Daerah HARI SANTRI 2018

Peringati HSN, Santri Pacitan Ziarah ke Mbah Umar Tumbu

Jum, 12 Oktober 2018 | 10:45 WIB

Peringati HSN, Santri Pacitan Ziarah ke Mbah Umar Tumbu

Makam Mbah Umar Tumbu Pacitan

Pacitan, NU Online
Menyambut Hari Santri Nasional (HSN), santri di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur memanjatkan doa dan melakukan refleksi diri di makam Mustasyar NU Almaghfurlah KH Umar Syahid atau Mbah Umar Tumbu, di kompleks Pesantren Nur Rohman, Njajar, Donorojo, Pacitan, Kamis (11/10) malam. 

Pengasuh Pesantren Tremas Pacitan KH Muadz Harits Dimyathi mengatakan, ziarah ini dilakukan untuk terus mengingatkan peran  ulama dan meneladani pengabdian tulus Mbah Umar Tumbu. Melalui ziarah ini para santri sedang menunjukkan bahwa ada kerinduan terhadap figur seorang kiai sepuh. 

Figur Mbah Umar, kata Gus Muadz, yang dikenal sebagai sosok manusia saleh dan ikhlas harus selalu diingat agar kiprahnya menjadi teladan bagi para santri dan generasi selanjutnya.

"Mbah Umar adalah seorang kiai yang benar-benar alim, terutama dalam hal keikhlasan. Kita belum pernah menemukan kiai yang alim dalam keikhlasan, setelah Mbah Umar," ujarnya.

Di atas pusara makam kiai yang wafat pada Rabu 4 Januari 2017 lalu, para santri dengan khusyuk membaca tahlil,  maulid Al-Barzanji, dan shalawat mahalul qiyam. 

Gus Muadz berharap, kegiatan ziarah semacam ini bisa terus dilakukan secara rutin untuk menumbuhkan kecintaan terhadap para ulama. Para santri percaya, para ulama walaupun sudah wafat, namun sejatinya mereka masih hidup di sisi Allah SWT.

"Kita berharap dengan kita ziarah sowan Mbah Umar, semoga keberkahan-keberkahan beliau  ini akan selalu memancar kepada kita semua," tutur Panglima Komunitas Santri Petarung Romantis itu.

KH Umar Syahid atau Mbah Umar Tumbu wafat dalam usia 114 tahun. Namun ada yang menyebut, usiannya 132 Tahun. Pada masa remajanya, ia menjadi murid KH Dimyathi Abdullah di Pesantren Tremas Pacitan. 

Selama nyantri, ia tergolong santri yang kekurangan. Ia terbiasa hidup prihatin, bahkan konon ia tidak memiliki bekal untuk nyantri. Namun hal itu tidak menyurutkan kegigihan dan ketekunanya untuk belajar.

Setelah itu, sesepuh Pacitan tersebut hidup sebagai kiai kelana dengan mengelilingi Pulau Jawa untuk menyiarkan Islam ala NU dengan modal jualan tumbu (wadah dari anyaman bambu, disebut juga gerabah). 

Karena itu ia dikenal dengan sebutan Mbah Tumbu. Hasil jualan tumbu digunakan Mbah Umar Tumbu untuk membangun mushalla dan masjid di sekitar Pacitan, Ponorogo, dan Madiun. (Zaenal Faizin/Muiz)