Bungo, NU Online
Menjelang jam 06.00 pagi, saat matahari mulai menampakkan cahayanya, di saat bersamaan ratusan masyarakat Dusun Karak Apung, Kecamatan Batin Tiga Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi berbondong-bondong menuju titik kumpul untuk shalat Idul Fitri di Masjid Assa'adah.Warga Dusun Karak Apung begitu teguh memegang adat dan tradisi setempat, yakni nama panggilan kepada setiap anak yang dilahirkan.Ā
Untuk anak pertama cowok diberi gelar adat Kulup, berikutnya 'Bujang' dan anak cowok ketiga dijuluki 'Buyung' dan terakhir 'Jancik'. Seakan ingin terlihat adil, anak perempuan juga diberikan gelar secara berurutan. Pertama 'Tino' lalu 'Supek', kemudian 'Gadis', dan 'Acik'. Gelar tersebut digunakan untuk panggilan setiap hari, terkadang ditambahi nama aslinya sebagai penjelas.
Matahari mulai meninggi, usai shalat Id, mereka melakukan ritual ziarah kubur dan agenda selanjutnya pun sudah menunggu, berbaris rapat hingga matahari terbenam. Agenda tersebut yaitu berkumpul bersama keluarga untuk makan siang, saling bermaaf-maafan lagi dan menunggu adzan Shalat Dzuhur datang.
Biasanya, bagi warga yang memiliki uang lebih mereka akan mengundang warga dusun lainnya datang ke rumah untuk makan bersama dan kirim doa buat leluhur mereka. Sehingga bagi tokoh agama atau tuan guru, hari pertama lebaran mereka bisa berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain hingga belasan kali. Selain itu, mereka tidak pernah absen untuk silaturahim ke rumah para tokoh dusun setempat.
"Menu wajib saat kumpul keluarga itu tempoyak," ujar Kulup Abdurrahman dengan begitu semangat.
Dikatakan, tempoyak sendiri tercipta dari daging durian yang dipermentasi sehingga terlihat cair. Tempoyak begitu menggiurkan bagi penyukanya. Tempoyak sudah tercium dari jarak puluhan meter dan mengaduk-aduk perut pecintanya hingga lapar berat.
Lebaran kurang lengkap biasanya jika tanpa hiburan. Sadar pentingnya hiburan saat kumpul keluarga. Para pemuda Dusun Karak membuat kreatifitas tingkat tinggi, bahkan terbilang rumit. Mereka membuat ayunan yang dinamai 'Buae' dari kayu-kayu hutan. Buae dimodifikasi sekian rupa sehingga bisa berputar keatas dan kebawah. Semua bahan baku 'Buae' diambil dari hasil hutan sekitar dusun.
"Untuk hiburan kita mandiri, bagi pemuda yang sudah menikah mereka membuat 'Buae' dan bagi pemuda yang belum menikah mereka mengelola sungai untuk wisata," tambah Kulup.
Dijelaskan, wisata secara mandiri ini juga berhasil menarik minat wisatawan dari luar desa untuk berlibur bersama-sama. Seperti masyarakat perkotaan yang rindu dengan sungai jernih. Sungai jernih bagi warga perkotaan bisa dikatakan mustahil. Kumuh dan keruh jadi pemandangan setiap hari.
Sejalan dengan antusias wisatawan, pundi-pundi uang pun terkumpul dengan sendirinya. Tradisi Idul Fitri dan kemandirian hiburan membuat suasana hari kemenangan di salah satu tempat terpencil di Jambi ini semakin syahdu dan berkesan, terutama bagi perantau dan pendatang dari luar dusun.
"Suasana ini yang membuat air mata tak terbendung saat lebaran jauh dari keluarga," pungkas Kulup. (Syarif Abdurrahman/Muiz)