Daerah

Perjuangan Berat Pendirian Pesantren Nurul Islam

NU Online  ·  Kamis, 5 Maret 2015 | 10:03 WIB

Probolinggo, NU Online
Mendirikan pesantren tidak sederhana seperti yang dibayangkan. Setidaknya itu dialami pengasuh pesantren Nurul Islam (Nuris) Ustadz Mukhlas. Pada awalnya, pria ini sering mendapat teror bahkan pernah diancam akan dibunuh karena warga sekitar merasa risih dengan keberadaan pesantrennya.
<>
Pesantren Nuris yang berdiri pada 1999, membuka madrasah diniyah (madin). Pendirian  madin ini tidak sama seperti madin pada umumnya. Madin ini hanya masuk sekali dalam sepekan. Alasannya karena saat itu, di Kelurahan Triwung Lor Kecamatan Kademangan Kota Probolinggo belum ada pendidikan agama sama sekali.

“Kalau seperti itu jadi enak, tujuannya agar tidak terlalu memberatkan mereka. Apalagi awal-awal berdirinya seperti ini. Istilahnya babat alas,” ungkap Mukhlas, Rabu (4/3).

Awalnya jumlah santri baru 5 orang. Namun untuk santri non mukim ada sekitar 250 orang yang berasal dari lingkungan sekitar. “Dari awal pendiriannya memang madin dulu, tapi sudah berbentuk pesantren,” jelasnya.

Tiga tahun kemudian pesantren ini baru masuk normal dengan menyelenggarakan Haflatul Imtihan. “Hanya libur hari Jum’at,” tegasnya.

Pesantren ini sebelumnya bertempat di belakang terminal Bayuangga Kota Probolinggo. Namun karena banyak kendala, akhirnya pada tahun 1999 pindah dan membangun gedung baru. Selama pembangunan pesantren ini tidak semudah pendirian sekolah pada umumnya.

Pengasuh pesantren ini sering mendapatkan terror bahkan pernah akan dibacok orang sekitar karena dinilai mengganggu kenyamanan mereka. Namun setelah mendapatkan dukungan dari tokoh masyarakat sekitar, akhirnya ia berhasil mendirikan pesantren dengan bangunan baru di lahan wakaf seluas 900 persegi.

Tahun 2003, pesantrennya kembali goyah lantaran pendidikan yang diberikan kepada santrinya kalah dengan pendidikan formal. “Tidak kalah akal, kami beri pelajaran formal seperti pelajaran Matematika, istilahnya kurikulum dibuat sendiri. Bahkan agar pesantren ini tetap bertahan, kami menghutang komputer,” tambahnya.

Namun upaya itu kandas. Akhirnya pria berambut panjang itu mendirikan pendidikan formal dalam pondok, Dikdas Ula Wustho. “Pelajarannya kurikulum yang masuk unas saja. Kalau yang lain sama seperti pesantren pada umumnya,” tandasnya.

Pada 2005, ia mendirikan SMP formal. “Tahun 2008, ijin resminya turun. Bukannya tidak anti pada pendidikan formal, tetapi semata-mata pendidikan salafiyah yang kami berikan ingin tetap berjalan dengan baik,” katanya.

Tidak berhenti pada membangun SMP, Mukhlas mendirikan Madrasah Aliyah (MA). “Kami sudah tiga tahun terakhir meluluskan anak MA.”

Dari perjuangan belasan tahun itu, akhirnya membuahkan hasil. Saat ini santrinya sudah tidak berjumlah belasan, tetapi sudah mencapai 105 orang. Dengan rincian, 24 santri putra, sisanya santri putri. Santri yang mondok di tempatnya tersebut bukan hanya berasal dari Kota Probolinggo melainkan berasal dari luar daerah seperti Pasuruan, kabupaten Probolinggo, Lumajang, Lekok, Nguling bahkan hingga Papua.

Soal pendidikan di pesantren ini sama dengan pendidikan di pesantren pada umumnya. “Ilmu itu senjata utamanya karena di manapun berada, ilmu tetap akan dipakai,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Alhafiz K)