Daerah

Resep Mujarab Atasi Banjir, NU Jember: Stop Penggundulan Hutan

Sel, 2 Februari 2021 | 15:00 WIB

Resep Mujarab Atasi Banjir,  NU Jember: Stop Penggundulan Hutan

Ketua Komisi C DPRD Jember, David Handoko Seto melihat sungai Bedadung (saat surut) yang melewati Kelurahan Kepatihan, Kecamatan Kaliwates, Jember. (Foto: NU Online/Aryudi A Razaq)

Jember, NU Online
Banjir bandang  yang mengguncang Jember Jawa Timur, Jumat (29/1) lalu tidak hanya menyisakan derita bagi korban banjir, tapi juga memunculkan kisah pilu mereka saat berusaha menyelamatkan diri dari hantaman banjir akibat luapan air sungai Bedadung. Sungai Bedadung merupakan salah satu sungai terbesar di Jember yang membelah jantung kota suwar-suwir itu.


Ganasnya banjir bisa dilihat dari rusaknya rumah-rumah yang berada bantaran sungai Bedadung di lingkungan Kebon Dalem, Kelurahan Kepatihan Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember. Lokasi tersebut adalah daerah paling parah diterjang banjir dibanding sekian lokasi lainnya sepanjang daerah aliran sungai Bedadung.


Setidaknya terdapat 19 rumah yang rusak parah di RT 2/RW 22 Lingkungan Kebon Dalem, Kelurahan Kepatihan, Jember. Rumah-rumah tersebut, ada yang temboknya bolong, dapur-dapur hanyut, bahkan dua rumah hanya tersisa fondasinya. Ketinggian air mencapai hampir satu setengah meter. Bahkan di Mushala Darul Hikmah yang posisinya agak rendah, ketinggian air mencapai langit-langit ruangan tempat ibadah itu.


“Begitu menakutkan bunyinya banjir. Seperti mau kiamat, ya Allah takut sekali. Banjir memang sudah biasa, tapi ini yang terbesar selama 15 tahun terakhir,” ujar salah seorang korban banjir, Ibu Yuli.


Ia mengatakan, sebenarnya sungai mau banjir sudah diprediksi, karena selama tiga hari sebelumnya, matahari tidak kelihatan karena tertutup mendung disertai hujan rintik-rintik, dan sesekali hujan deras juga.


“Saya dan warga yang lain sudah siap untuk mengungsi ke rumah tetangga,” lanjutnya.


Walaupun sudah siap mengungsi, tapi air begitu cepat meninggi. Sehabis magrib, warga langsung berhamburan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Dan betul, dalam waktu yang relatif singkat, luapan air sungai sudah masuk ke rumah-rumah warga dengan arus yang sangat deras dan akhirnya menyapu rumah-rumah itu. Puncak ketinggian air terjadi sekitar 20.00 WIB.


“Kami tidak berpikir barang dan isi rumah, yang penting kami selamat. Sekitar jam delapan malam, ketinggian air mencapai satu setengah meter. Sungai ini seperti lautan,” jelasnya.


Sementara itu,  pengasuh Mushala Darul Hikmah, Ustdaz  Fathor mengungkapkan, saat banjir datang, dirinya tengah mengirim anaknya  di Pondok Pesantren Assunniyah, Kencong, Jember. Namun ia mengaku buru-buru pulang setelah ada informasi bahwa air sungai Bedadung meluap.


“Saya pulang ketika air sudah tinggi. Untungnya keluarga saya juga sudah mengungsi,” ucapnya.


Menurutnya, suasana saat itu begitu mencekam. Betapa tidak, air sungai seperti lautan. Listrik sudah dipadamkan untuk menghindari bahaya karena panel listrik sudah tenggelam. Ustadz Fathor dan warga lainnya hanya bisa menyaksikan murka air yang menghancurkan satu persatu rumah korban satu-satunya.


“Tapi alhamdulillah, hari ini (Selasa, 2/1), mushala bisa kami tempati. Tapi santri-santri yang biasa belajar ngaji belum kami perbolehkan,” ucapnya.


Selain di Kepatihan, luapan air sungai Bedadung  juga menghantam Perumahan di belakang makam Pahlawan  Jember, rumah di belakang gedung Diploma Universitas Jember, perumahan di Jalan Ahmad Yani, rumah di Jalan Sumatera, dan perumahan Vila Indah Tegalbesar.


Banjir  tersebut tak lepas  dari rusaknya hutan di hulu sungai Bedadung. Merujuk pada statemen Menteri Sosial, Tri Rismaharini, saat mengunjungi korban banjir Pesantren Arrosyid di Bangsalsari, Jember  beberapa waktu lalu, bahwa banjir di banyak daerah disebabkan oleh rusaknya hutan di bagian hulu. Akibat penggundulan hutan di hulu sungai, maka banjir tak bisa dielakkan, dan sungai di hilir pasti menjadi sasaran luapan air sungai.


“Setiap lokasi banjir yang saya kunjungi, rata-rata banjir itu datang akibat rusaknya hutan di area hulu. Karena air tidak bisa diresap sehingga mengakibatkan banjir,” ucapnya waktu itu.


Terpisah, sekretaris PCNU Jember, Pujiono Abd Hamid  berharap agar Pemerintah Kabupaten Jember dan pihak-pihak terkait perlu memikirkan kelanjutan hidup mereka pasca-banjir. Begitu banyaknya yang mereka butuhkan. Sebab semua peralatan rumah seperti tempat tidur, pakaian, terendam lumpur. Bahkan peralatan dapur, ludes tersapu banjir.


“Ini PR buat pemerintah dan kita semua. Untuk makan saja mereka susah karena dapur mereka sudah habis,” jelasnya.


Untuk jangka panjang, pemerintah perlu memikirkan relokasi rumah warga, khususnya yang berada di daerah aliran sungai Bedadung. Sebab, saat ini aman tapi dalam sekian waktu ke depan, tidak ada jaminan masih aman dari amukan sungai Bedadung.


“Di samping relokasi, juga perlu penataan lingkungan di hulu sungai Bedadung. Resep mujarab mengatasi banjir, stop penggundulan hutan jika kita dan anak cucu kita ingin selamat,” pungkasnya.


Pewarta:  Aryudi A Razaq
Editor: Muhammad Faizin