Daerah

Universitas Hasyim Asy’ari Jombang Hidupkan Kembali Kajian Sastra

NU Online  ·  Selasa, 24 Mei 2016 | 07:02 WIB

Jombang, NU Online
Semangat menghidupkan kembali diskusi sastra di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Jombang, Jawa Timur terasa saat Peluncuran sekaligus Bedah Kumpulan Puisi “Cerita Rantau di Balik Senja“ karya 13 mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unhasy semester IV, Senin (23/5).

Terlebih lagi, dukungan dan respon positif disampaikan oleh Wakil Rektor II Unhasy H Muhsin Ks, yang hadir pada acara tersebut. “Ini adalah sebuah karya yang perlu diapresiasi,” ungkapnya.

Wakil Rektor Unhasy asal Demak tersebut juga berpesan untuk menghidupkan gemar membaca. Karena membaca menjadi kekuatan dalam membentuk pola pikir yang baik, termasuk mendalami sastra.

Di lingkungan Unhasy yang berbasis pendidikan pesantren, menurut Muhsin, terdiri dari 3 prinsip. Yaitu, agama, ilmu dan budaya. “Agama itu memberikan kita ketentraman dan ketenangan. Ilmu itu memberikan kemudahan, membuat hidup kita jadi enak. Sedangkan budaya membuat hidup menjadi indah. Karena itu usaha untuk menghidupkan ketiga hal tersebut harus dilakukan,” ungkapnya. 

Budayawan Binhad Nurrohmat yang hadir sebagai pembicara mengingatkan, bahwa diskusi sastra bukan hal baru di Tebuireng. Tercatat, pada tahun 75-an, Pesantren Tebuireng pernah mengundang Penyair dan Sastrawan WS Rendra. “Ini artinya, Tebuireng sudah mengawali dunia sastra tersebut.” 

Dunia pesantren sendiri, lanjut Binhad, sarat dengan karya sastra. Nadzom-nadzom yang banyak ditemukan dalam literatur klasik adalah salah satu bentuk sastra yang tidak lepas dari dunia santri. 

Binhad juga mengingatkan, sastra lekat dengan budaya kritik. Karena itu, keberanian meluncurkan karya harus dibarengi dengan kesadaran untuk dikritisi. Dalam kritiknya, Binhad mengingatkan untuk membiasakan dalam forum-forum kritik. Sebagaimana buku kumpulan puisi “Cerita Rantau di Balik Senja“ tersebut tidak lepas dari kritik. 

“Beberapa puisi masih lemah. Jelas terlihat karena bekal dan senjata belum lengkap. Senjata tersebut seperti kekuatan metafora, kekayaan diksi, simbol, musikalitas bahasa dan lain sebagainya,” jelasnya.

“Sebab, seorang penyair biasanya punya ide. Akan tetapi ide yang tidak didasari oleh alat dan senjata penyair, maka bisa jadi ide tersebut tidak tersampaikan dengan baik,” imbuhnya.

Selain itu, lajutnya, sebuah karya juga perlu ditashih atau diuji dan dikaji. Proses pengkajian dan pentashihan tersebut dilakukan dalam forum-forum diskusi. Karena itu, sebuah forum diskusi sastra penting artinya untuk dihidupkan. “Sehingga sebelum dicetak, perlu dikaji atau ditashih, sehingga karya sastra menjadi semakin baik,” katanya. (Machtumah/Fathoni)