Daerah

Santri Garut Lahirkan Ratusan Karya Tulis

Sel, 12 Februari 2013 | 14:07 WIB

Garut, NU Online
Santri-santri di Garut melahirkan ratusan karya tulis. Diantara mereka yang terkenal adalah Raden Haji Muhammad Musa, Haji Hasan Mustofa, H. Usep Romli HM, H Enas Mabarti, dan KH Moh. Nuh Ad-Dawami.
<>
Haji Muhammad Musa (1822- 1886), adalah pemula dalam sastra Sunda. Karangan terkenalnya Wawacan Panji Wulung. Haji Hasan Mustofa (1852- 1930) pengarang, ulama, dan tokoh Sunda abad ke-19. Diriwayatkan, ia menulis 10.000 bait dangding yang mutunya dianggap sangat tinggi oleh para pengeritik sastra Sunda.

Dari tangan Usep Romli HM lahir puluhan karya, mulai novel, puisi, cerita anak dan esai. Ia dua kali dianugerahi Sastra Rancage. Enas Mabarti menulis buku Sidep Rencep Gunem dan Padoman Politik Keur Warga NU. KH M Nuh Ad-Dawami, menulis, menukil dan menerjemahkan kitab hingga 20 buah lebih. Yang lebih muda ada Iip D. Yahya, serta penulis-penulis lain.   

Hal tersebut merupakan materi yang disampaikan pada pelatihan jurnalistik dengan tema “Santriwati menulis; mendokumentasikan khidmah pesantren”, berlangsung di Pesantren Nurul Huda Cibojong, Kecamatan Cisurupan, 25 km ke arah selatan dari pusat Kota Garut, pada Ahad-Senin (10-11/2).

Pesertanya 20 santriwati. Mereka para aktivis di Fatayat, Kopri PMII, IPPNU, santriwati, dan OSIS. “Selama ini kan ngomong pesantren itu selalu laki-laki. Ingin menginisiasi pesantren dari persepektif perempuannya melalui aktivitas menulis,” jelas Irham Saifuddin, salah seorang panitia, ketika ditanya NU Online, Senin (11/2).

Ia menambahkan, kita baru tahu Abdurrahman Wahid dan adiknya yang hebat-hebat itu dibesarkan oleh ibunya yang luar biasa. Sehingga ia dikatakan “ibu perjuangan”. Ini artinya, perempuan juga bisa berperan penting.

“Tujuan dari pelatihan ini adalah menciptakan perempuan yang bisa bergerak keagamaan di daerah masing-masing,”  tambah Ai Sadidah salah seorang pemateri.    

Sementara itu, salah seorang pengasuh pesantren Ajengan Cecep Jaya Krama mengatakan, menulis  juga bisa dijadikan alat untuk berdakwah. Ia menukil sebuah kaidah bahwa dakwah itu ada tiga; bil-hal, bil lisan dan bi-tadwin. Nah, menulis ini adalah bagian dakwah bi-tadwin (tulisan).


Penulis: Abdullah Alawi