Daerah

Perjuangan Kiai Ghalib, Santri KH Hasyim Asy’ari di Pringsewu Lampung

Sel, 13 Oktober 2020 | 06:30 WIB

Perjuangan Kiai Ghalib, Santri KH Hasyim Asy’ari di Pringsewu Lampung

KH Gholib. (Foto: Istimewa)

Pringsewu, NU Online
Berbicara tentang Pringsewu tak terlepas dari kiprah seorang santri pengembara dari Kampung Mojosantren, Krian, Jawa Timur. Ia bernama KH Ghalib yang merupakan santri dari pendiri Nahdlatul Ulama KH M Hasyim Asy’ari dan Syaikhona Kholil Bangkalan. Kiai Ghalib dilahirkan pada 1899 dari pasangan Kiai Rohani Bin Nursihan dan Ibu Muksiti. 


Sejak berumur tujuh tahun, Kiai Ghalib diserahkan oleh ibunya kepada Kiai Ali di kampungnya untuk belajar ilmu agama bersama KH Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Ia juga sempat menjadi santri Syaikhona Kholil Bangkalan.


“KH Ghalib sejak remaja memang senang mengembara menuntut ilmu agama Islam. Ia tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan masalah ubudiyah saja. Tetapi juga ilmu hikmah pun dipelajarinya,” kata Ketua MUI Kabupaten Pringsewu, KH Hambali, kepada NU Online saat mengisahkan sosok KH Ghalib, Selasa (13/10).


Sebelum KH Ghalib datang ke Lampung, ia telah berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah pada 1927 dari Singapura. Dari sinilah ia berkenalan dengan seorang penduduk dari Lampung, tepatnya Kecamatan Pagelaran Pringsewu, bernama M Anwar Sanprawiro. Setelah berhaji, ia mengembara ke Pringsewu.


Perjuangan dakwah di Pringsewu diawali dengan tinggal di rumah M Anwar Sanprawiro di Pagelaran. Selanjutnya, ia membeli tanah di Desa Fajarisuk, Kecamatan Pringsewu. Namun, keberadaannya diusik oleh Belanda sehingga ia berpindah ke Desa Bambu Seribu yang sekarang dikenal dengan nama Pringsewu. 


“Di Pringsewu, KH Ghalib mulai berdakwah dengan membangun masjid pada 1928 yang merupakan masjid pertama di Pringsewu,” terang Wakil Rais Syuriyah PCNU Pringsewu ini yang rumahnya hanya berjarak 100 meter dari Masjid KH Ghalib.


Dengan adanya masjid ini, suasana religius di daerah tersebut semakin terasa. Penduduk sekitar merasa senang karena dapat melakukan shalat berjamaah dan mengaji pada setiap malam. Kiai Ghalib pun membangun pesantren di daerah tersebut pada 1930 sehingga masyarakat menyebut daerah tersebut dengan nama Komplek Pesantren.


Dikutip dari buku Untaian Bunga Rampai Perjuangan di Lampung, KH Ghalib membangun pesantren itu adalah bukan hanya untuk mencetak para santri yang pandai dalam bidang keagamaan. Para santri juga diajarkan pendidikan formal berupa madrasah yang saat itu berjumlah lebih kurang 100 orang. Madrasah ini  menempati tiga lokal dengan bangunan yang sangat sederhana, beralantaikan tanah dan berdinding gribik.


Perkembangan pesantren ini kemudian diusik oleh kolonial Belanda karena dianggap sebagai sebuah ancaman. Kegiatan KH Ghalib dan pesantrennya pun selalu diawasi oleh pasukan Belanda sampai masa penjajahan Jepang di Indonesia. Jepang pun pernah menangkap dan menahan Kiai Ghalib selama 15 hari meski akhirnya dibebaskan.


Perjuangan KH Ghalib dalam mengangkat senjata terjadi pada masa agresi militer Belanda kedua yaitu saat KH Gholib terlibat langsung dalam pertempuran melawan Belanda di daerah Gedongtataan. Dengan memimpin laskar Hisbullah, ia bersama tentara Indonesia berhasil merebut kembali Karesidenan Gedongtataan dari tangan Belanda. 


Kiai Ghalib wafat pada malam Kamis Legi, 6 November 1949, bertepatan dengan 16 Syawal 1968 H. Berkat jasa-jasanya, pada tahun 1992 KH Gholib mendapat penghargaan dari Pemerintah Provinsi Lampung sebagai Pahlawan Lampung. 


Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Musthofa Asrori