Daerah

Pesan Perdamaian dan Doa Bersama Iringi Haul Gus Dur di Blitar

Sen, 23 Desember 2019 | 04:30 WIB

Pesan Perdamaian dan Doa Bersama Iringi Haul Gus Dur di Blitar

Doa bersama lintas agama dan pesan perdamaian dalam rangka haul ke-10 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kegiatan dilaksanakan di Pendopo Islam Nusantara (Pinus) Sekardangan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Jatim. (Foto: NU Online/Ika)

Blitar, NU Online
Dalam rangka peringati haul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke-10, ratusan Gusdurian Blitar, Jawa Timur menggelar doa bersama lintas agama dan pesan perdamaian, Ahad, (22/12).  Acara  yang bertempat di Pendopo Islam Nusantara (Pinus) Sekardangan Kanigoro ini, dimulai tepat pukul 20.00 WIB.
 
Acara dimulai dengan doa bersama lintas agama. Para peserta berdoa khusuk menurut keyakinan masing masing, sedangkan doa secara agama Islam dengan tahlil dipimpin oleh Moh Sholeh dari Gerakan Pemuda Ansor Blitar.
 
Gus Masrukin selaku Koordinator Gusdurian Blitar menuturkan, bahwa kegiatan haul Gus Dur ini merupakan kegiatan rutin Gusdurian di seluruh Nusantara.
 
“Desember ini bulan Gus Dur, di setiap daerah mengadakan kegiatan yang bentuknya bermacam-macam. Sedangkan kita di Blitar pada tahun ini memilih kegiatan doa bersama dan pesan perdamaian,” kata Masrukin saat sambutan.
 
“Gus Dur adalah teladan kita dalam berbangsa dan bernegara. Beliau mengajari kita memaknai kehidupan, dalam hal toleransi, pluralisme dan membangun hubungan antar manusia. Kita belajar memanusiakan manusia dari beliau,” terang Masrukin.
 
Dalam pesan perdamaian yang dikemas dalam sarasehan ini mengambil tema Kebudayaan Melahirkan Kemanusiaan.
 
Tampak hadir sebagai narasumber dalam kegiatan ini, H Imam Kusnin Ahmad selaku Ketua Pengurus Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Kabupaten Blitar. Juga ada Romo Wahyu dari Paroki Santa Maria, Bambang dari GKJW Blitar, serta Abdul Azis perwakilan GP Ansor.
 
Segenap narasumber menyampaikan pengalamannya saat bersinggungan dengan Gus Dur, dan menyampaikan pesan perdamaian.
 
Ketua PC ISNU Kabupaten Blitar, Imam Kusnin Ahmad pada kesempatan itu menyampaikan bahwa bangsa Indonesia harus bangga dan  banyak  bersyukur kepada Allah SWT karena dilahirkan dan besar di bumi yang merdeka dan berfalsafah Pancasila dengan bineka tunggal ika. 
 
“Sehingga, bangsa Indonesia bisa hidup rukun dan damai. Sebagai orang yang beragama bangsa Indonesia  bisa melaksanakan ibadah sesuai dengan agama masing-masing dan tidak saling menyakiti bahkan  saling menolong di antaranya,” katanya.
 
Syukur yang kedua, bangsa Indonesia telah diberi beberapa pemimpin negara  yang bijaksana dan selalu merawat kebinekaan.
 
“Di antara pemimpin itu adalah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Bung Karno, yang saat ini dilanjutkan oleh Jokowi,” terangnya.
 
Menurut Kusnin, syukur dan bangga ketika adalah Indonesia juga memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam mulai dari suku bangsa, adat istiadat yang berbeda di tiap daerah. 
 
Penduduk Indonesia memiliki hak untuk menentukan dan memilih agama atau keyakinan apa yang akan dianut, hal ini selaras dengan semboyan negara Indonesia yakni bineka tunggal ika yang artinya adalah berbeda tetapi tetap satu. 
 
“Semboyan tersebut menggambarkan kerukunan dan persatuan masyarakat Indonesia dalam perbedaan latar belakang suku, agama, dan budaya yang beragama,” terangnya. 
 
Selain itu, Pancasila yang menjadi ideologi dasar bangsa yang menggambarkan keberagaman negara Indonesia yang mampu hidup harmonis dengan agama, suku, dan ras yang berbeda. 
 
“Ini yang harus kita jaga bersama. Seperti yang dicontohkan oleh Gus Dur,’’ katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Romo Wahyu dari Paroki Santa Maria, dan Pendeta Bambang dari GKJW Blitar, serta Abdul Azis GP. Ansor.
 
“Kiai Gus Dur  itu memiliki integritas dan konsisten dalam memperjuangkan hak-hak hidup warga masyarakat. Konsisten dalam menolak ketidakadilan, meski harus nyawa taruhannya. Sikap ini dilakukan Gus Dur sebagai bentuk perjuangan yang berpihak pada rahmatan lil alamin,’’ ungkap Romo Wahyu.
 
Dalam hal berdemokrasi komitmen yang diperjuangkan Gus Dur lebih mengarah kepada perjuangan mengangkat harkat dan martabat kaum marginal. Bukan hanya warga Muslim yang Gus Dur perjuangkan, tetapi juga warga Tionghoa, warga agama non-Islam, pengikut aliran kepercayaan, dan kaum minoritas lainnya. 
 
“Memperjuangkan nasib kaum marginal menjadi kode utama perjuangan Gus Dur dalam demokratisasi di Indonesia. Dengan mengangkat kaum marginal, maka diharapkan tidak terjadi penindasan dan pengistimewaan kepada warga negara,’’ pungkas Bambang. 
 
 
Kontributor: Ika
Editor: Ibnu Nawawi