Daerah

Yang Sibuk Duniawi Belum Terlambat Raih Lailatul Qadar

NU Online  ·  Jumat, 1 Juli 2016 | 04:15 WIB

Brebes, NU Online
Ramadhan telah membimbing kita untuk menyeimbangkan hubungan harmonis hamba dengan Sang Khalik dan manusia dengan manusia. Bila keduanya bisa sama-sama berjalan dengan baik, maka akan tercapai kefitrian manusia.

Pandangan tersebut disampaikan Imam Besar Masjid Agung Brebes KH Rosyidi saat bincang-bincang dengan NU Online di rumahnya, Jalan KH Kholid Barat Brebes, Kamis (30/6).

“Manusia, harus menjalin hubungan yang seimbang dengan Allah SWT maupun sesama manusia,” tuturnya.

Kiai Rosyidi menjelaskan, hubungan dengan Allah berupa pokok-pokok peribadatan sebagaimana termaktub dalam rukun Islam, yakni membaca dua kalimat syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji serta ibadah-ibadah lainnya. Sedangkan hubungan dengan manusia dengan manusia, berupa berbuat baik kepada tetangga, kerabat, dan handai taulan dan termasuk dengan alam raya. “Kedua hubungan tersebut harus terus dijaga sepanjang masa,” ucapnya.

Lewat puasa, lanjutnya, kita diarahkan untuk memperbaiki kembali hubungan baik dengan Allah SWT. Puasa menjadi cara ampuh untuk mengharmonisasi hubungan tersebut, karena penilaiannya langsung dilakukan oleh Allah.

“Hubungan spesial ini menjadikan kita mengintrospeksi dan berbuat jujur dengan apa adanya serta tidak ada intervensi dari pihak manapun karena didasari oleh keimanan,” terang mantan Kepala Kantor Kementerian Agama Brebes tempo dulu itu.

Di ujung Ramadhan, sambungnya, keberadaan manusia digiring untuk berbuat baik dengan sesama manusia. Yakni dengan tradisi silaturahim yang lebih kita kenal halal bi halal.

Kenapa manusia kadang lalai berbuat baik untuk Sang Khalik dan sesama manusia? Karena manusia telah disatukan dengan jasad. Ketika di alam arwah, ruh telah berjanji akan selalu taat dan berbuat baik kepada sesama manusia. Namun ketika bersatu dengan jasad dan dilahirkan ke alam dunia, manusia memiliki nafsu dan nafsu itulah yang menjadikan ruh lupa dengan janjinya.

“Agar tidak lupa dengan janjinya, jasad dan ruh manusia harus berpuasa untuk mengingatkan kembali hal-hal terbaik yang harus dilakukan untuk menuju jalan yang lurus dan diridhai-Nya,” tutur pria kelahiran Brebes 8 Oktober 1937 itu.

Dalam suatu hikayat, ada seorang perempuan yang sempurna ibadahnya kepada Allah SWT. Namun dengan tetangganya dia tidak baik. Di hadapan Rasulullah, wanita itu tidak bisa masuk surga akibat berbuat zalim dengan tetangganya.

Belum Terlambat

Tentu, kita berharap pada Lebaran nanti menjadi orang yang sukses berupa kembali ke fitrah. Apalagi, di bulan Ramadhan ada malam yang lebih baik dari seribu bulan yakni malam Lalilatul Qadar yang bisa kita raih dengan ikhtiar.

Allah, tambahnya, tidak menjelaskan secara pasti kapan datangnya Lalilatul Qadar tetapi kita harus terus-menerus mencari dengan berjaga sepanjang malam. Dalam artian bukan begadang, namun kita isi malam itu dengan membaca Al-Qur’an, dzikir, shalat tasbih, dan i’tikaf.

Ciri-ciri orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar tergambar jiwa dan kehidupannya tenang, serbabaik, mendapat barokah dari Allah SWT.

Hanya saja, tutur Kiai, banyak orang yang tidak menyempatkan i’tikaf karena lebih mementingkan kehidupan duniawi belaka. Berbagai sebab telah membuat manusia lalai dengan perburuan Lailatul Qadar akibat terlalu keras bekerja sehingga kecapekan, nonton bola, maupun memilih bermedsos ria. “Meski demikian, kita belum terlambat, mudah-mudahan kita bisa meraihnya untuk menyeimbangkan hubungan vertikal dan horizontal bisa terwujud dan meraih surga-Nya, Amin,” pungkasnya. (Wasdiun/Mahbib)