Daerah

Tradisi Haul Menjawab Krisis Keteladanan Moral Bangsa

NU Online  ·  Ahad, 26 Agustus 2018 | 20:00 WIB

Tradisi Haul Menjawab Krisis Keteladanan Moral Bangsa

Komplek Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak, Jateng

Demak, NU Online
Tradisi umat Islam memperingti hari wafat (haul) orang-orang alim dan saleh dapat dijadikan salah satu acuan solusi para pengambil kebijakan dalam upaya menjawab krisis keteladanan moral yang saat ini sedang melanda bangsa Indonesia.

Hal itu disampaikan Pengasuh Pesantren Al-Itqon Bugen Semarang KH Haris Sodaqoh dalam acara haul Ke-78 almarhum KH Abdurrahman bin Qosidil Haq di Pesantren Futuhiyyah Suburan Mranggen Demak, Sabtu (25/8).

"Haul yang sudah menjadi tradisi di kalangan pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) dapat dijadikan modal awal dalam membentuk karakter santri dan masyarakat," ujarnya. 

Dikatakan, melalui majelis haul inilah kebaikan atau kesalehan seseorang diungkap kembali, sehingga tidak terasa telah mengobati kerinduan masyarakat yang kini semakin sulit menemukan keteladaan dalam kehidupan sehari-harinya.

“Hanya orang-orang saleh yang diperingati hari wafatnya oleh para santri, seperti almarhum simbah kai Abdurrahman bin Qosidil Haq ini, ilmu dan gerak langkah perjuangannya akan selalu dikenang oleh santri dan masyarakat yang merasa mendapatkan manfaat besar dari pengorbanan beliau-beliau pada saat masih hidup,” ujar Kiai Haris.

Menurutunya, almarhum mbah Abdurrahman beserta para masyayikh Futuhiyyah hampir sepanjang hidupnya nyaris didedikasikan untuk membimbing masyarakat dan santri, sehingga menjadi manusia yang berakhlaq dan berilmu. Santri-santri almarhum di kemudian hari tersebar di dimana-mana dan mengikuti jejak perjuangannya.

Oleh karena itu, lanjutnya, wajar saja meski beliau sudah meninggal mayarakat dan murid-muridnya sangat merindukan sentuhan-sentuhan kasih sayangnya. Bahkan warga masyarakat yang tidak sempat mendapat bimbingan langsung dari almarhum, hanya mendapat bimbingan dari para muridnya juga ikut merindukan kesalehan almarhum.

Maka, dia menambahkan sangatlah tepat kalau tradisi yang memperingati wafatnya para ulama yang dikenal dengan sebutan haul ini tetap dilestarikan oleh kalangan santri. 

"Upaya keras yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencari solusi krisis keteladanan yang sedang melanda bangsa ini saatnya melirik tradisi haul untuk dijadikan acuan bagaimana membangun keteladanan di kalangan generasi penerus," tambahnya.

Pengasuh Pesantren Futuhiyyah KHM Hanif Muslih menuturkan, haul mbah Abdurrahman yang diselenggarakan setiap 13 dzulhijjah atau 3 hari setelah Idhul Adha secara kultural telah menjadi agenda tetap para alumni Futuhiyyah untuk bersilaturahmi dengan sesama alumni dan masyarakat sekitar pondok.

Dari para alumni itulah, tutur Hanif, para pengasuh Futuhiyyah sebagai pelanjut perjuangan mbah Abdurahman mendapat sumbangan pikiran dan dorongan agar pesantren yang telah berusia seabad ini terus melaju tiada henti, sehingga tetap mendapat kepercayaan masyarakat dalam mencerdaskan ana-anak bangsa.

Komplek pesantren Futuhiyyah yang menyatu dengan perkampunan di kawasan Suburan Mranggen tidak mampu menampung luberan umat Islam yang mengikuti pengajian umum haul di halaman pondok. Agar bisa mengikuti jalannya pengajian, panitia memasang pengeras suara di sepanjang jalan Suburan sehingga masyarakat yang tidak bisa masuk ke halaman pondok bisa mendengarkan mauidhah hasanah meski berada di luar komplek pondok. (Samsul/Muiz)