Daerah

Santri Belajar di Pesantren bukan Menjadi Ulama-ulamaan

Jum, 28 Juni 2019 | 23:00 WIB

Santri Belajar di Pesantren bukan Menjadi Ulama-ulamaan

Muhammad Ahsin Mahrus mengisi pengajian Jumat (28/6) petang.

Kota Banjar, NU Online
Muhammad Ahsin Mahrus, menantu pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda AL-Azhar Citangkolo Kota Banjar, Jawa Barat lagi-lagi memberikan semangat kepada ratusan santri, Jumat (28/6). Dalam pengajian petang, ia berharap agar para santri belajar dengan sungguh-sungguh agar menjadi anutan agama kelak yakni menjadi ulama yang sesungguhnya. 

"Santri belajar di pesantren dicetak untuk menjadi ulama Allah, bukan ulama-ulamaan," katanya saat pengajian yang diikuti para santri putri.
 
Dalam pengajiannya, ia menceritakan kisah Ashabussufah. Mereka adalah para sahabat yang belajar kepada Nabi dan mereka belajar dengan bersungguh-sungguh. Mereka tingal di masjid dekat rumah Rasulullah bersama Muslim yang lain. Dan, setelah pulang ke negaranya, mereka akan menjadi kiai.

"Semua itu karena mereka mau berjuang," kata Gus Ashsin, sapaan akrabnya.
 
Menurutnya, mengaji agar faham mengenai masalah agama memerlukan waktu yang lama. Dan, harus bertatap muka langsung dengan sang guru kiai.
 
"Saya yakin kalau ada orang yang tidak menghadap Pak Kiai langsung pasti ngajinya kurang bener," ungkapnya. 

Ketidakbenaran tersebut, salah satunya dibuktikan dengan fenomena di mana sekarang ini banyak muncul peristiwa seorang mualaf di suruh berbicara masalah agama. "Orang yang ngajinya gak selesai disuruh ceramah keagamaan. semua itu akan berantakan," katanya.

Gus Ahsin mengumpamakan santri yang belajar di pondok pesantren, bagaikan ulat yang selama menjadi kepompong berpuasa, merasakan kepayahan. Namun, suatu saat nanti ulat tersebut akan menjadi kupu-kupu yang indah. "Begitupun santri pada saatnya nanti akan menjadi sesuatu yang indah jika (pernah) merasakan kepayahan," kata Gus Ahsin.
 
Di hadapan ratusan santri penghafal Al-Qur’an, ia menjelaskan bahwa Al-Qur’an bisa meberikan syafaat dan bisa melaknat. Jika menjadi penghafal Al-Qur’an yang mengamalkan isi dari Al-Qur’an, itu akan memberikan syafaat. Jika tidak, Al-Qur’an akan menjadi bumerang dan melaknati diakhirat. "Untuk memahaminya, kita harus  rajin ngaji, dan diniyah," lanjutnya.
 
Santri harus faham dan mengerti apa yang dihafalkan dalam Al-Qur’an. "Kita harus faham. Jika tidak maka seperti Himar yang membawa kitab di punggungnya. Hanya membawa saja tanpa mengerti dan faham apa yang dibawanya," tegas Gus Ahsin. (Siti Aisyah/Kendi Setiawan)