Daerah

Tradisi Peringatan Maulid Nabi di Aceh Berlangsung Selama 90 Hari

Jum, 29 September 2023 | 07:30 WIB

Tradisi Peringatan Maulid Nabi di Aceh Berlangsung Selama 90 Hari

Warga Aceh mengantar makanan olahan ke masjid/mushala dalam rangka peringatan Maulid Nabi. (Foto: dinasdayahaceh.acehprov.go.id)

Banda Aceh, NU Online 
Salah satu bulan yang mulia dalam kalender Islam disebut dengan Rabiul Awal. Pasalnya, bulan ini merupakan bulan kelahiran Rasulullah saw. Umat Islam di seantero dunia, lebih-lebih di negeri Indonesia ini merayakannya dengan beragam cara dan budaya, di antaranya seperti membaca shalawat dan lain sebagainya.


Di Aceh, perayaan Maulid Nabi tidak hanya berlangsung di bulan Rabiul Awal, tapi tiga bulan atau 90 hari sejak masuknya bulan Maulid Nabi. Menurut salah seorang tokoh NU setempat, Tgk Muhammad Yasir, demikian ini sudah menjadi tradisi tersendiri bagi masyarakat Aceh.


"Menurut Husaini Ibrahim, seorang sejarawan, meyakini perayaan tradisi Maulid tiga bulan sudah dilakukan sejak masa Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ketika itu, Kesultanan Aceh mencapai kejayaan. Pada waktu itu, kerajaan sangat makmur dan perkembangan Islam maju pesat. Ulama-ulama menganjurkan peringatan Maulid sampai tiga bulan sebagai wujud kecintaan pada Rasulullah dan bentuk syiar Islam,’’ terang ketua LPT PWNU Aceh ini, Jumat (29/9/2023).


Lebih jauh, doktor lulusan UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini menambahkan, dalam almanak Aceh terdapat tiga bulan yang dipakai untuk merayakan Maulid. Ketiganya adalah Molot (maulid awal), Adoe Molot (maulid pertengahan) dan Molot Keuneulheueh (maulid akhir).


Sementara itu, Ketua PW Ansor Aceh, Azwar A Gani menjelaskan, persiapan merayakan Maulid di Aceh telah dilakukan sejak sebulan pra datangnya Rabiul Awal bahkan lebih dari itu. Biasanya setelah diputuskan dalam rapat desa, panitia mendatangi dari rumah ke rumah untuk meminta sumbangan dana.


“Tapi dari keluarga miskin tidak dipungut biaya. Dana yang terkumpul dipakai untuk membeli tiga ekor sapi. Dagingnya dimasak kuwah beulangong untuk kemudian dibagikan ke semua rumah. Sisanya disantap bersama tamu undangan,’’ paparnya.


Gus Azwar menjelaskan bagi masyarakat Aceh, jika tidak merayakan kenduri Maulid Nabi, seolah ada sesuatu yang kurang. Sehingga tak mengherankan, bila sudah tiba bulan Maulid, warga berlomba-lomba melakukan kenduri dengan memasak makanan untuk dibawa ke mesjid dan dibagikan kepada para undangan yang datang untuk berzikir dan berdoa.


‘’Biasanya, makanan yang disajikan dibawa dalam tempat khusus. Kalau di wilayah barat selatan Aceh biasa disebut dengan amben, yaitu sebuah tempat khusus berbentuk selinder yang memiliki beragam ukuran. Dalam amben inilah semua makanan dimasukkan beserta lauk pauknya,’’ lanjutnya.


Menurut Gus Azwar, salah satu menu unik yang sering disajikan dalam perayaan maulid Nabi di Aceh adalah bu kulah atau nasi yang dibungkus dengan daun pisang. Bu kulah ini biasanya dimasak secara khusus dengan paduan rempah-rempah, kemudian dibentuk seperti piramida. Setelah itu baru dibungkus dengan daun pisang yang sudah terlebih dahulu dipanaskan  di atas bara api.


‘’Selain menu nasi dan lauk pauk, dalam perayaan Maulid di Aceh juga terdapat menu tambahan yang disebut dengan bulukat, yakni nasi ketan yang sudah diberi kelapa, lalu dibungkus dengan daun pisang dengan bentuk seperti limas. Biasanya bulukat ini dibagikan kepada para undangan dengan sistem satu bungkus per orang terlebih dahulu. Bila lebih, baru dibagikan kembali. Hal ini dilakukan untuk memastikan semua undangan mendapatkan bulukat yang telah disediakan,’’ ulasnya.