Syariah

Antara Saham Syariah dan Saham Konvensional

Sen, 3 Agustus 2020 | 15:00 WIB

Antara Saham Syariah dan Saham Konvensional

Tidak semua saham konvensional adalah tidak sesuai prinsip syariah.

Secara bahasa, saham berasal dari bahasa Arab س- هـ - م yang bermakna bagian atau porsi. Secara istilah, saham dimaknai sebagai sebuah surat berharga yang merupakan bukti penyertaan modal ke sebuah entitas usaha/badan usaha. Orang yang memegang saham disebut juga dengan istilah stockholder, yaitu pihak ang berhak mendapatkan sejumlah porsi bagi hasil tertentu (deviden) dari sebuah perusahaan yang menerbitkannya di akhir masa tutup buku.

 

Secara umum, saham di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu saham konvensional dan saham syariah. Perbedaan keduanya sebenarnya terletak pada berani atau tidaknya mendaku sebagai yang menyatakan bekerja sesuai dengan prinsip syariah sebagaimana yang diundangkan lewat UU Perbankan Syariah. Lembaga yang menyatakan diri sebagai bekerja  sesuai dengan prinsip syariah, maka saham yang diterbitkannya merupakan saham syariah. Adapun perusahaan yang tidak mendaku sebagai bekerja dengan prinsip syariah, maka saham yang diterbitkannya disebut dengan istilah saham konvensional.

 

Namun demikian, tidak semua saham konvensional adalah tidak sesuai prinsip syariah. Apalagi Indonesia merupakan negara yang dihuni oleh mayoritas umat Islam yang sadar dan tahu akan bahayanya riba dan haramnya bermuamalah dengan riba. Untuk itu, pasti ada sebuah perusahaan yang didirikan secara konvensional namun pola kerjanya menjauhi semua prinsip kerja yang dilarang oleh syara’. Institusi seperti ini kita labeli sebagai saham syariah pasif. Yang bisa menilainya, tentu bagi kalangan cerdik pandai saja. Adapun bagi masyarakat awam, mereka terkadang sulit untuk membedakan.

 

Sementara itu perusahaan konvensional yang entitas usahanya menyatakan diri bekerja dengan prinsip syariah, maka sahamnya masuk dalam daftar saham syariah, khususnya jika mendapat legalisasi dari badan yang berwenang menetapkan dan mengelompokkan. Badan usaha konvensional yang berani menyatakan bekerja dengan prinsip syariah semacam ini, selanjutnya kita labeli sebagai saham syariah aktif. Terhadap saham syariah aktif ini, jangankan kalangan agamawan dan cerdik pandai dalam soal agama, kalangan petani dan masyarakat awam pun menjadi tahu bahwa lembaga dengan label seperti ini, mayoritas memiliki dasar hukum dan dalil sebagai landasan geraknya.

 

Alhasil, dengan pengelompokan semacam di atas, maka saham-saham yang diterbitkan oleh Perusahaan Penerbit Efek (PPE) di Indonesia, pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu: saham konvensional murni, saham syariah pasif, dan saham syariah aktif.

 

Dari ketiga model saham ini, selanjutnya berpengaruh terhadap penyelesaian suatu sengketa yang terjadi di dalam tiap-tiap perusahaan tersebut. Saham konvensional murni dan saham syariah pasif, karena statusnya yang masih memegang jalur konvensional, maka sengketa yang terjadi di dalamnya adalah diselesaikan lewat jalur lembaga pengadilan umum, lembaga pengadilan tinggi negeri, atau lembaga arbitrase konvensional. Sementara itu, saham syariah aktif, semua sengketa yang terjadi di dalam lembaga ini, pada dasarnya adalah diselesaikan lewat pengadilan agama atau lembaga arbitrase syariah.

 

Dengan demikian, setiap label, memiliki risiko wasilah penyelesaian hukum secara terpisah. Sebagaimana kasus munakahah, sudah pasti diselesaikan lewat jalur pengadilan agama (PA) disebabkan karena prinsip hukum yang dianutnya, dan tidak lewat pengadilan konvensional. Lain dengan bila munakahah itu tidak melewati PA dengan landasan KHI (Kompilasi Hukum Islam), maka penyelesaian sengketanya, ya lewat pengadilan konvensional. Paham, bukan?

 

Mengapa perlu ada institusionalisasi saham sebagai saham konvensional dan saham syariah?

 

Pertanyaan sederhana ini sangat sering sekali disampaikan kepada penulis. Mengapa harus ada label syariah pada suatu lembaga? Misalnya, ada Bank Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah, bahkan institusi Otoritas Jasa Keuangan Syariah. Di tingkat Negara, Bank Indonesia menerbitkaan ada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan ada Sertifikat Bank Indonesia Syariah. Ada pula istilah Surat Berharga Negara (SBN) dan ada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

 

Perlahan, namun pasti, setelah diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, institusionalisasi syariah mulai digalakkan oleh negara untuk perlahan menggantikan posisi konvensional. Tentu hal ini memiliki landasan hukum yang kuat.

 

Pertama, adalah landasan yuridis UUD 1945, Pasal 29 ayat 1 dan 2, yang menyatakan bahwa Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara hadir untuk melindungi pengamalan agama dan kepercayaan warga negaranya.

 

Kedua, Indonesia merupakan negara yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, yang membutuhkan perlindungan hukum dalam mendapatkan semua produk hukum yang didalamnya melakukan praktik niaga atau muamalah yang dibenarkan oleh tuntunan syara’.

 

Ketiga, karena praktik niaga yang dibenarkan oleh syara’ adalah hanya bila praktik itu berbasis jual beli atau investasi, dan keharusan menghindar dari muamalah yang memuat illat (alasan dasar) keharaman sebab terdapat unsur maisir, riba, gharar, ghabn, dlarar dan ketidaktahuan (jahalah), maka dibutuhkan upaya untuk mengenali itu semua atas nama kejelasan institusi.

 

Prinsip bisnis yang melaksanakan praktik niaga, investasi dan menghindar dari berbagai illat larangan yang digariskan oleh nash ini selanjutnya disebut prinsip syariah. Itulah sebabnya, kemudian muncul istilah intitusi syariah, sebagaimana produk makanan yang dilabeli dengan istilah produk halal. Jadi, singkatnya, label syariah itu pada dasarnya merupakan bentuk penjaminan negara terhadap warganya yang menganut agama Islam guna melakukan aktifitas yang dibenarkan syara’.

 

Dengan demikian, istilah syariahisasi ini, bukannya kemudian mengenyampingkan produk konvensional dan langsung menyatakannya sebagai institusi yang haram. Akan tetapi, sifat kejelasan halal atau haramnya praktik itu ada dan dijamin oleh negara, bila lembaga itu telah melakukan kliring sebagai institusi syariah. Sementara pada lembaga di luar itu, masyarakat masih harus menelitinya sendiri dan menjaganya sendiri. Padahal, masyarakat muslim awam, belum banyak yang tahu cara mengenal produk halal atau haram. Di sinilah nilai penting itu melekat.

 

Nah, demikianlah saham syariah dan saham konvensional itu kemudian hadir. Jadi, bila seseorang memutuskan berinvestasi pada saham syariah, maka negara hadir menjamin bahwa praktik yang dilakukan dalam penasarufan saham syariah tersebut, bagi hasil dividen atau jual belinya, semuanya didasarkan pada prinsip syariah. Jadi, jelas halalnya kendati masih belum optimal dan masih ditemui kekurangan di sana-sini. 

 

Bila ternyata lembaga penerbit efek itu tidak menerapkan prinsip syariah, maka negara  dapat hadir sebagai yang mengeluarkannya dari saham syariah atas nama menjamin pengamalan agama warga negaranya yang muslim dan negara juga dapat hadir untuk menindak lembaga syariah yang tidak menjalankan prinsip syariah tersebut. Tanpa label, sulit untuk mendeteksi dan menindaklanjutinya, sehingga berakibat luas terhadap masyarakat muslim semua.

 

Lantas, sikap apa yang semestinya kita lakukan terhadap syariahisasi lembaga ini?

 

Kita merupakan bagian dari umat Islam Indonesia, sudah semestinya berorientasi pada keterjaminan produk halal baik secara institusi maupun wujud output-nya. Kita tidak mungkin membiarkan masyarakat kita, terus-menerus ada dalam keraguan dalam mendapatkan jaminan produk halal dan praktik yang dibenarkan oleh syara’ tersebut.

 

Intinya, jaminan kehalalan produk dan standar operasi kelembagaan sesuai dengan prinsip syariah ini adalah urgen (dlaruri) dan tidak bisa digantikan oleh selainnya. Oleh karenanya, memperjuangkan eksistensinya juga merupakan yang tidak bisa ditunda lagi untuk jangka waktu yang lama. Butuh semua pihak yang berkompeten dalam memandang halal atau haram suatu praktik muamalah, untuk turut serta mengkampanyekannya sehingga proses syariahisasi institusi itu dapat perlahan namun pasti terus terjadi.

 

Bagi institusi yang sudah menjalankan prinsip syariah dalam bisnisnya, tidak lagi gamang atau ragu untuk memperkenalkan diri sebagai pelaku bisnis syariah. Semuanya bukan hanya persoalan label, namun sikap mendukung pemerintah dalam memberikan jaminan produk dan bisnis halal, inilah fokus utama kinerja kita. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim