Brebes, NU Online
Nafsu merupakan pemberian dari Allah SWT kepada manusia, dan puasa mendidik untuk menempatkan nafsu pada tempatnya. Peran puasa ini melatih kita untuk bisa mengelola atau mengendalikan nafsu. Sebab bila nafsu terlepas dari koridornya, maka manusia akan seperti hewan. Sedangkan bila nafsu itu dihilangkan, manusia akan seperti malaikat. <>
“Manusia itu bukan malaikat, juga bukan hewan maka hendaknya mampu mengelola nafsu agar tetap menjadi manusia,” tutur Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Brebes KH Athoillah di ruang kerjanya, Gedung NU Jalan Yos Sudarso 36 Kompleks Islamic Centre Brebes Kamis (9/8).
Boleh saja kita bernafsu ingin kaya, tetapi harus dikendalikan dengan bekerja keras. Bukan dengan cara-cara korupsi. Begitupun kita sah-sah saja menginginkan jabatan tertentu di suatu kantor tetapi tidak boleh kita sikut kanan-kiri. Bercinta juga boleh, tetapi harus disahkan dulu dengan jalan pernikahan yang sah. “Semua ada aturannya, untuk mengendalikan bukan membatasi ataupun merampas nafsu,” terangnya.
Alquran telah membagi tiga tingkatan nafsu manusia, lanjutnya. Pertama Nafs ammarah, Nafsu ini membawa manusia pada keburukan. Nafsu ini mendorong pada perbuatan manusia bertolak belakang dengan akhlaknya. Selalu mendorong-dorong pada jalan yang tidak baik atau buruk. “…Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kepada kejahatan,” ujar Atho seraya menukil sebuah ayat Al Quran Surat 12:53.
Kedua, nafsu lawwamah yakni, nafs (jiwa) yang menyesali dirinya sendiri atas perbuatan buruk dari setiap pelanggarannya. Ia menghendaki supaya manusia menghayati keadaan-keadaan yang baik serta memiliki budi pekerti luhur. Menyesali tindakan yang buruk merupakan bukti nafs lawwamah, yaitu jiwa yang sangat menyesali. Al-Qur’an memberi gambaran, “Dan aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali dirinya sendiri. (Q.S 75:2)”
Ketiga, nafsu muthmainnah disini Al quran menerangkan “Hai jiwa yang tenteram dan mendapat ketenteraman dari Tuhan! Kembalilah kepada Rabb mu! Kamu senang kepada Nya dan Dia senang kepadamu. Maka bergabunglah dengan hamba hamba Ku dan masuklah ke dalam surga Ku”. (Q.S. 89:27 30).
Dengan nafsu mutmainah manusia memperoleh najah atau keselamatan dari segala kelemahannya. Laksana air mengalir dari atas ke bawah yang karena banyaknya dan tiada sesuatu yang menghambatnya, maka air itu terjun dengan deras. Begitu pula jiwa manusia tak henti hentinya mengalir terus dan menjurus ke arah Allah SWT.Â
Sayangnya, pengendalian hawa nafsu lewat Ramadhan banyak yang gagal. Di sepuluh hari pertama yang merupakan babak penyisihan masih tergolong banyakl. Sepuluh hari kedua, sudah mulai berguguran dan sepuluh hari ketika yang merupakan babak final sudah dapat dilihat siapa saja yang bakalan mendapat reward. Menang dan kalah dalam pengendalian nafsu bisa dilihat ukurannya dari kemapuan mengelola hawa nafsu.Â
Disepuluh hari terakhir, Athoillah mengajak untuk memanfaatkan betul momentum Ramadhan. Meskipun melalui proses yang panjang dan berliku, tetapi kategori mutaqin atau orang yang bertakwa akan gampang diraih. “Jangan sampai kita menyesal, ternyata kita tidak bisa ikut panen karena tidak meraih derajat takwa,” pungkasnya.Â
Redaktur  : Mukafi Niam
Kontributor: Wasdiun
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Larangan Pamer dan Bangga dengan Dosa-dosa
2
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
3
Khutbah Jumat: Sesuatu yang Berlebihan itu Tidak Baik, Termasuk Polusi Suara
4
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
5
Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 19 Persen, Ini Syarat yang Harus Indonesia Penuhi
6
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
Terkini
Lihat Semua