Santri Bertani, Santri Beternak, Santri Berdagang
NU Online · Senin, 14 Mei 2018 | 07:30 WIB
Santri jaman dulu hampir pasti pernah merasakan suasana pertanian. Mereka biasa terlibat kerja bertani, semisal membantu menggarap tanah kiainya, atau ikut orang menjadi buruh tani.
Di masa kini, banyak santri menjadi petani mandiri. Dan itu keren sekali. Lebih keren lagi jika dipadu dengan beternak dan berdagang. Yakni memelihara hewan ternak, kotoran hewannya untuk memupuk tanaman, dan hasil keduanya diolah menjadi produk modern yang diperdagangkan.
Demikian intisari acara Dialog Interaktif Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Pesantren, Kolaborasi Ulama, Umara, Pesantren, Jamaah, dan Muslimat yang diselenggarakan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerjasama dengan Pondok Pesantren Sunan Gunung Jati Ba`alawi (SGJB) Semarang, di halaman Pesantren SGJB Desa Malon, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Sabtu (12/5).
Dialog menghadirkan unsur pemerintah, akademisi pertanian, lembaga keuangan dan praktisi pertanian. Dihadiri oleh ratusan orang dari utusan pondok pesantren, perwakilan SMK Pertanian, delegasi fakultas pertanian, pengurus Muslimat Thoriqiyah NU, dan unsur pemerintah daerah.
Santri Harus Jadi Pelopor Pertanian
Staf Kemahasiswaan dan Pengembangan Karir IPB M Isbayu mengatakan, hal mendesak yang perlu diperhatikan adalah meregenarasi petani muda. Yakni mendorong kaum muda untuk menjadi petani di era modern ini.
Disampaikannya, anak anak muda sekarang banyak yang menjadi wirausaha. Sementara yang sarjana cenderung ingin menjadi pegawai, negeri maupun swasta. Menurutnya kaum muda yang mau menjadi petani sangat sedikit bahkan langka.
"Mari para santri menjadi petani muda. Mari menjadi tuan rumah di tanah air kita sendiri. Kelak kita kuasai kebutuhan pangan dunia," ajak dia. Â
Sementara itu, Asisten Deputi Peningkatan Daya Saing Ekonomi Kawasan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing UKMÂ Kementerian Koordinator Perekonomian RI Hamdan memaparkan, upaya pemerintah mewujudkan kebijakan pemerataan ekonomi melalui kemitraan umat. Yang dimaksud umat adalah pondok pesantren, masayarakat sekitar pesantren dan masyarakat umum.
Program tersebut diwujudkan melalui reformasi agraria dan perhutanan sosial, penataan sistem pajak, pembangunan manufaktur dan teknologi informasi, serta peningkatan kapasitas SDM. Perwujudannya melalui kebijakan vokasi, kewirausahaan, dan kemitraan usaha tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, perdagangan dan industri rumahan.
"Penanganan masalah ketimpangan menjadi prioritas kebijakan pemerintah saat ini. Kami menginginkan sektor pertanian ini menjadi andalan solusi," tuturnya.
Narasumber berikutnya Khairil Anwar membicarakan tentang pentingnya program vokasi dan mendidik jiwa wirausaha bagi siswa SMK maupun mahasiswa perguruan tinggi. Sebab saat ini angka pengangguran semakin banyak, dari 43 juta angkatan kerja, yang tersalur baru 16 juta di berbagai sektor.
Ia mendorong pengembangan program vokasi untuk pesantren. Sebab pola pendidikan pesantren sangat memungkinan menerapkan pola 70 praktek dan 30 persen teori. Dengan jumlah 28.194 pesantren tercatat di Kementerian Agama Republik Indonesia, menurutnya, pesantren memilliki potensi yang besar untuk memberdayakan umat dan berperan mengikis kesenjangan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan, khususnya masyarakat di sekitar pesantren.
Khusus di Jawa Tengah, dengan jumlah santri 657 ribu orang, merupakan sasaran program yang sangat tepat untuk dijadikan agen atau mitra pemerintah dalam membangun kemandirian ekonomi rakyat. Â
pemateri lainnya, Rusi Abbas, memperkenalkan Bank Wakaf Mikro (BWM) yang berbadan hukum Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) patut menjadi solusi untuk dukungan permodalan program yang sedang didiskusikan tersebut.
Ia terangkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)Â sebagai pemberi ijin BWM melihat adanya kebutuhan untuk mempertemukan antara pihak yang memiliki kelebihan dana untuk didonasikan dengan masyarakat yang membutuhkan pembiayaan usaha pertanian terpadu. Nasabahnya BWM adalah masyarakat di sekitar pesantren.
Sistem BWM, tandasnya, menyalurkan pembiayaan untuk kelompok masyarakat dengan sistem tanggungrenteng. Tiada perlu agunan,dengan imbal hasil yang sangat rendah yaitu setara 3 persen per tahun.
"BWM ini tidak menerima tabungan, karena fokus pada pendampingan melalui pembiayaan produktif. Kami sudah mendirikan banyak BWM di Jateng dan telah ada pilot project-nya," terang dia.
Lebih lanjut dijelaskan, pilot project BWM telah menyalurkan Rp 1,065 milyar di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta kepada 1.073 nasabah per April 2018. Tahun ini ia pastikan BWM berbasis pesantren melayani seluruh wilayah Indonesia.
Pembicara paling mendapat perhatian pada acara tersebut adalah yang terakhir tampil. Ia adalah Slamet Wuryadi, peternak burung Puyuh asal Desa Cikembar, Sukabumi, Jawa Barat. Pasalnya, peraih 30 piagam penghargaan, di antaranya Piala Pelopor Ketahanan Pangan 2015, Piala Presiden Juara Umum Lepen Pangan Pndonesia 2015 ini menceritakan kisah perjuangannya bertani dan beternak sekaligus berbisnis dari nol hingga suksesnya kini. Pada kesempatan tersebut ia membawa aneka makanan olahan dan tanaman hasil produksinya sendiri.
Doktor muda yang memilih bertani mandiri ini mengajak khususnya para santri untuk mengikuti jejaknya bertani. Dia menyatakan siap mendidik dan melatih siapapun yang ingin mengembangkan agrobisnis seperti dirinya.
"Mari bertani. Mari beternak. Mari ikuti saya memelihara burung puyuh dan mendapat hasil yang luar biasa," ajak pemilik CV Slamet Quail Farm ini.
Alumnus IPB ini mengaku masih kewalahan memenuhi pesanan produk olahan daging maupun telur puyuh. Meski perusahaanya telah menjadi yang terbesar di Jawa dan telah membuka cabang di banyak daerah di Indonesia, namun belum mampu memenuhi permintaan pasar.
Sebagai gambaran, sebut dia, kawasan Jabotabek memerlukan pasokan 11 juta butir telur puyuh setiap minggu. Namun pihaknya baru mampu memenuhi sekitar 3,5 juta butir. Berarti masih diperlukan 7,5 juta butir per minggunya.
"Mari bersama sama saya berbisnis puyuh. Kami telah membuat produk olahan berupa bakso puyuh, abon puyuh, telur puyuh asin, dan juga pembibitannya. Saya siap mengajari sampai bisa, dan jadilah mitra saya," ujarnya yang setelah pemaparan materi didatangi peserta usai moderator memberi waktu untuk istirahat makan siang dan shalat dhuhur.
Di sesi kedua diskusi, pembina Pesantren SGJB Habib Lutfi bin Yahya memimpin Launching Program Ekonomi Kerakyatan Berbasis Pesantren, di lahan pertanian Pesantren SGJB didampingi para narasumber dan seluruh yang hadir. Sebelumnya, Habib Lutfi memberikan tausiyah mengenai peran penting pesantren dalam pembangunan pertanian. (Ichwan/Muhammad Faizin)
Terpopuler
1
KH Thoifur Mawardi Purworejo Meninggal Dunia dalam Usia 70 tahun
2
Kuasa Hukum Rakyat Pati Mengaku Dianiaya hingga Disekap Berjam-jam di Kantor Bupati
3
Khutbah Jumat: Refleksi Akhir Safar, Songsong Datangnya Maulid
4
Amalan Mengisi Rebo Wekasan, Mulai Mandi, Shalat, hingga Yasinan
5
Ramai Kritik Joget Pejabat, Ketua MPR Anggap Hal Normal
6
Pimpinan DPR Bantah Gaji Naik, tapi Dapat Berbagai Tunjangan Total hingga Rp70 Juta
Terkini
Lihat Semua