Syariah

3 Tanda Pedagang Masker Masuk Kategori Monopoli yang Haram

Ahad, 8 Maret 2020 | 03:00 WIB

3 Tanda Pedagang Masker Masuk Kategori Monopoli yang Haram

Jual beli pada dasarnya halal. Namun, ia berubah menjadi haram ketika ada unsur kezaliman di dalamnya.

Bagaimanapun juga, keuntungan dari praktik jual beli adalah halal. Syariat telah menegaskan hal ini sebagaimana tercantum dalam ayat:

 

وأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

 

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah [2]: 275).

 

Namun, Allah subhanahu wata’ala juga berfirman dalam QS Al-Nisa [4] ayat 29:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

 

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta-harta di antara kalian dengan jalan bathil” (QS Al-Nisa [4] : 29).

 

Sementara itu, Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda:

 

لا يحتكر إلا خاطئ

 

“Tiada seseorang mau melakukan penimbunan melainkan khathi’ (orang yang melakukan kesalahan fatal)” (HR Imam Muslim).

 

Berdasarkan dalil pokok di atas, sifat keumuman halalnya jual beli dibatasi oleh illat keharaman penimbunan barang (ihtikar). Ihtikar lebih dekat maknanya dengan hikmat dalil berupa adanya unsur dhalim (penindasan) dan eksploitatif (adl’afan mudla’afah). Kita tidak bisa memutuskan bahwa suatu aktivitas jual beli disebut sebagai ihtikar yang diharamkan tanpa adanya indikasi (madhinnah) ihtikar.

 

Demikian halnya, karena mengonsumsi keuntungan yang didapat dari hasil jual beli (ribhun) itu hanya haram bilamana ada unsur pembatal transaksi (bathil), maka diperlukan juga sebuah upaya untuk mencari penyebab bisanya transaksi itu dikategorikan sebagai telah berlaku bathil. Dalam kasus menaikkan harga jual masker yang tidak sebagaimana harga umumnya dalam kondisi normal, bagaimanapun juga, praktik pengambilan keuntungan dari jual beli semacam ini adalah benar dan labanya pun halal, karena tidak ada satu pun unsur larangan jual beli yang dilanggar oleh pedagang maupun pembeli.

 

Indikasi (madhinnah) adanya praktik ihtikar sehingga menyebabkan haramnya laba jual beli, ditengarai oleh beberapa hal, sebagai berikut:

 

Pertama, adanya hajat manusia terhadap satu jenis barang tertentu. Karena adanya hajat orang banyak, maka suatu perkara yang sempit pasti menghendaki adanya perluasan, dan setiap perkara yang luas menghendaki dipersempit dengan batasan. Sebagaimana kaidah:

 

إذا ضاق الأمر اتسع وإذا اتسع ضاق

 

Ketika sempit suatu urusan, maka diluaskan, dan bila sebaliknya, luas suatu perkara, maka dipersempit.

 

Tujuan utama dari kaidah ini adalah keharusan menghilangkan kesulitan (masyaqqah) dan berat (haraj) bagi masyarakat.

 

وانعقد الإجماع على عدم وقوع الحرج في التكليف، وهو يدل على عدم قصد الشارع إليه، ولو كان واقعًا لحصل في الشريعة التناقض والاختلاف، وذلك منفي عنها، فإنه إذا كان وضع الشريعة على قصد الإعنات والمشقة، وقد ثبت أنها موضوعة على قصد الرفق والتيسير، كان الجمع بينهما تناقضًا واختلافًا، وهي منزهة عن ذلك

 

“Konsensus ulama ditetapkan di atas dasar ketiadaan timbulnya keberatan dalam menjalankan beban syariat, dan ini selaras dengan maksud syariat yang tak memperberat hamba. Bahkan seandainya dalam syariat itu dibenarkan memperberat beban taklif seorang hamba, maka pasti akan ditemui banyak nash syariat yang bertentangan dan pertentangan satu sama lainnya. Dan semua ini menghendaki dihilangkan dari syariat tersebut. Andaikata Allah menurunkan syariat Islam ini dengan maksud utama sebagaimana karakteristik yang telah disebutkan dan mempersulit mukallaf—padahal di satu sisi syariat diturunkan dalam rangka sebagai rahmat dan kemudahan—maka mengumpulkan antara dua sifat kesulitan dan kemudahan, memberatkan dan rahmat, adalah dua hal yang saling bertentangan dan bertolak belakang. Untuk itu, semua ini menghendaki untuk dibersihkan” (Mafahim Raf’u al-Haraj, Kairo: Dar al-Ifta’ al-Mishriyah, 2011, Nomor Fatwa: 2053).

 

Walhasil, tindakan menahan diri dari penjual masker untuk tidak mengedarkan masker yang ada dalam gudangnya harus bisa diduga terlebih dulu, apakah hal itu karena adanya niatan tadlyiq (mempersulit) masyarakat? Jika benar ada indikasi (madhinnah) demikian, maka itu sudah menjadi alasan bahwa tindakan penimbunan itu adalah termasuk haram sebab niatan tadlyiq-nya dan bukan sebab jual belinya.

 

Kedua, adakalanya tindakan mempersempit ruang gerak juga termasuk merupakan kemaslahatan. Bagaimanapun juga, melakukan jual beli adalah hak individu setiap orang karena hukum asal dari muamalah adalah boleh. Tindakan membatasi ruang gerak individu dalam melakukan jual beli adalah termasuk tindakan yang bertentangan dengan hurriyatu al-tasharruf fi al-milkiyyah (yaitu hak kebebasan untuk mengelola harta kepemilikan). Oleh karena itu, tidak serta merta cukup dengan alasan tadlyiq, lantas ihtikar itu kemudian diputus sebagai haram. Harus ada indikasi lain, yaitu “jika tadlyiq itu mengarah pada upaya terbitnya halak (kerusakan). Dan indikasi adanya kerusakan ditengarai dengan timbulnya krisis harga (ghala’ fakhisy) dan keterpaksaan (mukrah).

 

Mengapa krisis (ghala’ fakhisy) dan keterpaksaan (mukrah) dianggap lebih condong pada upaya merusak? Setidaknya ada beberapa alasan dalam hal ini. Namun alasan yang paling pokok adalah adanya unsur keterpaksaan menandakan transaksi itu melahirkan unsur tidak saling ridha. Padahal terbitnya ridha dari penjual dan pembeli, adalah merupakan yang dikuatkan syariat.

 

Ketiga, lantas bagaimana dengan masyarakat penjual yang sudah lama menyimpan masker untuk diperjualbelikan dan kebetulan saja ada kasus yang tak bisa dihindari yaitu wabah corona? Untuk itu maka perlu ditetapkan adanya pendekatan berupa hari. Dan dalam hal ini, ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa tindakan penimbunan yang sudah terlanjur terjadi, bisa masuk unsur kategori ihtikar yang diharamkan, manakala sudah berlaku selama 40 hari sejak terjadinya kepanikan masyarakat, namun pihak penjual tidak segera mengedarkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

من احتكر طعاماً أربعين ليلة فقد برئ من الله تعالى وبرئ الله تعالى منه

 

“Barangsiapa menimbun makanan selama 40 malam, maka ia berlepas diri dari Allah dan Allah akan berlepas diri darinya.”

 

Jadi, setidaknya ada tiga indikasi bahwa sebuah tindakan ihtikar (monopoli) itu bisa dikelompokkan sebagai yang haram atau tidak. Ketiganya adalah (a) adanya hajat besar manusia, (b) adanya niatan mempersulit masyarakat yang berujung pada halak (kerusakan/binasa), dan (c) terjadi selama kurang lebih 40 hari sejak terbitnya wabah. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur