Daerah

Rahasia Santri Sukorejo yang Telaten Menata Alas Kaki

NU Online  ·  Rabu, 31 Oktober 2018 | 20:00 WIB

Situbondo, NU Online
Jika berkunjung ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, maka kita akan menemukan santri yang telaten menata alas kaki baik sepatu atau sandal. Hal itu terjadi misalnya ketika puluhan orang mengiringi rombongan Mustasyar PBNU KH Ma'ruf Amin ke yang didirikan KH Syamsul Arifin itu, Selasa (30/10). 

Seluruh rombongan menanggalkan alas kaki. Namun, ada alas kaki yang tidak beraturan. Ada yang saling menindih, terpencar dengan pasangannya, ada juga yang terbalik. Sebab sebagaimana kedatangan seorang kiai, para santri berebut cium tangan.   

Setelah rombongan berada di dalam rumah, seorang santri berpakaian gamis dengan dada kiri berlogo NU, kemudian merapikan sandal dan sepatu tamu. Alas kaki dengan berbagai merk, bentuk, warna, dan ukuran itu kemudian berbaris rapi ke satu arah, menghadap ke luar sehingga memudahkan si pemiliknya ketika hendak menggunakannya. 

Ketika barisan itu rusak kembali karena ada seorang dua yang datang, sang santri merapikannya kembali tanpa sepatah kata pun. Tanpa protes kepada pelakunya meski ia tahu persis siapa orangnya. Sambil dengan posisi ruku’, ia merapikan kembali. Begitu dan begitu. 

Salah seorang santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo bernama Syamsul Arifin menjelaskan, tak ada perintah langsung dari kiai pengasuh pesantren tentang perapian alas kaki tamu. Hal itu lebih dari kesadaran para santri. 

Kesadaran itu tumbuh berdasarkan cerita yang dilakukan sang kiai, KHR Ach. Azaim Ibrahimy saat menimba ilmu di Makkah kepada Syekh Alawi al-Maliki. Sang kiai di sana, rutin merapikan alas kaki.  

"Kiai di sini tidak pernah nyuruh, tapi bercerita. Kalau orang yang cerdas, pasti dia paham," kata santri asal Kapongan, Situbondo ini. 

"Kata kiai, hikmah baru diketahui kalau sudah dikerjakan," tambah santri berusia 20 tahun ini.

Menurut dia, apa yang dilakukan santri yang menata alas kaki itu seperti melakukan yang sia-sia bahkan hina. 

“Kan kayaknya enggak ada kerjaan banget,” kata santri yang telah nyantri 8 tahun tersebut. 

Namun, kata Syamsul, ia merasakan sendiri hikmah yang didapat dari cerita gurunya itu. Ia mengisahkan, awal masuk pesantren dia merupakan seorang pembangkang dan berhati keras. Kemudian ia mencoba melakukan penataan alas kaki sebagai santri lain. 

“Kalau seorang keras, hatinya akan lunak. Soalnya saya ngerasain sendiri. Saya sebelumnya enggak pernah nurut. Awalnya memang merasa direndahkan, tapi hikmahnya ada,” pungkasnya. (Abdullah Alawi)