasi.

 

Nah, hari ini ternyata hal semacam kembali viral, namun dengan wajah yang lain dan tidak sama dengan sebelumnya, tapi cita rasanya sama. Anti disebut investasi, anti menawarkan paket pekerjaan atau jual beli produk. Namun di saat bersamaan mereka justru menjajakan sebuah entitas produk, yang menyerupai produk mondial (harta gaib). Ciri khas dari produk ini, adalah:

 

Pertama, produk platform tidak memiliki nilai sebuah underlying asset (aset yang bisa dijadikan sebagai objek atau dasar transaksi). Contoh underlying asset adalah misalnya: jika produk itu berupa cek, maka ada uang yang disediakan oleh pihak pemberi cek dalam sebuah rekening dan bisa diambil sewaktu-waktu oleh pihak yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan mengikat di antara tiga pihak yang terlibat, antara lain: penerbit cek, bank, dan penerima cek. Jika polanya seperti ini, maka jelas bahwa hal itu diperbolehkan, sebab ada nilai jaminan yang tertuang dan sudah pasti di balik cek jaminan itu disediakan oleh penyedianya.

 

Namun, dalam praktik mondial (harta gaib) digital ini, tidak ada sedikit pun entitas yang dijaminkan. Mereka menjual mondial (harta gaib) ini ke peserta baru dalam bentuk poin atau view poin yang dihargai secara sepihak oleh pihak yang menerbitkan.

 

Misalnya 1 poin dihargai 1 dolar, tanpa ada barang dan jasa. Atau seandainya ada barang dan jasa, maka harga barang dan jasanya tidak sesuai dengan harga penjualan.

 

Jadi, seolah ada cek kosong/fiktif, lalu dijual 1 dolar. Atau juga, ada cek yang berisi jaminan 1 juta, kemudian dijual ke member dengan harga 10 juta. Hal semacam ini tentu merupakan yang tidak wajar, dan syarat dengan adanya penipuan.

 

Pola-pola yang menyerupai hal ini, dulu pernah terjadi pada kasus Gold Quest dan Pohon Emas. Namun, dalam kancah digital kali ini, harta itu disampaikan dalam bentuk poin atau view point, contoh view point (VP) oleh platform Vtube. VP ini jelas haram hukumnya sebab tidak memiliki underlying asset yang sebanding dengan harga 1 dolar. Oleh karenanya, syarat dengan penipuan.

 

Sebenarnya tidak hanya Vtube, ada beberapa aplikasi lain yang melakukan pola serupa, seperti Share4pay, Klikshare, dan sejenisnya.

 

Memang, tidak semua aplikasi yang menawarkan imbal berdasar poin atau view point itu sebagai yang fiktif. Misalnya, Buzzbreak, yaitu sebuah platform aplikasi yang berbasis membaca. Aplikasi ini menawarkan poin dan view point, namun memiliki underlying assets berupa upah (dari hasil akad ijarah antara penyedia platform dan user) yang masuk akal.

 

Contoh praktis lainnya yang memberikan poin tidak fiktif adalah Telkomsel dan Grab. Grab memberikan poin kepada penggunanya setelah sekian kali akad pemesanan kepada penggunanya. Poin itu bisa digunakan untuk belanja hal-hal tertentu dengan harga yang dipatok (misalnya) maksimal Rp100 ribu.

 

Nah, poin yang semacam, hukumnya adalah boleh, karena memenuhi syarat sebagai bonus (‘iwadl) setelah adanya produk yang sesuai dengan harga jasa yang wajar. Di sinilah, hal itu penting untuk kita cermati.

 

Kedua, platform bisa jalan jika ada member (anggota) baru yang masuk. Karena sadar akan kemungkinan adanya scam, pihak platform penyedia jasa aplikasi yang memiliki skema mondial (harta gaib/poin fiktif) ini, maka mereka melakukan siasat untuk mengatasinya. Bagaimana caranya?

 

Pertama, mereka gencar menawarkan produknya ke masyarakat dengan jalan memprovokasi masyarakat awam dan semata menawarkan penghasilan tanpa kerja dengan imbalan yang di luar nalar sehat. Agar tidak terdeteksi motifnya, mereka membuat produk tipu-tipu yang bisa dioper-oper antarkonsumen. Dengan adanya produk ini, seandainya terjadi kasus tidak ada anggota baru yang masuk, maka uang itu akan berputar di antara angggotanya saja. Itu sebabnya, mereka selalu menetapkan syarat, bahwa untuk naik level, pihak tersebut harus memiliki referral aktif dengan jumlah tertentu.

 

Akibat syarat batas minimal referral ini, secara tidak langsung pihak member wajib mencari tenaga baru yang bisa menyuplai keuangan lewat jasa pembelian mondial/poin. Ikatan wajib ini memang tidak disampaikan secara tegas dalam bentuk bahasa, melainkan disampaikan secara terselubung. Dan sarana itu bisa efektif bila dikemas dalam skema “syarat.”

 

Kedua, mengingat kemungkinan adanya scam sehingga tutup, pihak platform mencari alternatif baru agar tidak scam. Caranya? Libatkan anak cucu dan ahli waris. Akhirnya muncul dalam bagian promosinya, bahwa keanggotaan dalam platform itu bisa diwariskan.

 

Ketiga, platform dikemas dengan strategi sebagai bukan lembaga investasi.

Lho, Lantas sebagai lembaga apa? Mereka berusaha membalutnya dengan skema lembaga sosial atau organisasi kemasyarakatan.

 

Untuk menarik minat member, mereka membuat kelas-kelas keanggotaan. Ada kelas platinum, gold, dan seabrek kelas lainnya. Uniknya, meski mengaku sebagai bukan lembaga investasi, namun ternyata mereka menawarkan berupa imbal hasil dan dana keikutsertaan modal. Ciri ini merupakan yang syarat terjadi pada HIPO.

 

Keempat, platform dikemas dengan istilah yang masyhur dalam umat Islam.

Misalnya, mereka mengemasnya dalam bentuk praktik akad ta’awun (tolong-menolong). Agar kesan ta’awun-nya kuat, maka mereka mencari pembenaran dengan menampilkan sosok ustadz atau tokoh masyarakat yang dikenal. Kadang, nama pejabat turut dicatut.

 

Dari sini mereka membalutnya dengan kisah-kisah islami. Padahal sebenarnya, mereka hendak menjaring member yang mau menyetorkan uangnya dengan tanpa paksaan dan tanpa jaminan keselamatan dana.

 

Itulah sekilas bagian-bagian dari pola MMM gaya baru ini. Ciri khasnya ada produk gaibnya yang diatasnamakan poin, namun poinnya adalah poin fiktif. Dalam istilah MMM klasik, poin fiktif ini adalah mondial. Dan ini yang kelak dioper-operkan dengan sesama anggotanya, atau dengan anggota baru.

 

Cara Selamat dari Jebakan MMM Digital

Agar selamat dari MMM digital, ada beberapa hal yang bisa dilakukan.

Pertama, untuk kalangan yang memiliki nalar bisnis yang kuat, mereka pasti mencari tahu terlebih dulu mengenai sumber utama penghasilan yang akan mereka dapatkan. Jika penghasilan itu berupa poin, maka dia akan mencermati, apakah poin itu memiliki harga yang umum sebagaimana dipasarkan atau tidak. Jika tidak umum, maka mereka pasti tidak mau terlibat, sebab itu adalah indikasi penipuan.

 

Kedua, untuk kalangan awam, maka cara menilainya cukup dengan cara sederhana:

  1. Ada jual beli apa tidak?
  2. Ada ladang investasinya apa tidak?
  3. Apakah kerja dan investasi itu memiliki hasil yang normal? Jika tidak, dan hanya gencar menawar-nawarkan bonus, maka itu adalah indikasi skema ponzi.
  4. Jangan mudah tergiur dengan hasil yang besar. Tapi konsentrasilah pada kehalalan dan keselamatan dana anda!

 

Semoga artikel singkat ini bermanfaat buat para pembaca di tengah amuk teknologi digital ini!

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur